Site icon Jernih.co

Parodi Berbuah Tragedi: Kena Mental, Kulbet Syndrome dan Cancel Culture

“Kulbet Syndrome” ini punya saudara kandung yang disebut “Pargoy Syndrome”. Ya Tuhan, ini apa lagi, sih? Pargoy adalah “partai goyang”. Mereka yang terkena sindrom ini mengalami transformasi misterius dari melakukan kegiatan apapun langsung, dalam sekejap, joget-joget. Jadi, kalau Anda melihat sebuah mobil yang melaju di jalan tol mendadak menepi lalu sang pengemudi terlihat joget-joget seperti kerasukan roh halus jalan tol, nah, itu salah satu contoh Sindrom Pargoy.

Oleh   : Akmal Nasery Basral

JERNIH—Bumi kita satu, tetapi dunia kita banyak.  Sementara tentara Israel kembali menggeruduk jamaah Masjid Al Aqsha, perang Rusia-Ukraina juga kian mengoyak-koyak. Di belahan bumi lain, satu partai mahasiswa yang baru berdiri membuat publik menduga-duga dari mana sumber dana operasional yang pastilah tak murah. Ada lagi kisah dua musisi bernama Tri Suaka dan Zinidin Zidan yang sepekan belakangan penuh drama sumpah serapah.

“Realitas adalah sebuah konstruksi sosial,” ujar sosiolog Peter Berger satu ketika berdekade-dekade lalu. Realitas tak pernah bersifat independen selain tergantung pada tafsir kolektif mayoritas. Makna yang mereka berikan terhadap satu peristiwa bisa menaklukkan motif awal yang dilakukan individual.

Tafsir kolektif mayoritas itulah yang menjadi ‘dunia’ yang kita jalani, meski sebagai individu tetap bisa bereaksi dengan menciptakan ‘dunia sendiri’ yang ansos (antisosial) yang tak tunduk pada kehendak publik.

Inilah yang belum dipahami Tri dan Zidan, dua penyanyi yang terempas telak melalui sebuah video dagelan. Tri, 27 tahun, berasal dari Baturaja, Sumatra Selatan, sedangkan Zidan, 23 tahun, dari Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Garis nasib mempertemukan keduanya di Yogyakarta setelah jatuh bangun merintis karier masing-masing. Mereka lalu memutuskan bersekutu membawakan lagu-lagu cover version dari repertoar grup dan penyanyi lain yang lebih beken.

Arkian di bulan Desember 2021, keduanya membuat acara live TikTok. Sebuah jumpa fans. Follower mereka lumayan sudah jutaan. Bahkan video cover lagu “Buih Menjadi Permadani” (aslinya dari grup Malaysia Exists, 1997) sudah ditonton 124 juta kali dalam enam bulan sejak diunggah Oktober lalu (dibawakan Zidan ft. Nabila Maharani, perempuan penyanyi yang menjadi vokalis ketiga dalam formasi mereka). 

Nah, saat live itu ada permintaan fans agar mereka—tanpa Nabila–membawakan beberapa lagu penyanyi lain. Tri dan Zidan memilih lagu Kangen Band, Armada, Agnez Mo, Iwan Fals, Ebiet G. Ade, dan Rhoma Irama. Sebagai spesialis pembawa lagu-lagu cover version mereka punya keahlian menekuk-nekuk vokal dan mimik wajah mendekati ekspresi penyanyi aslinya. Namanya juga impersonasi dengan mereka sebagai impersonator.

Sampai di sini tak ada masalah. Toh begitu banyak impersonator di dunia hiburan baik parodi atau nonparodi. Salah satu yang paling sohor adalah Alfred Matthew ‘Weird Al’ Yankovic, yang banyak memparodikan lagu penyanyi dunia dan, uniknya, lagu-lagu versi Weird Al malah bisa tembus tangga lagu Billboard atau bahkan diputar di kanal musik MTV meski aransemen lagunya plek ketiplek sama dengan lagu asli, hanya mengubah kata dan judul lagu.

