- Herman Willem Daendels menghapus Kesultanan (Independen) Banten 1808. Raffles memaksa sultan terakhir menyerahkan tahta.
- Pemerintah Hindia Belanda membuang Muhammad Shafiuddin, sultan Banten terakhir, ke Surabaya.
- Seluruh harta Kesultanan Banten, dengan benda-benda pusaka simbol kesultanan, dirampas.
- Belanda selayaknya minta maaf kepada rakyat Banten.
JERNIH — Sebelum Natal 1899 tersiar kabar seorang lelaki sangat tua yang hidup di pengasingan meninggal di Surabaya. Koran-koran Belanda mengatakan lelaki itu berusia lebih seratus tahun.
Sebulan setelah itu satu surat kabar membeberkan informasi mencengangkan. Lelaki tua itu adalah sultan Banten terakhir.
Sultan Muhammad Shaifiuddin (1801-1899) diasingkan pemerintah Benada ke Surabaya, Jawa Timur, tahun 1832. Sebelumnya, tahun 1808 Gubernur Jenderal Herman William Daendels membubarkan Kesultanan (Independen) Bantan.
Thomas Stamford Raffles, yang berkuasa di Pulau Jawa 1811-1815, memaksa sultan menyerahkan tahtanya karena karena keluarga kesultanan terus melawan.
Caroline Drieënhuizen, dalam tulisannya di javapost.nl, mengatakan Kesultanan Banten hancur total. Sejarawan Martijn Eickhoff dan Marieke Boembergen menyebutnya sebagai Kartago Modern.
Sebagai kompensasi atas pengasingan dan penyitaan total harta miliknya, Sultan Muhammad Shafiuddin dan putra-putranya menerima dukungan keuangan dari pemerintah kolonial.
Sultan Menyedihkan
Bagi generasi penerus tunjangan pemerintah kolonial tidak cukup. Sepuluh tahun setelah kematian Sultan Muhammad Shafiuddin, tepatnya pertengahan Agustus 1909, polisi Belanda di Surabaya menangkap suami-istri pengemis.
Polisi mengidentifikasi lelaki pengemis itu adalah putra sultan Banten terakhir. Pers Belanda mengejek; “Bagaimana mungkin seorang sultan bisa miskin ketika berhadapan dengan pemerintah Hindia-Belanda?”
Namun, situasi keuangan keluarga sultan yang menyedihkan bukan sesuatu yang luar biasa. Pers Eropa menganggap pihak yang harus disalahkan adalah pemerintah kolonial.
Apa yang terjadi dengan sultan Banten terakhir?
Sultan tidak berdaya melawan pejabat kolonial yang menyita seluruh hartanya, dan mengirimnya ke Gudang Sipil Negara, tahun 1833. Di dalam gudang, barang-barang itu disortir tanpa tahu nilai dan makna bagi masa depan Hindia-Belanda.
Naskah dan surat-surat dikirim ke Sekretariat Jenderal Departemen Dalam Negeri. Benda-benda langka, seperti gamelan, rebab, permata, mahkota — simbol kekuasaan sultan — dua kotak sirih dengan lukisan pengemara Cornelis de Bruijn, disumbangkan ke Museum Masyarakat Batavia.
FH Smulders, residen Banten, menerima gamelan yang tidak lengkap dari Kabinet Haque of Rarities. Ia juga menerima manuskrip dan bena-benda Kesultanan Banten lainnya.
Barang-barang lainnya menjadi bancakan warga kulit Batavia. Sedangkan barang-barang tak dianggap penting; bendera, jubah keagamaan, arca, dan kursi milik raja, dijual murah-meriah di pasar loak, atau dibakar ketika tak bisa dijual.
Senjaga logam dilempar ke laut. Perhiasan-perhiasan dijual murah. Emas dan perak dilebuar untuk dibuat perhiasan lain.
