Menurut Aendra, media yang dahulu berfungsi sebagai penanda arah kini mengalami krisis kepercayaan karena kehilangan kompas moral dan intelektual. Ia menolak anggapan bahwa media sosial adalah penyebab utama runtuhnya media. “Medsos bukan pembunuh media. Ia hanya cermin,” katanya. Ia menilai keruntuhan media terjadi ketika ruang redaksi lebih takut kehilangan klik ketimbang kehilangan kepercayaan publik, serta lebih mengejar kecepatan daripada verifikasi.
JERNIH– Budayawan Aendra Medita menilai media arus utama dan media sosial telah berkontribusi pada hilangnya arah berpikir manusia modern. Penilaian itu disampaikan Aendra dalam Orasi Budaya pada acara “Refleksi Akhir Tahun 2025 dan Harapan 2026” yang digagas Jala Bhumi Kultura, berlangsung di DC Corner, Sabtu petang, 27 Desember 2025.
Acara refleksi tersebut dihadiri pegiat seni, budayawan, dan masyarakat umum. Sejumlah pertunjukan turut mengiringi forum budaya itu, antara lain monolog oleh Hermana HMT, pantomim Ismime, Duo Jos Dumber-Dumbers, serta gerak tari kuartet Enung, Lina, Indri, dan Risma. Puncak acara ditandai dengan Orasi Budaya Aendra Medita yang disampaikan secara lugas dan reflektif.
Dalam orasinya, Aendra menyebut masyarakat saat ini hidup di zaman serba cepat dengan limpahan informasi, tetapi justru mengalami kelangkaan kebijaksanaan. “Informasi datang setiap detik, tetapi kebenaran terasa makin jauh,” katanya. Menurut dia, media yang dahulu berfungsi sebagai penanda arah kini mengalami krisis kepercayaan karena kehilangan kompas moral dan intelektual.
Aendra menolak anggapan bahwa media sosial adalah penyebab utama runtuhnya media. “Medsos bukan pembunuh media. Ia hanya cermin,” katanya. Ia menilai keruntuhan media terjadi ketika ruang redaksi lebih takut kehilangan klik ketimbang kehilangan kepercayaan publik, serta lebih mengejar kecepatan daripada verifikasi.
Ia juga menyoroti kecenderungan media yang membesarkan judul, memeras emosi, dan memelihara amarah demi viralitas. “Ketika media menjual emosi, ia berhenti merawat nalar. Ketika mengejar viral, ia meninggalkan verifikasi,” ujar Aendra.
Menurut Aendra, Indonesia tidak kekurangan informasi, melainkan kekurangan ketenangan berpikir. Publik, kata dia, setiap hari disuguhi opini yang dikemas seolah fakta, potongan realitas tanpa konteks, dan narasi yang memicu kemarahan atau ketakutan. Dalam situasi itu, media semestinya hadir untuk menjernihkan, bukan menambah kebisingan.
Aendra juga mengingatkan bahwa logika algoritma media sosial tidak pernah peduli pada kebenaran, melainkan pada atensi. Konflik, ketakutan, dan kebencian menjadi komoditas paling laku. “Masalahnya, ketika media ikut bermain di logika ini, media tidak lagi menjadi penyeimbang. Media justru menjadi bagian dari masalah,” katanya.
Ia mempertanyakan arah media ke depan: apakah akan berubah menjadi sekadar pabrik konten atau tetap menjadi ruang publik tempat nalar dan etika bertemu. Menurutnya, jika media hanya mengejar trafik, ia akan kalah dari influencer, kreator individual, hingga mesin dan kecerdasan buatan. “Satu-satunya keunggulan media adalah kepercayaan, dan kepercayaan tidak bisa diakali,” ujar Aendra.
Aendra menilai krisis media hari ini bukan semata krisis industri, melainkan krisis budaya berpikir. Budaya serba instan, kata dia, membuat publik tidak sabar pada proses, padahal kebenaran membutuhkan waktu, verifikasi, dan pendalaman. “Tanpa itu, media kehilangan rohnya,” katanya.
Dalam orasinya, Aendra juga mengajak publik untuk ikut bercermin. Ia menilai kebiasaan membagikan berita tanpa membaca isi dan mempercayai informasi karena selaras dengan emosi turut memperparah situasi. “Krisis ini adalah krisis bersama. Media tanpa publik yang kritis mudah tergelincir, publik tanpa media yang bertanggung jawab mudah dimanipulasi,” ujarnya.
Aendra menegaskan media masa depan bukanlah media yang paling ramai, melainkan yang paling jelas sikapnya. Ia menyebut netralitas tidak identik dengan diam, dan objektivitas tidak berarti tanpa keberpihakan. “Media harus berpihak pada fakta, kebenaran, dan martabat manusia,” katanya.
Ia optimistis media tidak akan mati, tetapi akan berubah. Media ke depan, menurutnya, cenderung lebih kecil, fokus, dan melayani segmen audiens yang sadar dan mau berpikir. Kepada generasi muda, kreator, dan jurnalis baru, Aendra berpesan agar tidak takut berjalan lambat selama tetap benar, serta tidak takut tidak viral selama tetap jujur.
“Kita tidak sedang berperang antara media dan medsos. Kita sedang berperang antara nalar dan kebisingan,” kata Aendra. Menurutnya, masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh kejujuran dan tanggung jawab dalam memproduksi serta menyebarkan informasi hari ini. [ ]