Balik pada acara Tri dan Zidan, sepanjang lagu dibawakan—Tri menggenjreng gitar duduk bersila di depan kamera sembari menyanyi, dan Zidan di belakang juga menimpali dengan vokalnya—keduanya berulang kali terkikik geli. Kadang-kadang sembari memeyot-meyotkan mulut mereka secara atraktif atau membekap mulut sendiri untuk menahan ledakan tawa. Terutama dilakukan Zidan yang (tampaknya) gampang terpingkal-pingkal. Menutup mulut saat tertawa—pada sebagian besar situasi sosial—adalah selaras dengan tata krama Timur warisan leluhur. Tetapi kali ini  berbeda menurut tafsir mayoritas warganet yang menonton video itu—yang entah mengapa—baru viral sejak 21 April pekan lalu.

Video panjang live itu kini muncul sudah dikerat-kerat lebih singkat. Keratan pertama adalah parodi gaya menyanyi vokalis Kangen Band, Andika Mahesa yang dipanggil ‘Babang Tamvan’ oleh penggemarnya. Terkejut melihat penampilan Tri-Zidan yang dianggap meledek dan menghina penyanyi senior, mereka meradang di lini masa media sosial. Melontarkan kecaman demi kecaman. 

Boom!. Dalam hitungan jam kemarahan publik mengguntur mengikuti deret ukur. Mereka membuat komentar dan video reaksi agar kedua penyanyi ‘kemarin sore’ itu meminta maaf terbuka. Namun Tri dan Zidan belum ‘’ngeuh’’ apa yang sedang terjadi. Zidan bahkan merilis video tanggapan bahwa mereka tak punya masalah dengan Andika. Terhadap tudingan warganet bahwa mereka hanya penyanyi lagu cover, dia menjawab enteng, “Kalian aja yang goreng kita. Aku gak panik, emang kita gak ada masalah. Aku juga cover, tapi aku ada karya. Situ ada gak?” katanya balik menyindir.

Ucapan itu bak guyuran bensin ke lidah api yang sedang menari-nari, mendatangkan tsunami kemarahan kian menjadi. Sementara Andika Kangen Band bersikap adem ayem, tuntutan somasi justru berdatangan dari pihak lain. Mereka menuding Tri dan Zidan selama ini membawakan lagu-lagu mereka tanpa izin dan tak membayarkan royalti. Padahal keduanya  memonetisasi lagu-lagu orang lain melalui YouTube atau penampilan di kafe-kafe. Tuntutan datang dari Divisi Hukum Forkami (Forum Komunikasi Artis Minang Indonesia) sebesar satu miliar untuk lagu anggota mereka dan dari pencipta lagu Erwin Agam sebesar Rp 10 miliar untuk dua lagunya yang rutin dibawakan Tri dan Zidan. “Tak pernah minta izin. Bahkan meski sudah saya hubungi mereka sebelumnya tapi mereka diamkan,” gerutu Erwin. 

Musisi pop senior lainnya pun berbondong-bondong ‘menasehati’ Tri dan Zidan. Ada yang melalui podcast, komentar di media sosial, atau wawancara door stop dengan reporter  televisi. Mereka antara lain Ian Kasela (Radja), Rian (D’Masiv), Duta (Sheila on 7), Anji (Drive), Ariel (Noah), Uya Kuya (Tofu), Armand Maulana, Ahmad Dhani (Dewa 19), sampai Deddy Corbuzier dengan “Close The Door”, salah satu podcast dengan penonton terbanyak saat ini. Tri dan Zidan terpojok.

Di kanal Uya Kuya TV, dua hari lalu, Zidan akhirnya menangis setelah disambungkan video call dengan Andika. Dia mengaku bersalah dan tergugu-gugu. “Saya sampai kena mental,” ujarnya. “Berhari-hari nggak bisa tidur dan muntah-muntah. Saya minta maaf, Bang Andika,” katanya berulang kali menyeka air mata. Lalu dia memohon kepada netizen. “Nggak apa-apa saya di-bully. Saya salah, tapi tolong jangan bully keluarga saya,” katanya memelas. Konon jumlah follower Instagram-nya anjlok 80 persen dalam hitungan hari. Dari 5+ juta menjadi hanya 1+ juta.

Kena mental. Ini istilah gaul yang merupakan padanan bebas dari mental breakdown. Awalnya digunakan untuk menyebut pemain gim online yang mendadak ngambek dan mogok bermain ketika melihat tak punya kesempatan menang, kini istilah itu berlaku umum untuk situasi di bawah tekanan keras yang membuat rasa percaya diri ambrol.

