Site icon Jernih.co

Pengalaman Menghuni Penjara Cipinang* (8): Di Penjara, Jadi Advokat Sementara

“Aku beli minyak tanah dulu. Aku siram kubangan tahi itu dengan minyak tanah, hingga tak lagi berbau. Baru kutimba berember-ember hingga kosong,” kata dia. Mengapa WC umum? “Justru itu hal yang dihindari, tak ada orang mau. Cuma aku ‘pemain’ di bisnis itu,” katanya.

JERNIH—Kemarin saya bercerita bahwa bahkan di penjara, banyak cara dan asbab yang memungkinkan rejeki mengalir datang kepada kita. Tentu saja rejeki dalam arti sangat sempit: materi, dan lebih sempit lagi, uang.

Saya juga sempat sedikit mengulas dari mana saja saya mendapatkan uang (“pelor” kalau di dalam penjara) untuk menutupi kebutuhan di dalam. Sebab, alih-alih awalnya saya berpikir bahwa penjara bisa membebaskan saya dari uang sebagaimana hidup Mark Boyle setelah ia mendapatkan ‘pencerahan’ dalam “The Moneyless Man”, seperti pernah saya katakana,  di penjara uang bahkan mendapatkan tempat yang lebih tinggi dibanding semestinya. Katakanlah mungkin, overestimated, dan itu tentu sangat terkait citra dan penilaian yang ada di kepala.

Selama saya di dalam, saya bersyukur masih bisa melakukan aktivitas yang mendatangkan rejeki tambahan. Sejak hari pertama pun memang tak pernah terbersit saya akan meninggalkan kebiasaan yang kemudian menjadi pencarian saya di luar: menulis.

Tentu saya tahu, saya harus kembali membiasakan diri menulis dengan kertas dan balpoin. Terimakasih untuk Tsai Lun penemu kertas, dan Stanislao Biro penemu pulpen, yang memungkinkan saya tetap bisa menulis, mencurahkan gundah di dada dan keruwetan isi kepala, manakala komputer dan keyboard-nya awalnya seolah tak akan saya temui dalam sekian lama hidup di Cipinang.

Tapi rasanya perpisahan saya dengan komputer itu tak lebih dari sepekan. Mungkin kurang. Suatu siang, seorang tahanan pendamping (Tamping) yang bertugas di bagian administrasi, di gedung depan, datang ke sel yang saya tempati. Setelah bertanya pada Jay yang kebetulan ada di depan pintu, ia datang kepada saya.

Kalau tak salah itu hari Sabtu, atau Minggu, saat kegiatan Pesantren At-Tawabbien yang saya ikuti, libur. Jadi saya hanya malas-malasan, tidur di ‘petak kekuasaan’ saya, sehelai kasur Palembang, yang meski tipis, lumayan sebagai alas tidur.

“Mas Darmawan?” ia bertanya. Saya mengiyakan.

“Dipanggil ke depan, Mas,” katanya melanjutkan. Saya memberi tahu Setiyardi, teman satu kasus. Biasanya, karena kami satu kasus, satu pengadilan, satu kedatangan ke sini, satu urusan—apalagi melibatkan gedung depan yang biasanya menyangkut administrasi, tak pernah kami terpisah.

“Nggak, Mas. Mas Darmawan saja sendiri,” kata Tamping tersebut. Setiyardi, yang sebelumnya pun terlihat kurang antusias, terlihat senang.

“Lu aja, Wan. Kali aja ada yang nyasar tanya-tanya elo,” kata dia, berseloroh. Usai mengganti celana pendek dengan pantalon—di Cipinang saya lebih banyak memakai pantalon dibanding celana jins—saya pun berangkat bersama Tamping.

Tiba di gedung depan, saya diminta masuk ke sebuah ruang. Kalau tak salah ruang kerja salah seorang pejabat Lapas. Seseorang telah berada di sana, duduk bersama seorang senior saya. Saya lebih suka tidak menyebutkan senior di mana, di kampus atau di organisasi apa pun yang saya pernah bergiat di sana. Apalagi menyebutkan namanya. Bukan apa-apa, kalau menyebutkan nama, setidaknya saya harus memberi tahu yang bersangkutan tentang rencana penulisan artikel pendek ini.

Saya sempat terkejut, dan tentu saja senang. Saya kira semua Napi akan merasa sangat senang bila mendapatkan kunjungan keluarga, saudara, teman, kenalan.       

