Lazar Parpeci (lahir di Armenia, 453) mencatat: “Bahkan di masa damai, hanya mendengar atau menyebut kaum Hephthalite dapat membuat orang bergidik ketakutan; dan dapat dipastikan tidak ada seorang pun yang secara terbuka berani menyatakan perang atas mereka, karena semua orang mengingat dengan sangat jelas malapetaka dan kehancuran yang ditimpakan Hephthalite pada Raja India dan Raja Persia.”
Oleh : Zaenal Muttaqin*
JERNIH– Abad ke-13 menandai pudarnya kekaisaran tua Bizantium dan lahirnya kekaisaran baru Ottoman. Periode ini ditandai oleh dua hal: pertama, pendudukan Konstantinopel oleh Tentara Perang Salib pada 13 April 1204. Kedua, invasi Mongol dari 1210 hingga 1270 yang meliputi wilayah Polandia dan Hungaria di Eropa, Anatolia, Mesopotamia, dan Persia di Asia Tengah, hingga India di selatan serta Jepang dan Indocina di timur.
Dari Xiongnu hingga Monggol
Mongol berasal dari wilayah stepa yang sama dengan Turkik dan Hunik. Para penulis Cina dari periode Dinasti Han mencatat bahwa pada 209 SM terbentuk konfederasi suku-suku nomaden di utara Cina yang dicatat sebagai Khanat Xiongnu atau Hunnu.
Khanat Xiongnu bertahan hingga abad ke-3 masehi dan pecah menjadi beberapa konfederasi. Di sebelah timur muncul Khanat Rouran dari suku Tatar, yang menguasai hampir seluruh wilayah Mongolia sepanjang abad ke-4 dan ke-5 masehi. Di selatan muncul Khanat Kidaritis atau Hun Merah (Latin: Xionites; Persia: Kidarites, Sanskerta: Hunna) di wilayah Bacteria. Dan di Barat muncul Khanat Hephthalite atau Hun Putih (Latin: Hephthalite; Sansakerta: Sveta Hunna) di wilayah Sogdian.
Belakangan, di pertengahan abad ke-5, muncul Khanat Hun Biru yang lebih dikenal sebagai Gokturk (artinya: Turk Biru atau Hun Biru). Inilah kali pertama kata “Turk” dipakai sebagai nama ikatan politik. Menurut Kitab “Zhou” dari masa Dinasti Tang, mereka berasal dari klan Ashina di timur, sisa-sisa konfederasi Xiongnu. Goktruk pertama kali muncul di Xinjian, di sebelah timur Pegunungan Altai.
Pencantuman warna dalam tradisi stepa di Eurasia menunjukan asal dan status mereka dalam kebudayaan padang rumput. Warna hitam artinya “utara” dan biru artinya “timur”, di mana keduanya memiliki status sosial tertinggi dalam tradisi padang rumput; sementara warna putih artinya “barat” dan merah artinya “selatan”, dengan status sosial yang lebih rendah. Itu sebabnya Khanat Gokturk (Turk Biru) diduga merupakan suku nomad dari timur yang bermigrasi ke Pegunungan Altai.
Attila Hun, yang menyerbu Eropa sepanjang kurun 434–453 Masehi, diperkirakan berasal dari klan Hephthalite. Tetapi ekspansi kaum nomaden bukan hanya terjadi di wilayah Eropa. Sebelumnya Kidarites (Hun Merah) menduduki Bacteria pada tahun 360, sebelum melancarkan serangan ke Kerajaan Gupta pada tahun 390. Kidarites bertahan hingga sekitar tahun 460. Di utara, Kidarites takluk pada koalisi Sasanid-Hephthalite; sedangkan di selatan, balik ditekan Kerajaan Gupta. Selepas Kidarites lenyap, Hephthalite menguasai seluruh wilayah yang ditinggalkan Kidarites, dari Bacteria hingga Gupta. Prasasti dari Dinasti Gupta menyatakan bahwa bangsa Hunna nyaris mengakhiri Kerajaan Gupta.