Serangan warganet terhadap Tri lain lagi. Entah siapa yang memulai mendadak muncul daftar riders-nya sebagai artis. Dari honor tampil satu jam Rp 50 juta sampai kebutuhan spesifik dan makanan tertentu yang harus ada di kamar hotelnya. Masalahnya adalah, riders Tri itu juga dibarengi dengan bocornya riders sejumlah grup besar lainnya yang—menurut netizen—lebih masuk akal dan tidak aji mumpung seperti permintaan spesifik Tri yang dianggap belagu dan songong.

Selesai? Belum, Lur!  Efek domino terus berlanjut dengan munculnya video lain yang menampakkan Tri dan Zidan di sebuah acara dengan gaya menirukan anak berkebutuhan khusus. Badai kecaman kembali menggulung mereka berdua hingga Zidan harus membuat penjelasan berbeda kepada publik, khususnya kepada para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Dalam penjelasan cukup panjang, intinya mereka sama sekali tak sedang menghina selain aksi spontan Kulbet yang juga sedang viral. “Saya bahkan tak tahu siapa yang menciptakan Kulbet selain mengikuti saja gaya itu,” tulis Zidan.

Apa itu Kulbet? Bagi Anda yang dunia kesehariannya hanya memeloti berita larangan ekspor CPO, jadwal balapan Formula E atau pergerakan harga mata uang kripto, Kulbet adalah bahasa asing dari ‘dunia lain’ yang tak kalah memusingkan dari bahasa Aurebesh dan Galactic Basic yang digunakan tokoh-tokoh dalam Star Wars.  Sebab, Kulbet tak akan Anda temukan di kamus atau tesaurus mana pun.

Kulbet—lengkapnya ”Kulbet Syndrome”—adalah bahasa oplosan lokal dari “cool” dan “bet (banget)”, ekspresi bahasa gaul milenial. Jadi kulbet adalah “cool banget”. Kenapa harus ada syndrome? Ini untuk menunjukkan ciri-ciri seseorang yang tadinya sedang sibuk melakukan satu kegiatan, mendadak berubah bersikap (sok) “cool banget” seperti langsung pasang gaya seperti peragawan atau peragawati. Perubahan drastis dari kondisi serius menjadi “cool banget” itu yang disebut kulbet.

“Kulbet Syndrome” ini punya saudara kandung yang disebut “Pargoy Syndrome”. Ya Tuhan, ini apa lagi, sih? Pargoy adalah “partai goyang”.

Mereka yang terkena sindrom ini mengalami transformasi misterius dari melakukan kegiatan apapun langsung, dalam sekejap, joget-joget. Jadi, kalau Anda melihat sebuah mobil yang melaju di jalan tol mendadak menepi lalu sang pengemudi terlihat joget-joget seperti kerasukan roh halus jalan tol, nah, itu salah satu contoh Sindrom Pargoy.

Balik ke masalah yang sedang membelit Tri dan Zidan, sejak kemarin muncul kerat video selanjutnya dimana mereka melakukan parodi terhadap Iwan Fals (dilakukan Tri) dan Ebiet G. Ade serta Rhoma Irama (oleh Zidan). Dari segi qua vokal, kemiripan vokal yang tercipta lumayan mengagumkan. Membuktikan Tri dan Zidan memang punya bakat impersonator.

Masalahnya, lagi-lagi, ya soal cengangas-cengenges sepanjang lagu yang dilihat netizen sebagai ledekan terhadap tiga ikon musisi tanah air yang sudah sampai tahap legenda hidup di genre masing-masing. Maka muncul imbauan baru dari sebagian netizen yang kalap agar “kawal kasus Tri-Zidan, miskinkan sampai mereka jadi pengamen lagi.”

Menanggapi perkembangan terbaru ini, Andika Kangen Band mengimbau agar warganet segera menyudahi. “Saya sudah ikhlas memaafkan mereka. Apalagi saat kita sedang di bulan puasa. Semua orang pernah salah,” katanya dalam podcast dengan Deddy Corbuzier, kemarin (Rabu, 27/4). Adapun kepada kedua yuniornya, Andika menenteramkan mereka dengan mengatakan bahwa “semoga Allah akan meningkatkan derajat kalian melalui peristiwa ini. Diambil saja hikmahnya.”