Setelah sebentar bersalaman dan saling sapa, saya dikenalkan kepada Bapak yang duduk tersebut. Benar dugaan saya, beliau seorang pejabat di kementerian yang relevan dengan lembaga yang menaungi saya saat itu.

Ternyata saya sebelumnya, telah dikenalkan oleh senior saya kepada si Bapak dengan ‘terlalu tinggi’. Paling tidak, saya merasa apa yang dikatakan Si Bapak selama ngobrol, rata-rata di atas di atas fakta saya yang sebenarnya. Terutama pada sisi kemampuan saya dalam menulis. Saya sampai berkali-kali merasa rikuh, dan mencoba mendudukkan persoalan sesuai apa yang saya bisa. Saya tak pernah ingin orang terlalu tinggi menilai saya di depan, dan seiring waktu kecewa karena saya tak lebih dari “ontohod” yang lebih sering ngeyel menghadapi persoalan dan hidup.  

Namun pada pertemuan itu saya menyanggupi untuk membantu hal-hal yang di luar pun kerap saya lakukan. Menulis, menganalisis persoalan, menjawab berbagai hal yang terjadi laiknya pada klien manakala saya bekerja—nyambi–pada sebuah lembaga public relation.

Setelah itu, mungkin setidaknya sekali sepekan, kemudian saya rutin memberikan bantuan penulisan. Kadang berkaitan dengan saran yang bisa saya berikan kepada yang bersangkutan untuk merespons berita berkaitan dengan kementerian tempat beliau bekerja. Kadang hanya menulis semacam sambutan pada beberapa acara. Kadang hanya mengedit sekadarnya, atau memberikan satu dua tambahan tak berarti.  

Setiap kali ada permintaan, saya tentu harus bekerja cepat. Prosesnya kemudian menjadi baku: ada Tamping datang ke sel, menjemput saya ke kantor depan. Di sana saya baru tahu apa yang harus saya kerjakan karena permintaan datang ke telepon genggam salah seorang petugas Lapas. Alhasil, saat itu pun saya harus bisa dengan cepat mempelajari persoalan dengan riset internet, mencari dan menggali solusi, serta menuliskannya.

Saya merasa beruntung pernah belajar banyak tentang hal-hal tersebut saat bekerja di Majalah TEMPO. Plus belajar pula mengerjakannya dengan cepat, fokus. Beruntung pula selama sekitar tiga tahun menjadi penulis komentar persoalan politik terbaru Indonesia, dua kali sepekan, untuk Radio Australia Seksi Indonesia (RASI), bagian dari ABC-Australia

Di kedua lembaga itu saya bekerja dengan tenggat yang mepet. Biasa menghadapi tenggat yang singkat itu yang tampaknya membuat saya bisa tetap (sok) tenang meski dikejar waktu yang terbatas.

                                                **

Tetapi bekerja dengan komputer dan internet tentu saja hanya bisa saya lakukan di gedung depan. Sisanya, kalau saya ingin menulis, saya menulis di buku, dengan balpoin. Awal-awalnya sempat agak kaku. Terlalu lama jemari saya tak terbiasa lagi memegang balpoin dan menulis, seiring makin akrabnya kita semua dengan tuts komputer, laptop dan telepon genggam.

Masih untung saya tergolong wartawan lama yang sukar meniadakan kebiasaan membawa notes dan pulpen saat wawancara. Tak sekadar mengandalkan alat perekam yang terbukti banyak juga mudharatnya. Saat di Republika, sebagai editor saya pernah menemani wartawan saya berwawancara dengan sumber. Itu wawancara panjang, satu halaman koran. Perlu sekitar 15 ribu karakter, kurang lebih.

Wartawan saya, anak angkatan tahun 2000-an, gelisah sesampai di kantor. Ternyata ada persoalan di alat perekamnya. Saya bilang, tulis saja seingatmu. Keluarkan, peras semua yang kau ingat sampai kering dari wawancara itu.

Hasilnya? Saya hanya dapat 3000-an karakter saat laporan ia berikan. Tapi mau apa lagi? Memang generasi mereka saat itu pun sudah sangat dimanjakan—secara salah, oleh perangkat elektronika. Catatan di notes dan ingatan saya yang membuat wawancara itu bisa kelar dengan standard tak berkurang sedikit pun. Satu halaman penuh, dan tak harus menambahkan hal-hal ganjil hanya untuk menambah karakter.

