Dalam “Kingdom of Heaven” ada dialog di akhir-akhir film antara Balian dengan Salahuddin. Saat Balian bertanya, mengapa Salahuddin melakukan semua perilaku penuh toleransi itu, sementara para ksatria Kristen ‘pembebas Yerusalam’ pada 1099 tidak? “Aku bukan mereka. Aku Salahuddin,” jawab Salahuddin.
JERNIH–Tanggal 20 September akan terus dikenang kaum Muslim dalam catatan kemenangan yang gilang gemilang. Tanggal tersebut merupakan awal pengepungan Kota Yerusalem selama 12 hari, sebelum kejatuhannya ke tangan pasukan Muslim yang dipimpin Salahuddin Al-Ayyubi.
Sejatinya, Kerajaan Yerusalem yang dalam Perang Salib II diperkuat pasukan Kristen dari berbagai kerajaan Eropa itu telah dikalahkan dalam pertempuran di Hatin, 4 Juli 1187. Pada perang itu pasukan Kristen dihancurkan Salahuddin. Guy de Lusignan yang dengan sekutunya Raynald of Châtillon memulai perang dengan menghancurkan dan membunuhi para pedagang dan warga sipil Muslim pada 1185, ditangkap. Hanya Guy de Lusignan yang ditangkap hidup-hidup, sementara para ksatria Kristen lain, Geoffrey, Raynald, dan Humphrey, yang dalam film “Kingdom of Heaven” garapan Ridley Scott (2005) digambarkan begitu keji, dibunuh mati.
Guy dipenjarakan di Damaskus, sementara itu Ratu Sibylla bersama Balian de Ibelin tetap bertahan di Yerusalem. Ke Yerusalem-lah kemudian Salahuddin dan pasukannya menuju.
Kota yang penuh para pengungsi Kristen dari kota-kota taklukan yang telah ditaklukan pasukan Salahuddin itu padat oleh warga dan pendatang yang bermasalah, panas dan pengap. Penaklukan Yerusalem juga sebenarnya melibatkan sikap tak bisa dipercayanya Balian de Ibelin. Sebelumnya, dari kota Tirus yang dikuasai kaum Salib, Balian de Ibelin meminta izin Salahudddin untuk mengamankan perjalanannya ke Yerusalem guna mengambil istrinya, Maria Komnene, ratu Yerusalem dan keluarga mereka. Salahuddin mengabulkan permintaan Balian, dengan syarat Balian tidak mengangkat senjata melawannya. Ia juga hanya mengizinkan Balian tinggal sehari di Yerusalem.
Namun, setibanya di kota suci, Patriark Heraclius dari Yerusalem, Ratu Sibylla, dan para penduduk meminta Balian untuk bertanggung jawab atas pertahanan kota. Heraclius, atas nama Kekristenan, juga menyatakan Balian harus tinggal demi agama Kristen, seraya menawarkan untuk membebaskan Balian dari sumpahnya kepada Salahuddin. Balian pun setuju. Jadilah saat itu posisi Balian, menurut ahli sejarah Ibn al-Athir, sebagai memegang pangkat yang “kurang lebih sama dengan seorang raja.”
Salahuddin menjawab sikap Balian itu dengan mengepung kota Yerusalem. Pada 20 September, pasukan sudah berada di gerbang Menara Daud dan Gerbang Damaskus. Benteng kota pun segera dihujani panah-panah api. Warga Yerusalem tentu saja resah, panik. Namun selama enam hari, kota itu bisa bertahan. Bahkan hasil pengepungan itu bagi pasukan Muslim sangat minimal, bahkan pasukan Muslim banyak kehilangan personel militer mereka.
Pada 26 September 1187 Salahuddin memindahkan markas ke bagian kota yang berbeda, di Bukit Zaitun yang tak punya gerbang utama tempat tentara salib dapat melakukan serangan balik. Dinding-dinding kota terus-menerus dihantam berbagai mesin perang zaman itu: katapul, mangonel, petraries, api Yunani, dan anak panah berapi. Sebagian tembok dibobol dan runtuh pada 29 September.
Tentara Salib dan warga Yerusalem pun kian putus asa. Apalagi saat tidak ada lagi pria yang bersedia mengangkat senjata, bahkan kalau menurut Internet History Sourcebooks Project, dengan janji bayaran yang sangat besar sekalipun. Menurut catatan yang mungkin ditulis oleh Ernoul, seorang pengawal Balian, para pendeta mengorganisasi prosesi bertelanjang kaki di sekitar tembok, seperti yang dilakukan pendeta pada Perang Salib I di tahun 1099.
Di Gunung Kalvari, para wanita memotong rambut anak-anak mereka, setelah menenggelamkan mereka sedalam dagu ke dalam baskom air dingin. Pertobatan itu ditujukan untuk mengusir murka Allah dari kota. Tetapi, menurut “The Conquest of Jerusalem and the Third Crusade” karya Peter W. Edbury, “… Tuhan kita tidak berkenan mendengar doa-doa atau kebisingan yang dibuat di kota. Karena bau perzinahan, pemborosan menjijikkan dan dosa terhadap alam tidak akan biarlah doa mereka naik kepada Tuhan.”
