JAKARTA— Tak banyak di antara kita yang melewatkan masa muda tanpa membaca karya klasik terkenal Moby-Dick, dalam versi apa pun. Novel Herman Melville yang terbit di era Renaissance Amerika itu bahkan berkali-kali difilmkan. Terakhir kita menikmati interpretasi baru karya itu dalam ‘In the Heart of the Sea’ yang disutradarai Ron Howard, 2015 lalu. Hari ini, pada 1851, novel yang menghentak banyak orang itu diterbitkan di AS.
Namun sebagaimana tregedi yang menjadi ending novel tersebut, Moby-Dick tak pernah membuat kaya penulisnya. Beberapa sumber menyebutkan, selama Melville hidup buku itu hanya terjual 3.200 eksemplar. Reputasinya sebagai salah satu ‘Great American Novel’ muncul pada abad 20, sekitar 100 tahun dari kelahiran penulisnya. Beragam tokoh sastra dunia seperti William Faulkner sempat berkata dirinya memimpikan novel itu ditulisnya sendiri. Tokoh besar lainnya, D. H. Lawrence, menuebut buku itu sebagai,”One of the strangest and most wonderful books in the world”, selain “the greatest book of the sea ever written”. Kalimat pembuka buku tersebut,” Call me Ishmael,” telah menjadi salah satu untaian kalimat paling terkenal dalam sastra dunia.
Moby-Dick bercerita tentang perburuan Paus Putih (Paus Sperma) raksasa yang dinamai demikian oleh Kapten Ahab, kapten kapal pemburu paus ‘Pequod’. Obsesi Ahab memburu Moby-Dick dan menangkapnya tak hanya karena pencarian minyak paus, minyak yang digunakan untuk banyak keperluan hidup dan penerangan, sebelum ditemukannya minyak bumi. Ahab memang punya dendam probadi terhadap Moby-Dick yang tak hanya menenggelamkan kapal yang ia pimpin sebelumnya, melainkan juga melenyapkan salah satu kakinya.
Melville mulai menulis Moby-Dick pada Februari 1850. Novel itu selesai 18 bulan kemudian, atau setahun lebih lama dari yang ia perkirakan.
Penulisan Moby banyak disebut dilatarbelakangi kejadian nyata tenggelamnya kapal Essex yang ditenggelamkan paus buas jenis Mocha Dick pada 1821. Kapten kapal tersebut, George Pollard Jr, sebelumnya juga memimpin kapal penangkap paus Two Brothers, yang juga tenggelam dihantam serangan Paus Putih.
Setelah kapal The Essex tenggelam, Kapten Pollard dan krunya terombang-ambing di laut tanpa makanan dan air bersih selama tiga bulan. Mereka terpaksa menjadi kanibal sebelum terselamatkan. Pengalaman Pollard ini yang menjadi inspirasi Melville bagi penulisan Moby-Dick.
Di millennium ketiga—2011, para peneliti AS menemukan bagian dari bangkai kapal ‘Two Brothers’ di perairan Hawaii. Para America’s National Oceanic and Atmospheric Administration (Noaa) menemukan kapal bersejarah itu sekitar 965 km arah barat laut Honolulu. Kapal kayu itu telah hancur karena suhu air yang panas, tetapi peneliti menemukan seruit, semacam kait untuk memotong lapisan lemak paus, serta ketel yang digunakan untuk membuat minyak dari lemak paus.
“Sungguh luar biasa, mencari dan menemukan fisik bangkai dari sesuatu yang hilang sejak lama,” kata Nathaniel Philbrick, penulis dan sejarawan yang meneliti dan mencari bangkai kapal ‘Two Brothers’ dan ‘The Essex’.
Tentang kemampuan Mocha Dick— Paus Putih yang dalam novel disebut dengan Moby-Dick, hal itu memang dikenal luas di kalangan para pemburu paus abad 19. “Namanya menjadi perbincangan di antara para pemburu paus saat mereka saling bertemu di Lautan Pasifik,”tulis penjelajah Amerika, Jeremiah N Reynolds, di Majalah ‘The Knickerbocker’ keluaran tahun 1839. “Ada berita dari Mocha-Dick?”, begitu mereka saling bertanya di pelabuhan persinggahan.
Dalam 28 tahun, Mocha-Dick diklaim sudah membunuh lebih dari 30 orang pelaut. Ia membunuh dengan cara menghantamkan badannya dan menenggelamkan kapal pemburu tersebut.
Menurut penulusuran Reynolds, Mocha-Dick mempunyai tubuh seputih bulu domba dan dikerubungi teritip. Di punggungnya ada lebih dari dua puluh luka bekas tikaman harpun dari pelaut yang bersua dengannya. Mocha-Dick akhirnya mati dibunuh pada 1838. Saat bangkainya diukur, panjangnya mencapai 21 meter. [dsy]