Belakangan, entah dari mana ia dapat dan bagaimana prosesnya, saya diminta seorang warga binaan di Tipe 3, menulis biografinya. Orangnya pasti pernah Anda dengar namanya. Labora Sitorus, polisi berpangkat Aiptu yang disebut-sebut media massa memiliki kekayaan sebesar Rp 1,5 triliun itu.

Saya didatangi korve (pembantu)-nya ke sel, untuk datang ke selnya di Tipe Tiga. Saat masuk ke sana, baru saya tahu bedanya sel di Tipe Tiga dengan sel-sel lain. Sel di Tipe Tiga saya lihat laiknya sel penjara di fim-film Hollywood. Lebih nyaman? Mungkin. Tapi yang jelas lebih membuat kita memang merasa tengah dipenjara (bukan di penjara, sengaja). Sementara di sel-sel Tipe Lima  dan Tipe Tujuh, kalau tidak terlalu baper  sih bisa saja kita anggap tengah berada di pos ronda dan main gaple bersama.  

Perlu waktu beberapa hari sebelum saya menyanggupinya, saat itu. Saya tak ingin masuk ke urusan hukumnya, karena sadar betapa terbatasnya pengetahuan saya soal hukum. Saya hanya pernah di-rolling sekali ke desk hukum saat di TEMPO. Di bawah Bang Happy Sulistyadi, yang ternyata tidak setiap saat hepi juga. Artinya, itu hanya sekitar tiga bulan. Majalah TEMPO di awal 2000-an itu sangat sering melakukan rolling wartawan ke satu dan lain desk.

“Agar kalian banyak tahu, dan terutama, tak jadi subordinasi lembaga tempat kalian ngepos,” kata almarhum Yusril Jalinus, mentor kami waktu itu. Angkatan 1998 di TEMPO—kami menyebutnya angkatan “TEMPO Terbit Kembali”, tampaknya hanya satu-satunya angkatan yang langsung dimentori para ‘Dewa’ di sana: Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Yusril Jalinus, dan kemudian bergabung pula alm Syu’bah Asa yang saat itu tak lagi berada di dalam TEMPO. Orang-orang yang menonjol pada perannya masing-masing, tak hanya di TEMPO, melainkan dalam dunia jurnalistik Indonesia pada umumnya.  

Karena tak begitu paham hukum dan menghindari persoalan seiring proses hukum yang masih berjalan, saya hanya bersedia menuliskan sisi-sisi kehidupan Labora. Saya sendiri merasa justru bagian itu yang menarik. Melihatnya sebagai manusia, bukan wujud tumpukan harta.  

Jadi yang saya tuliskan lebih pada masa-masa awal pembangunan dinasti usaha Labora di Sorong, Papua. Saya kagum mendapatkan cerita, betapa di awal-awal kedatangannya di Papua itu—dia datang bersama teman akrabnya dari Sumatera saat muda—Labora bahkan harus menguras banyak WC umum dengan tangannya sendiri buat makan.

“Aku beli minyak tanah dulu. Aku siram kubangan tahi itu dengan minyak tanah, hingga tak lagi berbau. Baru kutimba berember-ember hingga kosong,” kata dia. Mengapa WC umum? “Justru itu hal yang dihindari, tak ada orang mau. Cuma aku ‘pemain’ di bisnis itu,” katanya. Jadi sejak muda, awal kedatangannya di Papua, Labora yang kemudian mendaftar sebagai polisi itu memang cerdas berbisnis.   

Sayang, begitu saya keluar Lapas, putus pula hubungan kerja itu tanpa kejelasan. Saya sempat menulis sekitar tiga bab pertama, dengan tulisan tangan di buku tulis yang tak sulit kita dapatkan. Belum semua tulisan tangan itu saya salin di computer. Sebagian sudah tak bisa lagi saya baca karena tulisan saya memang ‘khas’. Saya bisa membaca tulisan saya hanya di pekan-pekan pertama sejak tulisan itu dibuat, mengandalkan bantuan memori di kepala.

Tapi memang sulit untuk menulis cepat dengan ‘indah’ dan ‘terbaca’. Akan perlu waktu lama, sementara kata-kata berkelejotan di kepala, berhambur saling bersicepat untuk dituliskan.

                                                **

Di penjara pula saya sempat bertindak laiknya pengacara yang membela klien. Setidaknya dalam tulisan. Ini sih benar-benar seratus persen “pro-bono” alias “haratis”. Bagaimana mungkin saya minta sekretaris saya—ck! ck! ck!– menuliskan “invoice” buat Martono, rekan satu sel yang saya tahu kondisinya?