Pada akhir September, Balian mulai mendatangi Salahuddin, berunding dan menawarkan penyerahan diri. Balian, menurut Malcom C. Lyons dalam “Saladin: The Politics of the Holy War“ bahkan sempat mengancam Salahuddin bahwa para pembela kota akan menghancurkan tempat-tempat suci Muslim, membantai keluarga mereka sendiri dan 5000 budak Muslim, dan membakar semua kekayaan dan harta Tentara Salib.
Salahuddin menawarkan tebusan sepuluh dinar untuk pria, lima untuk wanita dan dua untuk anak-anak agar bisa keluar dari kota. Mereka yang tidak bisa membayar akan diperbudak. Balian mengatakan kepadanya bahwa ada 20.000 orang di kota yang tidak pernah bisa membayar jumlah itu. Salahuddin mengusulkan total 100.000 dinar untuk membebaskan semua 20.000 Tentara Salib yang tidak mampu membayar. Balian mengeluh bokek, dan mengusulkan bahwa 7.000 dari mereka akan dibebaskan untuk sejumlah 30.000 dinar. Salahuddin setuju.
Yerusalem akhirnya ditaklukkan Salahuddin pada 2 Oktober 1187. Ratu Sibylla menulis surat kepada Salahuddin, meminta belas kasihan agar suaminya Guy de Lusignan dibebaskan. Guy memang akhirnya Guy diberi kebebasan setahun kemudian.
Pengambilalihan kota itu relatif damai, berbeda dengan kebuasan pengepungan Tentara Salib atas kota tersebut pada tahun 1099. Sekitar 8.000 wanita dan anak-anak terkumpul dan segera dibebaskan. Balian membayar 30.000 dinar untuk membebaskan 7.000 dari mereka yang tidak mampu. Salib Kristen emas besar yang telah ditempatkan di atas Kubah Batu oleh Tentara Salib ditarik, dan semua tawanan perang Muslim dibebaskan. Menurut cendekiawan dan sejarawan Kurdi Baha ad-Din ibn Shaddad, jumlahnya mendekati 3.000.
Salahuddin mengizinkan banyak wanita bangsawan Kristen untuk pergi tanpa membayar uang tebusan. Misalnya, seorang ratu Bizantium yang menjalani kehidupan monastik di kota diizinkan meninggalkan kota bersama pengiring dan rekan-rekannya, seperti halnya Sibylla, ratu Yerusalem, dan istri Raja Guy. Salahuddin juga memberinya jalan yang aman untuk mengunjungi suaminya yang ditawan di Nablus. Orang-orang Kristen pribumi diizinkan untuk tetap tinggal di kota itu, sementara orang-orang yang berasal dari Tentara Salib diizinkan meninggalkan Yerusalem ke negeri-negeri lain bersama dengan barang-barang mereka melalui jalan yang aman melalui Akko dengan membayar tebusan 10 dinar.
Saudara Salahuddin, Al-Adil, tergerak oleh pemandangan itu dan meminta Salahuddin untuk 1.000 dari mereka sebagai hadiah atas jasanya. Salahuddin mengabulkan keinginannya dan Al-Adil segera melepaskan mereka semua.
Heraclius, setelah melihat ini, meminta Salahuddin membebaskan beberapa budak. Dia diberikan 700, sedangkan Balian diberikan 500 dan semuanya dibebaskan oleh mereka. Semua orang tua yang tidak bisa membayar uang tebusan dibebaskan atas perintah Salahuddin dan diizinkan meninggalkan kota. Salahuddin kemudian melanjutkan untuk membebaskan 1.000 tawanan lagi atas permintaan Muzaffar al-Din Ibn Ali Kuchuk, yang mengklaim bahwa mereka berasal dari kampung halamannya di Urfa.
Usai ditaklukkan, Salahuddin memulihkan tempat-tempat suci Muslim dan secara umum menunjukkan toleransi terhadap orang-orang Kristen. Ia mengizinkan peziarah Ortodoks dan Kristen Katolik Timur mengunjungi tempat-tempat suci dengan bebas — meskipun peziarah Frank (yaitu Katolik) diharuskan membayar biaya masuk. Kontrol urusan Kristen di kota itu diserahkan kepada patriark ekumenis Konstantinopel.
Dalam “Kingdom of Heaven” ada dialog di akhir-akhir film antara Balian dengan Salahuddin. Saat Balian bertanya, mengapa Salahuddin melakukan semua perilaku penuh toleransi itu, sementara para ksatria Kristen ‘pembebas Yerusalam’ pada 1099 tidak?
“Aku bukan mereka. Aku Salahuddin,” kata Salahuddin. [INILAH.com]