Site icon Jernih.co

Nyangkreb, Cara Kuno Meminang Dewi Sri

Seminggu sebelum panen, Keluarga Bi Raspi melaksanakan ritual Nyangkreb di sawahnya.

Hamparan sawah telah menguning.  Burung pipit ramai bercicit, mengincar butir–butir padi yang penuh. Malai tampak berayun-ayun dihembus angin. Saat ini musim panen telah tiba, wajah petani sumringah.  Empat  bulan kerja keras memeras keringat, akhirnya tiba saatnya memanen hasil. 

Mengolah sawah telah merupakan serangkaian proses panjang saling berkaitan dan hampir menjadi profesi masyarakat desa. Bertani tidak saja mengandalkan kekuatan otot, namun harus di iringi oleh kecerdasan pikiran dalam membaca musim dan seperangkat tekhnis dalam pemeligaraan padi, juga dibarengi dengan kecerdasan spiritual.

Nyawah memerlukan serangkaian proses yang merupakan siklus dari panen ke panen. Proses tersebut yayitu ngadurukan (membakar jerami atau rumput), Nampingan (membersihkan pematang),Mopok (menambal pematang sawah dngan lumpur), Ngawuluku (mengolah tanah), Ngalepa (meratakan tanah yg telah diwuluku), Tebar (menyemai Benih padi), Neplak (pola garis untuk menanam benih).

Setelah pola garis tercetal di lumpur sawah, tahapan selanjutnya adalah babut (mencabut benih padi untuk ditanam), tandur (menanam padi), ngarambet (menyiangi rumput dan gulma),  ngagemuk (pemberian pupuk), nyemprot (membasmi hama dengan semprotan), tunggu (menjaga tanaman padi), dan panen (memetik padi) semuanya dilakukan beratahap dengan penuh kesabaran dan harapan.

Di Padaherang Ciamis, panen padi memiliki gairah tersendiri yang hanya dirasakan oleh segelintir petani. Yaitu, tata laku tradisi yang selalu dilakoni menjelang panen. Keluarga petani yang masih menjalankan tradisi pemuliaan terhadap padi adalah Keluarga Bi Raspi (maestroRonggeng Gunung dari Cikukang Banjarsari).

Sejak meletek srangenge, keluarga Bi Raspi sudah tatahar untuk melaksanakan  tradisi Nyangkreb karena  seminggu lagi sawah yang disewa dari tetangganya  akan dipanen.

Sebagai keluarga petani yang lekat dengan tradisi, maka  Nyangkreb menjadi bagian penting bagi keluargaRaspi sebagai bentuk penghargaan terhadap leluhur dan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Tidak semua sawah berbuah mulus, hama padi seperti tikus dan wereng tetap menjadi musuh abadi para petani. Seperti yang telah diisyaratkan leluhur sunda dalam legenda tentang asal muasal padi yang tercipta dari airmata kesedihan Naga Antaboga. Raja Pajajaran mengancamnya dengan hukuman mati akibat tidak bisa membantu membangun Bale Mariuk Pada Gedong Sasaka Domas karena tidak punya tangan. 

Tiga air mata Naga Anta berubah menjadi telur. Dari ketiga telur itu lahir Nyi Pohaci Sanghyang Sri, Budug Basu, dan telur terakhir menetas menjadi berbagai hama padi. Isi pantun Sri Sadana itu menyiratkan bahwa sawah dan padi tidak semata untuk memenuhi kebutuhan pangan primer saja tetapi juga  bagian sakral dari kehidupan lama masyarakat agraris.

Sejak meletek srangenge, keluarga Bi Raspi sudah tatahar untuk melaksanakan  tradisi Nyangkreb karena  seminggu lagi sawah yang disewa dari tetangganya  akan dipanen. Sebagai keluarga petani yang lekat dengan ketradisian, maka  Nyangkreb menjadi bagian penting bagi keluarga Raspi sebagai bentuk penghargaan terhadap leluhur dan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Nyangkreb dapat diartikan sebagai pinangan.  Terkait dengan padi yang siap di panen, maka nyangkreb bermakna meminang Nyi Pohaci Sanghyang Sriuntuk disunting, dipetik secara resmi.  Untuk itulah sejak seminggu sebelumnya Bi Raspi bersama Bah Wasco suaminya, dibantu oleh Nani Nurhayati putrinya, serta kedua cucunya, sudah mempersiapkan berbagai sarana Nyangkreb. 

Nyangkeb, Labuhan,  Nyalin, atau di  Bali disebut Ngarya Dewi Sri, memerlukan beberapa  media sebagai simbol.  Sarana untuk sesajen disebut Sanggar dan Gagawar. Kegiatan ini sudah sangat langka dilakukan oleh petani jaman sekarang. Terlupakan akibat hingar bingar modernisasi yangmerasuk sampai pelosok desa.

“Sanggar mah untuk saung ssasajen. Dibuat dari rangka bambu atapnya ditutupi oleh anyaman daun kelapa. Sanggar ini ditopang oleh tiang bambu yang dihiasi daun janur yang ujungnya di gantungi ketupat, daun wowo, daun pacing, dun kayutua dan jambe.” Papar Mang Wasco.

“Tah ari sasajenna mah aya poncot sangu, endog, lauk,sambel bade, kopi, cai herang, cai teh, rupa-rupa rujak, bubur bodas beureum,surutu, roko, leupeut, tangtang angin, rupa-rupa cau, jeung tangkueh gula batu.” ujar Bi Raspi,sambil menunjuk setiap sesajen satu demi satu.

Artikel Terkait : Pohaci Sanghyang Asri Yang Hampir Terlupakan

Ia juga menunjukan seperangkat kebaya dan samping kebat untuk pohaci sanghyang sri. Dulu, perhiasan emas pun turut disertakan. namun karena mulai tidak aman, maka sekarang hanya disimpan selama ngarekes. selanjutnya dibawa lagi.

Menjelang wanci tunggang gunung, semua sesajen diarak menuju sawah blok Ciulu, yang akan di panen.  Bah Wasco memimpin ritual dengan mengucapkan do’a sambil membakar kemenyan. Setiba di sawah yang akan di panen, Bah Wasco memeotong lembut beberapa batang padi dengan etem. Padi pertama dipotong itu disimpan dirumah.

Para petani yang berkumpul kemudian berdoa bersama. Selepas itu Bi Raspi pun ngahaleuang sebait tembang ronggeng gunung, lengkingannya  jernih ngalaeu dihamparan sawah luas menguning, seolah ngabageakeun Pohaci Sanghyang Sri, yang seminggu lagi akan disunting. (*)

Baca Juga : Subak : Warisan Budaya Dunia

Exit mobile version