Lazar Parpeci (lahir di Armenia, 453) mencatat: “Bahkan di masa damai, hanya mendengar atau menyebut kaum Hephthalite dapat membuat orang bergidik ketakutan; dan dapat dipastikan tidak ada seorang pun yang secara terbuka berani menyatakan perang atas mereka, karena semua orang mengingat dengan sangat jelas malapetaka dan kehancuran yang ditimpakan Hephthalite pada Raja India dan Raja Persia.”
Khanat Goktruk berdiri tahun 551 ketika Bumin memproklamirkan diri sebagai khan (penguasa padang rumput) setelah berhasil mengakhiri dominasi Khanat Rouran. Pada tahun 557, Goktruk berhasil menaklukan Hephthalite (sebagian suku Hephthalite melarikan diri ke sebelah timur Sungai Danube dan membentuk Dinasti Avar). Goktruk terbelah dua menjadi Goktuk Timur dan Goktruk Barat (Onuq) ketika Taspar, khan keempat, meninggal tahun 584. Kurang dari seratus tahun, Dinasti Tang berhasil menaklukan Goktruk Timur pada tahun 630, dan Onuq pada tahun 657.
Di barat terbentuk dua konfederasi suku-suku nomaden yang masing-masing dipimpin suku Khazar dan suku Bulgar. Kedua konfederasi ini berebut daerah yang ditinggalkan Onuq. Khazar berhasil mengalahkan Bulgar dan membentuk Khanat Khazar di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia. Sementara itu klan Bulgar tersingkir jauh ke barat dan menjadi cikal bakal Kerajaan Bulgaria. Khanat Khazar berdiri tahun 650 dan mengalami masa kejayaan selama dua abad. Kehadiran kekhalifahan Islam di Selatan dan membesarnya Dinasti Rus di utara membuat Khanat Khazar harus menghadapi pertempuran di dua sisi, dan sejak abad ke-10 mulai menghilang.
Dua Seljuk: Seljuk-Persia dan Seljuk-Rum
Di akhir abad ke-8, saat Al-Mahdi menjadi khalifah Abbasiyah, klan Oghuz dari timur bermigrasi ke wilayah Khurasan, di antara Laut Kaspia dan Laut Aral. Klan ini menetap dalam perlindungan Khanat Khazar; dan setelah beberapa generasi mulai membesar dan membentuk Yabghu Oghuz (yabghu: pemerintahan otonom di bawah khanat). Beberapa catatan dari abad ke-10 menyebutkan bahwa Yabghu Oghuz dipimpin oleh pemimpin bernama Duqaq, dan diteruskan anaknya yang bernama Seljuk. Sebagai klan yang tunduk kepada Khanat Khazar, keduanya mengabdi sebagai perwira di pasukan Khazar.
Namun, ketika Khazar mengalami disintegrasi di tahun 960-an, Seljuk membawa sukunya bermigrasi ke wilayah Jandh di sebelah barat Sungai Indus (sekarang di utara Islamabad). Selain diikuti oleh seluruh keluarga dari sukunya, migrasi ini membawa serta 1.500 unta, 50.000 domba, dan dikawal 100 prajurit berkuda. Di wilayah inilah Seljuk dan para pengikutnya memeluk Islam. Konversi ini mengundang berbagai ghazi (istilah untuk menyebut kesatria/perwira Muslim keturunan Turkik) mulai berdatangan untuk bergabung dengan Seljuk. Ghazi Seljuk meninggal pada tahun 1009 Masehi, lalu digantikan oleh putra tertuanya, Arslan Israil.
Arslan Israil membawa klan Seljuk masuk dalam peta politik Transoksiana. Menurut catatan sejarah, tahun 1020 Arslan Israil membantu Khanat Karakhanid berperang dengan Kerajaan Ghaznavid, namun berakhir dengan kekalahan dan Arslan Israil berhasil ditawan. Keadaan ini memaksa Seljuk bermigrasi ke utara mencari tanah baru yang lebih aman. Setelah ditolak menetap di wilayah Karakhanid, mereka bergerak ke arah barat hingga akhirnya menetap di pegunungan Khorasan yang disebut Nasa, di tenggara Laut Kaspia.
