Jernih.co

Mengungkap Misteri Prasasti Jambansari Ciamis (3-tamat)

Jernih — Siang itu, dalam teduh rimbun bambu, Dodenk Zoemawel, lelaki berkacamata itu tampak mencermati baris-baris aksara dalam sebongkah batu yang tampak memiliki kepala leher dan badan. Ia didampingi oleh Bah Nani, seorang sepuh berjanggut putih panjang sedada yang masih tangkas bergerak.

Mereka berdua tidak sedang membaca prasasti. Namun sedang hanyut dalam tanda tanya. Dodenk adalah pituin Cimaragas yang memiliki kecintaan mendalam terhadap situs Galuh Salawe.

Adanya Prasasti Bojongsalawe yang kini tersimpan di Situs Galuh Salawe tentu menjadi kegembiraan baginya, namun bercampur rasa penasaran. Deretan hurup kuno yang sebenarnya telah ditransliterasi itu tetap membingungkan benaknya.

“Jika memang prasasti ini tidak dapat di terjemahkan, lantas buat apa leluhur kita cape-cape mengukir setiap aksara di batu ini.  Saya tidak yakin jika prasasti ini hanya sekedar media untuk belajar membaca. Asa piraku.” gumam Dodenk.

Bah Nani mangut-manggut, tokoh tua yang juga pelestari kabuyutan ini alisnya terangkat sedikit. “ Mungkin ini yang dimaksud dengan teundeun di handeuleum sieum, tunda heula di hanjuang siang. Bukaeun kanu ngaliwat, kunu weruh disemuna.” Jawabnya bijak.  

Keduanya lantas ngobrol ngaler ngidul soal isi prasasti yang tak dimengertinya di bawah naungan saung Kuncen Salawe yang teduh. Dari arah lebak terdengar hawar-hawar suara Bah Latif, sang Juru Kunci yang masyuk ngahaleuang di saung bambu, di  tepi Citanduy.

Epigrafi dan filologi, dua bidang ilmu sejarah yang memiliki otoritas mandiri, namun pada prinsipnya sama-sama bergelut  dengan aksara kuno. Bila epigraf mendalami aksara yang tercetak atau terpahat dalam prasasti atau benda keras, maka filolog bergumul untuk membunyikan aksara dalam naskah-naskah kuno. Seperti halnya Saleh Danasasmita, ia adalah sejarawan yang juga bisa membaca prasasti, atau Drs. Atja yang juga membaca naskah dan prasasti untuk mencari fakta dari sumbernya secara langsung.  

Prasasti di Jawa Barat yang jumlahnya sedikit dibanding Jawa Tengah dan Timur seolah menunjukan eksistensi kehidupan masa klasik di tatar sunda terasa senyap dalam sumber primer, sehingga rekontruksi sejarah sunda berdasarkan prasasti terasa kurang utuh.

Maka bersandar pada semangat yang sama, hadirnya Prasasti Bojongsalawe yang tak bisa diterjemahkan, juga menarik perhatian filolog untuk turut mencermati kandungannya.

Di naskah-naskah sunda, kisah kerajaan-kerajaan di tatar sunda dari masa klasik dapat direkontruksi cukup ajeg, termasuk gambaran religi dan corak budaya yang berbeda dengan di Jawa tengah dan Timur.

Perbedaan budaya ini juga membangkitkan tanya, kenapa  prasasti di sunda jumlahnya sedikit ? Salah satu kemungkinan jawabannya adalah bisa jadi kerajaan-kerajaan di Sunda setelah masa Tarumanagara tidak terlalu mementingkan untuk menulis prasasti.

Masih hangat celetukan skeptis Ridwan Saidi yang menyebutkan di Ciamis tidak ada Kerajaan Galuh. Apa mau dikata, dari 39 prasasti di  Jawa Barat tidak terdengar kabar ada kata kerajaan galuh tertera di prasasti.