Mengapa kisruh parodi menjadi tragedi ini terjadi? Saya melihatnya dari kegagalan—atau lebih tepatnya pada kebelumpahaman—Tri dan Zidan terhadap makna-makna dalam interaksionisme simbolis. Ada simbol-simbol universal yang sudah disepakati bersama di belahan dunia mana pun, namun ada juga simbol-simbol yang rawan dalam perbedaan tafsir kerumun.

Simbol universal yang tak mungkin disalahartikan warga dunia contohnya lampu lalu lintas. Merah adalah tanda berhenti, kuning tanda harus memelankan kecepatan, dan hijau tanda boleh melaju. Ini simbol yang disepakati di semua negara. Tak ada komunitas yang membuat lampu lalu lintas dengan pilihan warna sendiri, misalkan mengganti dengan lampu warna nila, ungu, dan jingga. Tak ada.

Tetapi menyangkut selera humor, urat tawa manusia berbeda-beda. Jika parodi dilakukan oleh komika (stand-up comedy) atau pelawak dalam sebuah pertunjukan, publik masih mafhum. Bahkan presiden pun bisa diparodikan seperti dulu kerap dilakukan seniman Butet Kertaradjasa yang piawai melakukan impersonator terhadap Pak Harto. Itu dilakukan Butet bukan hanya 1-2 kali, melainkan berkali-kali, dan dia tak pernah tersandung kasus hukum yang diperkarakan Keluarga Cendana karena merasa terhina, misalnya.

Kegagalan memahami simbol oleh Tri-Zidan ini karena mereka adalah penyanyi yunior yang melakukan parodi terhadap para senior dalam sebuah manner yang kurang patut. Tekor attitude. Sekiranya sejak awal Tri-Zidan memahami konstelasi dunia simbol—yang eksis di setiap dunia profesi—mereka tak akan terempas sekeras dan setelak ini. 

Saya sendiri berpendapat setelah menganalisis gestur Tri dan Zidan dalam video parodi serta menyimak belasan video dan podcast yang menghadirkan keduanya sebagai bintang tamu—selalu dengan wajah pucat dan tegang—sejatinya mereka hanya melakukan overjoke. Becanda yang melebihi takaran tanpa punya niat (sengaja) menghina senior-senior mereka seperti anggapan sebagian besar netizen yang murka.

Namun damage has been done. Tri dan Zidan bukan hanya mendulang badai amarah netizen, melainkan juga menjalani poin terakhir dari tulisan ini: cancel culture atau budaya pembatalan. Budaya penolakan. Sebuah bentuk ekskomunikasi yang ditunjukkan melalui pembatalan kontrak-kontrak mereka yang dilakukan klien. Salah satunya oleh Pemerintah Daerah Sragen yang mengundang keduanya sebagai pengisi acara HUT ke-276 kota itu yang jatuh di bulan Mei. Santer beredar kabar di media sosial bahwa slot tampilTri dan Zidan justru akan digantikan Kangen Band.

Cancel culture” juga terlihat dalam bentuk respons publik terhadap cafe Menoewa Kopi milik Tri Suaka di Sleman, Yogyakarta. Cafe yang namanya terinspirasi judul lagu “Menua Bersamamu” tersebut sebelumnya selalu ramai dipenuhi anak muda nongkrong. Kini pemandangan di tempat itu lebih banyak bangku kosong melompong. Dalam konteks ini “cancel culture ” adalah sebuah boikot massal.

Bumi kita satu tetapi dunia kita banyak. Dari industri hiburan bisa dipetik pelajaran bahwa memahami semesta simbol sebuah dunia profesi adalah sebuah kewajiban. 

Di sisi lain, netizen sebaiknya juga mengontrol komentar mereka agar tak berlebihan, apalagi kita sedang di hari-hari terakhir Ramadhan. Memahami dan memaafkan kesalahan adalah buah setelah shiyam dan qiyam selama sebulan. Jangan biarkan hasil ibadah istimewa ini dihancurkan emosi dan marah berkepanjangan.  [  ]

28.04.22 (tanggal kelahiran)

*Sosiolog, penulis penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Exit mobile version