Alwi mungkin romantis atau naif. Tapi untuk mendukung pendapatnya, wartawan yang sudah berusia 70-an tahun dan didera diabetes yang kronis itu mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk menelusuri awal perjalanan Dasima.
Oleh : Idrus F Shahab
JERNIH – Alwi Shahab. Di matanya, wartawan-penulis itu tak ubahnya seperti profesi dukun beranak, dukun patah tulang, penepuk marawis yang mengarak pengantin atau anak lelaki yang baru saja disunat, atau tukang cerita dalam masyarakat tradisional. Dengan kata lain, penulis seperti dirinya bukanlah sosok luar biasa yang tidak pantas dinilai menurut ukuran orang kebanyakan.
“Alwi memang rendah hati,” kata Bagir Assegaf, 74 tahun, kawan lama yang melewati masa remajanya bersama Alwi di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat. Kini, berpuluh tahun berselang, Alwi bercerita dan terus bercerita lewat tulisan-tulisannya yang bersahaja. Tak ada kecenderungan untuk membubuhkan istilah-istilah intelektual untuk meyakinkan pembaca bahwa si penulis benar-benar memahami persoalan yang diajukannya. Alwi Shahab, di tangannya sejarah jadi asyik, kendati tidak kehilangan keseriusannya.
Sempat beberapa bulan bekerja di Arabian Press Board, sepanjang 1963–1993 dengan penuh ketekunan–dan tentu saja kesendirian– Alwi Shahab menjalani kehidupan seorang wartawan yang tidak selalu mudah di Kantor Berita Antara. Kemudian tibalah masanya ketika ia seperti ikan yang dikembalikan ke dalam kolam. Yakni tatkala tulisan-tulisannya tentang sejarah Betawi, atau artikel-artikelnya yang mendudukkan kota Jakarta sebagai tempat kejadian peristiwa-peristiwa bersejarah yang mengubah perjalanan bangsa ini kemudian bermunculan di Harian Republika.
Di antara tumpukan ingatannya, Alwi mencari kembali kejadian demi kejadian di masa lalunya yang bernas dan panjang, kemudian menghidangkannya kepada pembaca dengan gaya yang unik. Gaya sebagaimana layaknya seorang Pak Zahid, tukang cerita terkenal di tanah Betawi bertutur “menurut sohibul hikayat…..”
Hasilnya, tulisan-tulisan segar serta hidup, di mana penulisnya berkisah tentang potongan-potongan sejarah kontemporer Indonesia yang pernah disaksikannya, juga catatan mengenai jejak kolonialisme di tanah jajahan mereka yang jauh di seberang lautan ini. Inilah karya seseorang yang menguasai the art of story telling dengan audiens yang tak dibatasi oleh kelas, golongan atau etnik tertentu.
Dari pendekatan seperti ini, muncullah sejumlah buku hasil kompilasi tulisannya seperti “Batavia Kota Hantu”, “Saudagar Bagdad dari Betawi”, “Ciliwung, Venesia dari Timur”, “Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang”, “Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia”, “Oey Tambahsia, Playboy Betawi”, “Batavia Kota Banjir”, “Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe”, “Kasino Bernama Pulau Seribu.” Buku-buku yang tidak hanya berbicara mengenai etnisitas penulis, tapi juga memperlihatkan produktivitas luar biasa seorang yang telah berusia senja.
Lahir dan dibesarkan di Kwitang, 84 tahun silam, sebuah kampung di tengah kota yang akrab dengan cerita Nyai Dasima, Alwi Shahab misalnya, menulis “Dasima dan Kisah Para Nyai.” Dari memori kolektif masyarakat Kwitang –termasuk Alwi tentunya– tersebutlah kejadian tragis yang menimpa seorang gadis cantik asal Desa Kuripan, Bogor yang berniat kembali ke “jalan lurus”. Mengadu untung di kota, gadis yang malang ini tersesat di tengah jalan: Dasima dijadikan gundik atau nyai oleh Sir Edward William, lelaki kulit putih berkebangsaan Inggris, orang kepercayaan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang tinggal di daerah Pejambon, belahan kota yang masih bertetangga dengan Kwitang.
Seorang pembunuh bayaran, Bang Puase, menyudahi hidup Dasima yang singkat di jembatan Kali Ciliwung, Kwitang. Mayatnya ditemukan orang di sungai yang sama di Pejambon, tersangkut di dekat rumah tuannya dulu…