Fritze dan Visscher, dua warga Eropa non-Belanda di Batavia, menyadari pentingnya benda-benda. Ketika diberi ijin memilih benda-benda milik sultan Baen, mereka mengambil beberapa. Sebab, mereka tidak bsia mengambil semua.
Keduanya tahu benda-benda itu melekat pada ingatan leluhur sultan Banten yang sebenarnya. Benda-benda itu adalah pusaka kesultanan Banten tak ternilai.
Dilelang, Diinvestasikan
Barang-barang lainnya; berupa keris, perhiasan, dan alat musik, dilelang pemerintah kolonial. Setengah dari hasil lelang diinvestasikan dalam belum bentuk sertifikat obligasi, atau untuk membayar utang Daendlels.
Sesuai peraturan, sultan menerima sembilan persen bunga obliagasi tahunan. Namun tidak ada yang tahu apakah semua itu dibayarkan ke keluarga sultan di pengasingan.
Selama abad ke-19, Banten milik Belanda pertama di Indonesia. Banten adalah simbol besar bagi Belanda, tentang bagaimana sebuah kerajaan dihapus dari peta.
Sejak kedatangan VOC, Banten terus melawan siapa pun yang berusaha mengontrol dan menjadikannya negara vassal. Perlawanan berlanjut saat Daendels dan Raffles tiba.
Sultan dan Kesultanan Banten harus dihapuskan karena membahayakan perdamaian. Tahun 1945, ketika Belanda kembali berusaha menjajah, Jenderal Spoor memberi perhatian khusus kepada Banten.
Selama satu abad setelah pembuangan Sultan Muhammad Shafiuddin, kurator Museum Masyarakat Batavia terus mencari benda-benda pusaka yang masih berada di tangan keturunan sultan yang dimiskinkan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Alasannya sederhana, benda-benda pusaka itu berpotensi digunakan keluarga sultan — atau orang-orang keraton Kesultanan Banten yang lolos dari pengejaran Belanda — membaptis diri sebagai keturunan sultan Banten dan mengobarkan perlawanan.
Tahun 1865, misalnya, Bupati Serang Raden Adipati Tjondronegoro menyerahkan barang-barang milik sultan Banten terakhir berpa tempat tidur berlapis cermin dengan kotak naskah di bawahnya.
Ratu Siti Aminah, istri Raden Adipati Tjondronegoro, juga harus menyerahkan benda-benda yang diketahui milik sultan Banten terakhir.
Jelang pergantian abad, kurator Museum Masyarakat Batavia membeli barang-baang milik sultan Banten terakhir dengan harga murah. Barang-barang itu sangat penting dan paling indah.
Perburuan berakhir 1906, atau tujuh tahun setelah kematian Sultan Muhammad Shafiuddin di Surabaya. Namun museum masih menerima barang-barang milik sultan sampai 1928, ketika kolektor terkenal Eropa JW van Dapperen meninggal dunia dan koleksi senjata; tombak dengan hiasan indah khas Banten, diserahkan ke kurator museum.
Merampas Simbol Kekuasaan
Negara kolonial dengan sengaja merampas seluruh yang dimiliki sultan Banten terakhir dan keluarganya. Negara kolonial tidak hanya merampas kekuasaan politik, tapi semua simbol yang melekat pada seluruh benda di dalam istana.
Banten mungkin hanya satu dari beberapa kesultanan yang bernasib seperti itu. Negara kolonial juga merampas mahkota bertahta intan Sultan Banjarmasin, dan harta milik raja-raja yang kalah.
Negara kolonial tidak hanya merampas martabat sultan dengan seluruh simbol-simbolnya, tapi juga identitas diri dan legitimasi mereka di masyarakat.
Menempatkan semua benda kesultanan ke museum bertujuan membuang eksistensi kesultanan ke masa lalu. Banten adalah tragedi, bagaimana perlawanan terus-menerus menyebabkan kehancuran total; sultan yang terusir dan hidup di pinggir masyarakat kolonial, miskin, dan mengemis.