Setiap sabtu sore, mereka berkumpul saling pamer kendaraan mengkilap dan mendengarkan musik orkes. Setelah Bandung memiliki grup orkes, maka malam minggu di daerah pegunungan tak terasa sunyi lagi.
Haryoto Kunto dalam Wajah Bandung Tempo Doeloe mengisahkan bahwa Pieters Park adalah taman bunga yang pertama dibangun di Bandung pada 1855. Nama taman tersebut digunakan sebagai kenang-kenangan terhadap peran dan jasa Pieter Sijthoff. Ia adalah Asisten Residen yang bertugas mengurus dan mengelola Kota Bandung. Sekarang, Pieters Park lebih dikenal sebagai Taman Merdeka.
Sijthoff bekerja sebagai B.B Ambtenaar (pegawai pamong praja) yang maju, Ia juga sebagai seorang budayawan yang disegani di Kota Bandung tempo dulu. Sebagai Manajer kota yang cakap juga pendiri dan Ketua Perkumpulan Sandiwara Toneelvereniging Braga
Orang yang mendapat kehormatan sebagai perencana pembangunan taman adalah Meneer R. Teuscher, Botanikus yang tinggal di Jalan Tamblong-Naripan. Bentuk dari taman sebenarnya sederhana, datar dan nyaris bujur sangkar. Jaringan jalan dalam taman menyerupai huruf ‘Y’. Di tengah taman, pada pertemuan ketiga jalur jalan, dibangun sebuah bangunan ‘koepel’, tempat orang berteduh atau tempat orang bermain musik orkes (Brass-Band) setiap malam minggu.
P. Dakkus dalam Planten en Bloemen in Nederlandsch-Indie, 1924 menuliskan bahwa berbagai macam tumbuhan bisa ditanam dengan baik di wilayah dataran tinggi Bandung. Untuk memuji kesuburan tanah di datarna Bandung Tuan P. Dakkus menyatakan “Untunglah iklim di Indonesia sangat baik-serasi. Sesuai dengan siloka : bila engkau tancapkan sebatang tongkat di tanah, pastilah ia tumbuh bersemi”.
Untuk menjaga kesuburan dan kelembaban tanah di sekitar taman, maka sebuah kanal digalil memanjang di tepi utara taman untuk membatasi taman dengan pekarangan Kantor Gemeente Bandung. Sebuah jembatan besi melengkung seperti jembatan kereta api kemudian dibangun melintasi kanal.
Air yang mengalir pada saluran kanal bersumber dari Sungai Cikapayang yang hulunya terletak di Taman Sari Atas yang berada di lembah Cikapundung di belakang kebon binatang. Untuk menggali saluran dikerahkan berpuluh-puluh penduduk Kampung Balubur dan Tamansari.
Melalui saluran air yang digali penduduk, air dari Cikapayang dialirkan menuju empat buah taman di Kota Bandung. Taman-taman itu adalah Izjerman Park (Taman Ganecca), Pieters Park (Taman Merdeka), Molukken Park (Taman Maluku), dan Insulinde Park (Taman Nusantara).
Seorang ahli botani bernama R. Teuscher telah menanami taman dengan berbagai jenis tanaman. Sederet pohon kenari (Canarium) membatasi taman dengan jalanan sekitarnya. Di sebelah timur yang berbatasan dengan Jalan Merdeka dulunya terdapat dua pohon karet (Fiscus elastica).
Sedangkan batas dengan Kantor Gemeente (Pemda Kodya Bandung) dipisahkan oleh gerombolan pohon sepatu dua atau cucurutan dalam Bahasa Sunda. Tatkala Patung Badak dibangun di lokasi itu, beberapa pohon sepatu ditebang untuk dijadikan kolam air.
Adapun pohon peneduh adalah kihujan atau regenboom (Samanea), johar (Cassia), kidamar (Agathis), dan Indische goudenregen atau bubundelan (Cassia fistula). Terdapat juga pohon cemara laut (Casuarina), aren (Arenga pinata), pinang (Cyrtostachys renda), tanjung (Mimusops), bungur (Lagerstroenia), dan rumpun bambu yang sekarang tidak ada.
Rumput gazon yang dipakai dalam taman adalah dari jenis Cynodon dan rumput kemarau indah (Polytrias). Sedangkan untuk bunganya terdiri dari sedap malam/arumdalu (Cestrum nocturnum), kembang merak (Caesalpinia pulcherrima), pacar cina (Aglaia), kamuning (Murraya), kisoka (Ixora), dan kacapiring (Gardenia).
Salah satu pohon peneduh yang langka dan patut dibudidayakan di Pieters Park adalah pohon ki damar. Orang Belanda menyebutnya damarbomen (Araucaria). Seorang Botanikus Belanda lainnya, yaitu Dr. L. Van der Pijl mengatakan “Siapa yang mengenal Jalan Dago di Bandung, mereka mengenalinya dari penampilan pohon damar yang membawa keanggunan.”
Pieters Park berfungsi juga sebagai social centre bagi para Preanger Planters (orang perkebunan Priangan). Setiap sabtu sore mereka berkumpul saling pamer kendaraan mengkilap dan mendengarkan musik orkes. Setelah Bandung memiliki orkes, malam minggu di daerah pegunungan tak terasa sunyi lagi.
Hiburan musik malam minggu dilanjutkan oleh Brass Band dari Corps Muziek Tentara Kolonial Belanda. Para penonton tumpah ruah, dengan tertib dan tenang mengikuti acara, sambil duduk di bangku taman terbuat dari besi yang tersedia sepanjang jalan dalam taman. Yang tidak kebagian tempat duduk cukup bersila di rerumputan.
Setelah tiupan terompet selesai, obor dan lampion warnsa-warni yang telah disiapkan mulai dinyalakan. pasukan mengadakan pawai obor keliling kota. Melalui alun-alun dan Pasar Baru lalu kembali ke Pieters Park.
Sesungguhnya tempat ini merupakan taman terbuka bagi siapa saja. Bukan taman tertutup yang hanya bisa dilihat tanpa bisa dipegang. Karena di tempat inilah para warga Kota Bandung selain bisa bersosialisasi, bergaul sambil menyaksikan pertunjukan seni.