Undang-undang Paradara di zaman Majapahit terdiri atas 17 pasal, yakni dari pasal 198 hingga pasal 214. Perbuatan yang dikategorikan sebagai pidana adalah mengganggu, meniduri, memegang-megang (bahasa anak muda sekarang grepe-grepe), meminjam pakaian tanpa izin, berbicara di tempat sepi, mengadakan pertemuan diam-diam, mengajak lari, dan bertengkar, baik dengan istri orang lain ataupun wanita pada umumnya.
JERNIH—Sebagai Homo sapiens yang berakal, manusia tidak hanya mampu berkomitmen dan setia kepada pasangannya. Di sisi lain, ia juga bisa khianat dan berselingkuh.
Barangkali pemahaman tersebut yang membuat penguasa Majapahit di abad 14 membentuk kitab perundang-undangan, yang saat itu disebut Agama. Banyak materi berhasil disusun yang dimasukkan ke dalam kitab Agama itu. Di antaranya peraturan tentang pencurian, jual beli, perkawinan, dan perbuatan mesum. Sebagian besar peraturan-peraturan itu dibuat untuk melindungi kaum perempuan.
Di antara berbagai bab yang disusun untuk melindungi perempuan tersebut terdapat bagian tentang perbuatan mesum atau paradara (arti sebenarnya, “istri orang lain”). Kata paradara di kala itu merujuk pada perbuatan yang kurang senonoh terhadap istri orang lain atau terhadap wanita lain bukan istri, yang telah kawin.
Pada hakikatnya, undang-undang Paradara dimaksudkan untuk membina ketenteraman kehidupan berkeluarga. Makanya apa pun yang dianggap berpotensi mengganggu ketenteraman kehidupan berkeluarga, menurut undang-undang itu wajar dikenakan hukuman pidana. Pada zaman Majapahit, undang-undang ini diberlakukan dengan sangat keras.
Undang-undang Paradara di zaman Majapahit terdiri atas 17 pasal, yakni dari pasal 198 hingga pasal 214. Perbuatan yang dikategorikan sebagai pidana adalah mengganggu, meniduri, memegang-megang (bahasa anak muda sekarang grepe-grepe), meminjam pakaian tanpa izin, berbicara di tempat sepi, mengadakan pertemuan diam-diam, mengajak lari, dan bertengkar, baik dengan istri orang lain ataupun wanita pada umumnya.
Bahkan, ancaman pidana akan dijatuhkan kepada siapa pun yang memberikan kesempatan kepada pemuda dan pemudi untuk berbuat tidak senonoh. “Baik yang melakukan maupun yang menyediakan tempat pertemuan, diancam dengan denda sebesar 4.000 laksa oleh raja yang berkuasa, sebagai denda penghapus kesalahannya,” demikian menurut undang-undang itu.
Kitab Agama telah menjadi pegangan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan di masa Kerajaan Majapahit. Penerapannya yang sangat ketat dan luar biasa, membuat rakyat Majapahit merasa aman dan tenteram.
Gembok perempuan
Di samping undang-undang saat itu pun sudah ada ‘penggembokan’ pada wanita bersuami. Bahkan tidak hanya di Majapahit. Salah satu bentuknya adalah celana berbahan logam yang dilengkapi semacam kunci. Kunci tersebut kemudian dipegang oleh suami atau kerabat si suami. Kurang begitu jelas apa maksud penggembokan tersebut, namun diduga lantaran suami takut istrinya berbuat serong atau berselingkuh.
Bukti arkeologi dan etnografi menunjukkan, celana bergembok atau berkunci pada awalnya merupakan benda upacara yang dipakai oleh anak wanita kecil. Di Aceh, benda semacam itu dinamakan cupeng. Fungsinya sebagai penutup kelamin anak wanita. Bentuknya seperti hati dan pemasangannya diikat dengan benang pada perut si anak. Pernah ditemukan artefak cupeng berbahan emas 22 karat, berukuran tinggi 6,5 cm, dan lebar 5,8 cm. Kini cupeng tersebut menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta.
Melihat bahannya, kemungkinan besar cupeng itu digunakan oleh orang yang cukup terpandang. Cupeng pun penuh dengan ukiran. Pinggirannya berhiaskan motif tapak jalak, bagian tengah bermotif bunga teratai dikelilingi deretan bunga bertajuk empat helai dalam bentuk belah ketupat. Bagian tengah bunga tadi bermatakan jakut merah.
Menurut tradisi lama, cupeng harus dipakai oleh anak wanita yang berusia 2 tahun hingga 5 tahun. Atau digunakan ketika anak mulai berjalan sampai mulai bisa mengenakan sarung sendiri. Mereka percaya, cupeng merupakan penangkal roh jahat. Pada saat dipakai pertama kali, benang yang dikalungkan terlebih dahulu diberikan mantera atau jampi-jampi oleh seorang dukun.
Badong
Hampir serupa dengan cupeng, adalah badong. Badong merupakan perhiasan untuk wanita bangsawan atau tokoh yang dihormati. Penggunaannya diletakkan di luar kain, tepat di depan alat kelamin wanita. Badong adalah simbol bagi wanita yang telah menikah dan dipakai pada saat suami mereka sedang berperang atau sedang berada di luar rumah.
Badong juga digunakan oleh para pertapa dan pendeta wanita, untuk melawan godaan agar selamanya tidak melakukan hubungan intim dengan lawan jenis.
Badong berbahan emas pernah ditemukan di daerah Madiun, kemungkinan berasal dari masa Majapahit sekitar abad ke-14 atau ke-15. Artefaknya juga biasa dilihat di Museum Nasional, Jakarta.
Yang unik, permukaan badong dihiasi relief cerita Sri Tanjung, seorang wanita suci yang dituduh selingkuh oleh suaminya, Sidapaksa, dan kemudian dibunuh. Namun Dewi Durga datang menolong Sri Tanjung dengan memberikan seekor gajamina (ikan gajah) untuk membantu membawanya ke surga, sebagai imbalan atas kesucian hatinya. [ ]