Namun untuk memahami sejarah tentu tidak secetek itu. Eksistensi  Kerajaan Galuh cukup berlimpah disebutkan dalam naskah-naskah kuno di Sunda yang menguatkan dan mengisi ruang-ruang kosong dalam penggalan berita prasasti di Sunda.  

Demkikian pula dengan model Prasasti Bojongsalawe yang kurang lajim dibanding prasasti-prasasti lainnya. Gunawan A Sambodo, arkeolog dan ahli epigrafi Jawa Kuno dalam pengamatannya mengenali tipe aksara Prasasti Jambansari berasal dari periode abad 8 masehi atau dari masa-masa akhir Majapahit. Namun dari modelnya belum menemukan prasasti seperti Prasasti Jambansari.

Lihat juga : Mandiwunga, Wilayah Tertua di Galuh yang Termaktub dalam Prasasti Cisaga

“Kalau dalam bentuk seperti itu, sependek yang bisa saya ingat tidak ada. Tapi kalau dalam bentuk lain, misalnya dalam bentuk pathok persegi dengan bagian atas seperti atap, rasanya ada di Jawa Timur dan Dieng” ujar Gunawan kepada Jernih.

Aditia Gunawan, filolog muda dari Perpustakaan Nasional yang mendalami naskah-naskah kuno sejak lama memiliki ketertarikan terhadap Prasasti Bojongsalawe. Bahkan sejak Prasasti itu mencuat ke publik di medio 2014, Aditia tetap memantau perkembangan Prasasti Bojongsalawe yang belum tersentuh penelitian lagi sejak isinya dimuat satu kali dalam jurnal arkeologi.

Dalam paradigma filologi, Aditia Gunawan mengenali susunan aksara di Prasasti Bojongsalawe sebagai susunan abjad. Melihat dari hasil bacaan epigraf Titi Surti Nastiti dan Hasan Djafar, Aditia Gunawan berpendapat bahwa kemungkinan susunan aksara Prasasti Jambansari merupakan susunan alfabetis dalam urutan sansekerta.

Hal tersebut didasarkan urutan aksara pada baris ketiga :  ya ra la va sa ṣa śa ha. Dari dokumentasi yang tersedia, Aditia Gunawan berkesimpulan aksara Prasasti Jambansari dapat direkonstruksi bacaannya sebagai berikut :

1. (ka) ga (gha) ṅa (ca) ca ja (ña)
2. ḍa ḍa ṇa ta ṭa da ḍa (na)
3. ma ya ra la va sa ṣa śa ha

aksara yang berada dalam tanda kurung menandakan hurup yang tidak jelas pada batu karena aus.

“Prasasti Jambansari hanya memuat hurup konsonan saja. Tidak ada hurup vokal.  Dan di naskah kuno, contoh model seperti ini terdapat di naskah kuno Candrakirana, teks Jawa Kuno yang berasal dari Galuh dan dibawa oleh Raden Saleh bersama naskah Siksa Kandang Karesian dan Amanat Galunggung. Naskah Candrakirana kini tersimpan di perpusnas dengan nomor kropak 631” Ujar Aditia kepada Jernih.

Selain naskah Candrakirana, Aditia juga menyodorkan data pembanding lainnnya yaitu Abecedarium aksara Jawa Kuno yang dimuat dalam artikel een Oud-Javaansch Alphabet van Midden Java yang ditulis J.L.A. Brandes. 

Abecedarium merupakan hurup alfabet yang tersusun berurutan dalam prasasti. Abecedarium tersebut ditemukan di Desa Jeruk di Kabupaten Klaten pada Maret 1888,  disusun dalam bentuk mantra dan dituliskan dalam lempengan emas.

“Bila ada pembandingnya, tentu Prasasti Jambansari tidak  menjadi sesuatu yang unikum lagi” ujar Aditia. Contoh naskah lainnya yang memuat unsur mistisisme adalah naskah dari Bali berjudul Tutur Aji Sarasvati dan Svaravyanjana. Dari dua naskah itu mistisisme aksara Svaravyanjana begitu kuat.

