Site icon Jernih.co

“Nyawalan”

Lahirlah istilah yang dipopulerkan anak-anak nakal yang kebetulan lewat rumah Kang Selud : “Ajengan Bubun dan jamaahnya “nyawalan” itu menutup mulut. Kang Selud dan  istrinya, “nyawalan” itu menutup gordeng jendela.”

Oleh   : Usep Romli H.M.

Semiskin-miskinnya orang pedesaan Sunda, pada hari Lebaran pasti punya makanan berlebih. Mulai penganan tradisional berbahan beras ketan, yang sudah dibuat sejak awal Ramadan, seperti opak, rangginang, ulen, sasagon, saroja, tapai, hingga buatan pasar, seperti bolu, jojodog monyet, dan sejenisnya, selalu terhidang begitu usai salat. Melengkapi hidangan pokok : nasi, ketupat, lauk pauk daging, ikan, tumis kentang, tumis bihun, opor ayam, dan lain-lain. Belum lagi buah-buahan  hasil tanaman sendiri : pisang, jeruk, nenas.

Pokoknya, hari lebaran identik dengan pesta makan. Sesuai peribahasa “puasa manggih lebaran” yang ditujukan kepada orang-orang yang segala dimakan setelah sebulan menahan lapar dahaga siang hari.

Hal itu terutama dilakukan anak-anak. Semacam “pakaulan” (lepas nadzar) mendapat kesempatan makan-makan sepuasnya.

Maka sering terjadi, siang harinya anak-anak menderita “balas panganeun”. Kebanyakan makan. Perut . Jika ditepuk berbunyi “blung, blung” mirip suara kendang. Kadang-kadang kentut. Tapi yang paling repot jika bersendawa. Berbau busuk. Seorang anak nakal  yang “balas panganeun” suka sengaja bersendawa di depan kawan-kawannya yang sedang berkumpul. Tentu saja, kumpulan  itu bubar tak karuan.

Itu akibat makan macam-macam campur baur. Ulen, kentang, pisang, semua mengandung biogas. Tapi “balas panganeun” akan sembuh sendiri tanpa harus diobati, tanpa harus diisolasi seperti penyandang Covid-19.

Keesokan harinya, 2 Syawal, masih banyak yang sarapan pagi dengan lauk sisa-sisa kemarin. Disebut “kakaren”. Ada juga yang menyebut “kolentrang” dan istilah macam-macam lagi, berbeda di lain-lain tempat. Campur aduk “kakaren“ digoreng agak hangus, sungguh sedap dimakan dengan nasi “sanggray”.

Tapi ada sebagian yang melakukan puasa Syawal. Enam hari. Hingga tanggal 7 Syawal. Menurut sebuah hadis, puasa enam hari bulan Syawal, ibarat puasa seumur hidup. Disebut “nyawalan”.

Banyak yang mulai tanggal 2 Syawal supaya lebih afdol. Ketika masih banyak makanan menggiurkan. Itulah yang biasa dilaksanakan Ajengan Bubun dan jamaahnya di kampung  Nanggorek, nun terpencil jauh di lembah gunung.

“Kita mendekatkan diri kepada Allah, dengan puasa Syawal. Menutup lagi mulut selama enam hari ke depan. Insya Allah. Tawakkaltu alallah,”kata Ajengan Bubun, yang diaminkna para jamaahnya.

Hanya Kang Selud yang lain. Tanggal 2 Syawal itu, pagi-pagi tiba-tiba membetot Ceu Karsih, istrinya yang sedang membersihkan kuali bekas menggoreng “kakaren” di dapur.

“Ada apa Akang?”tanya Nyi Karsih.

Nyawalan,”bisik Kang Selud. “Mumpung anak-anak sudah bermain ke luar.”

Sebagai istri taat suami, Nyi Karsih pasrah saja. Masuk kamar, menutupkan tirai jendela dan mengunci pintu, melepas baju dan berbaring di atas tempat tidur. Siap meladeni Kang Selud yang akan “nyawalan”.

Lahirlah istilah yang dipopulerkan anak-anak nakal yang kebetulan lewat rumah Kang Selud : “Ajengan Bubun dan jamaahnya “nyawalan” itu menutup mulut. Kang Selud dan  istrinya, “nyawalan” itu menutup gordeng jendela.”

 “Hidup “nyawalan” !!!” teriak mereka.  [  ]                 

Exit mobile version