Tughril Beg, yang menggantikan Arslan Israil, sempat mencoba melakukan upaya diplomasi dengan penguasa Ghaznavid, Sultan Mas’ud, agar diizinkan tinggal di wilayah tersebut seraya menjaga wilayah Ghaznavid dari serangan suku nomad. Namun, karena rekam jejak klan Seljuk sebelumnya, Sultan Mas’ud tidak mempercayai tawaran tersebut dan memutuskan menyingkirkan Seljuk dari wilayahnya.
Perang antara Seljuk dan Ghaznavid pecah pada tahun 1035 dan berlangsung selama bertahun-tahun. Namun Seljuk berhasil bertahan dan malah kekuasaannya di Khurasan semakin kuat dan luas. Pada tahun 1040, Sultan Mas’ud memimpin pasukan besar ke Khurasan dengan kekuatan 40.000 prajurit untuk mengakhiri perlawanan Seljuk yang diperkirakan diperkuat 20.000 prajurit. Pertempuran pun pecah di Dandanaqan (sekarang Turkmenistan, antara kota Merv dan Serakhs) dan berakhir dengan kekalahan telak Ghaznavid dan memaksa Sultan Mas’ud melarikan diri ke Ghazna namun berakhir terbunuh oleh kudeta di istananya. Perlu dicatat bahwa dinasti Ghaznavid juga berasal dari suku Turkik.
Setelah lebih dari satu dekade, kekuasaan Seljuk semakin lama semakin luas. Pada 1051 kota penting Isfahan, Hamadan, dan Tabris berhasil direbut, membuat jarak antara wilayah Seljuk dengan Baghdad semakin dekat. Kenyataan ini membuat keberadaan Seljuk mulai diperhitungkan oleh Khalifah Abbasiyah, Al-Qaim (berkuasa 1031–1075).
Pada masa itu Baghdad berada dalam cengkraman Dinasti Buwahi yang beraliran Syiah, sementara Kekhalifahan Abbasiyah dikenal sebagai penjaga ajaran Sunni. Khalifah Al-Qaim pun mendekati Tughril dan mencoba meyakinkannya untuk melakukan intervensi membebaskan Baghdad dari Dinasti Buwaihi. Maka pada Desember 1055, bertepatan dengan Ramadhan 447 Hijriah, pasukan Seljuk berhasil masuk ke Baghdad dengan damai, dan membebaskan ibukota Abbasiyah itu dari cengkraman pasukan Buwaihi yang melarikan diri. Sejak saat itu Tughril secara sah diangkat sebagai “Sultan Seljuk” atas kuasa dari Khalifah Abbasiyah.
Alp Arslan, yang menjadi pengganti Tughril, merupakan sultan Seljuk paling terkenal berkat ekspansinya dalam menaklukan wilayah Syiria dan Anatolia. Pada tahun 1064, melancarkan serangan ke kerajaan Georgia dan Armenia (dulunya dikuasai Khanat Khazar), sebelum memukul Dinasti Fatimiah dari Syria. Pandangannya lalu tertuju ke Anatolia, dan Alp Arslan membawa pasukannya menghadapi Bizantium. Setelah beberapa pertempuran kecil, pada tahun 1071 Alp Arslan dari Seljuk dan Kaisar Romanos IV dari Bizantium akhirnya bertemu dalam Pertempuran Manzikert yang menentukan keberadaan Turkman di Anatolia.
Peralihan kekuasaan di Kesultanan Seljuk tidak selalu berlangsung mulus. Kutalmis, putra tertua Arslan Israil, berebut tahta dengan Alp Arslan, putra tertua Chughril. Perseteruan ini berakhir dengan perang saudara di Damghan pada 1063, yang dimenangkan Alp Arslan. Selain itu, Alp Arslan juga berhasil menawan Kutalmis beserta putranya, Suleyman. Namun Kutalmis melarikan diri dan meninggal tahun itu juga, sementara Suleyman dibuang ke pengasingan dan ditampung suku Turkik lainnya, yang dikenal sebagai klan Nawakiyah. [Bersambung]
*Pecinta buku, seni, dan kopi; penggiat pendidikan dan literasi.