Intrepretasi Aditia Gunawan terhadap Prasasti Bojongsalawe memiliki konteks dengan buku yang ditulisnya tahun 2019  berjudul Bhima Svarga, Teks Jawa Kuno Abad ke 15 dan Teks Penurunan Naskahnya.

Dalam bukunya, Aditia menuliskan bahwa abjad sanseketra tersebut mengandung mistisisme aksara. Dengan demikian Abecedarium tidak sekedar alfabet yang digunakan untuk latihan membaca saja, namun mengandung nafas religi di dalamnya.

Salah satu adegan Bima Svarga menceritakan ketika Bhima diberi sebuah pustaka oleh Batara Guru untuk dibaca. Alih-alih dibaca, Bhima malah memutar-mutar pustaka itu sampai akhirnya terbakar sehingga membuat Batar Guru menjadi marah.

Kepada Batara Guru yang murka, Bhima menjelaskan bahwa membakar pustaka merupakan representasi dari sukma. Unsur api yang terurai merupakan gambaran dari navadewata yang berdiam di mahapadma.

Bhima merasa berhak melebur pustaka karena semua aksara telah bersatu dengan dirinya. Aksara konsonan melebur dalam tubuhnya. Ka ga gha na (di kulitnya), ca cha ja jha ña (di dagingnya),ta tha da dha da (di darahnya), ta ta da da na, (di ototnya), pa pha ba bha ma (di tulangnya), ya ra la va (di sendi), dan śa ṣa sa ha (dalam sumsum).

Bagi Bhīma, elemen-elemen tulisan layaknya seribu mata Dewa Indra. Setiap elemen, yang di dalam teks diwakili oleh kelompok konsonan, masing masing memiliki referensi makrokosmos dalam diri para dewa. Akhirnya, suku kata-suku kata ini diikat menjadi kata yang merepresentasikan Bhaṭāra Guru itu sendiri.

Selanjutnya Aditia memaparkan, bahwa aksara, sebagaimana dewata, bersifat tidak dapat dihancurkan alias abadi. Peleburan aksara, yang merepresentasikan elemen linguistik terkecil membentuk kata yang disebut ‘pāda’ dan kemudian beralih wujud menjadi suara atau ‘śabda’. Dan pada akhirnya menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari bentuk internalisasi aksara menjadi manifestasi ilahiah.

“Intinya, orang sunda juga mengerti dan mempraktekan ajaran tantris ini. Walapun sumber-sumbernya berbahasa jawa Kuno, namun masih dalam kerangka tradisi pernaskahan di wilayah Sunda”.

Senada dengan Aditia Gunawan, Goenawan A Sambodo sepakat bahwa susunan hurup dalam Prasasti Jambansari adalah urutan aksara Jawa Kuno yang merujuk dari Pallawa. GUnawan juga menyebutkan ada banyak temuan prasasti dalam lempeng emas dalam kotak-kotak peripih yang isinya merupakan alpabet.

Prasasti Emas Sumberwatu yang berisi urutan abjad Jawa Kuna.
(Dok. Goenawan A Sambodo)

Goenawan A Sambodo menunjukan salah satu contohnya, yaitu Prasasti Emas Sumber Watu yang tersimpan di BPCB Yogyakarta. Prasasti dari lembaran emas itu ditemukan di Sumberwatu. Panjangnya 3 cm dan lebar 2 cm dan ditemukan pada September 1987. isinya memuat 33 aksara Jawa Kuna yang ditulis dua kali. Prasasti ini dibaca oleh Rita MS.

Alih aksara Prasasti Emas Sumber Watu : ka kha ga gha ṅa ca cha ja jha ña ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa
ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa śa ṣa sa ha.

[Pandu Radea]

Exit mobile version