Dari ngobrol-ngobrol di sel, saya mendengar hal yang menurut batin saya janggal. Martono yang saat di luar seorang pengembang perumahan, masuk penjara gara-gara urusan bisnis. Dianggap penipuan kepada sekitar 25 pemesan rumah yang ia bangun. Sementara, ia sendiri tertipu penjual tanah, karena ternyata tanah itu masih dalam sengketa keluarga. Okelah, saya lewati bagian ini.

Dia masuk penjara karena gugatan salah satu nasabahnya. Kena sekitar dua atau tiga tahun, saya lupa. Nah, saat dia dalam penjara untuk menebus dosanya itu, datang lagi gugatan baru dari salah seorang dari ke-24 nasabahnya yang lain. Saat itu mulai masuk proses pengadilan.

Saya yang awam, merasa ada semacam ketidakadilan. Saat itu persoalan hukum First Travel sedang ramai-ramainya. Setiyardi, sama dengan saya, dengan menjadikan First Travel sebagai contoh, merasa apa yang Martono alami kurang atau bahkan jauh dari adil. First Travel yang –katakanlah—menipu ribuan orang saja hanya diadili sekali untuk mencari keadilan bagi sekian ribu orang, mengapa Martono harus diadili berkali-kali?

“Mas, setahu saya dari film yang saya ingat karena pemeran utamanya cewek cakep—Ashley Judd–,”Double Jeopardy”, tak bisa satu kasus hukum yang sama diadili sampai dua kali,” kata saya. Saya menyarankan dirinya, melalui keluarga di luar, menghubungi LBH atau lembaga bantuan hukum lain yang peduli.

Hanya karena saya lihat tak ada ‘gerakan’ apa pun dari Martono untuk membela dirinya sendiri, saya kemudian mengajukan diri membantu. Untuk sidang pembelaan pertama, Pledoi, 16 Juli 2018, saya pun menuliskan naskah pembelaan. Begitu pula pada rangkaian pembelaan-pembelaan Martono selanjutnya.        

Naskah itu awalnya saya tulis di buku, dengan riset seadanya di kepala dan sesekali manakala ada kesempatan menulis untuk keperluan lain di gedung depan. Setelah itu, tulisan yang kali ini saya coba tulis seindah mungkin itu kami titipkan kepada istri Setiyardi yang setiap hari bezoek. Di sinilah peran sentral keluarga Setiyardi. Naskah bertuliskan “huruf Palawa” itu disalin dengan computer, diprint dan dijilid buat sebaik mungkin meski sederhana.

Martono—yang saya minta menghafalkan naskah itu sebelum membacanya di persidangan, kami briefing bagaimana menampilkannya secara menarik. Untuk urusan “tata gerak” itu, Setiyardi punya banyak waktu berperan sebagai sutradara.

Alhamdulillah, kami lihat Martono yang sebelumnya selalu terlihat stress, berulang kali keluar masuk WC pada pagi hari persidangan, setelah itu selalu keluar sel dengan   tenang manakala ada Tamping memanggilnya untuk sidang ke Pengadilan.

Sebelum hari H keputusan pun, Martono sudah menyatakan ada perbedaan dari sidang-sidang sebelumnya yang membuatnya masuk penjara. “Dulu sidangnya nggak lama, karena saya nggak pun ngasih pembelaan. Sekarang sepertinya akan agak lama. Jaksa akan mengajukan replik, mungkin minggu depan,” kata dia.

Saya masih punya catatan pleidoi yang saya buat, begitu juga bantahan kami selanjutnya atas replik (?) jaksa. Sayang terlalu panjang untuk dimuat.

Sekitar sepekan sebelum kami keluar Lapas di awal Januari 2019, keputusan hakim untuk Martono keluar. Dia kena setahun penjara, menambahi hukuman yang tengah dijalaninya. Saya tentu saja sedih. Namun Martono sendiri saya lihat menyiratkan rasa syukur. “Ya, kalau kita tidak melakukan pembelaan, mungkin lebih, Pak,” kata dia. Untuk urusan itu, saya cukup senang.

Sayangnya, tahun lalu saya mendengar datang lagi urusan sejenis dari orang lain dalam kelompok ‘korban’ tersebut. Saya berharap Martono ikut saran saya dan Setiyardi agar menghubungi lembaga bantuan hukum. [darmawan sepriyossa ]        

*Mulai Kamis, 31 Desember 2020, setiap hari–kecuali berhalangan, Jernih akan memuat tulisan pengalaman pribadi menghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Kami berharap pembaca memetik hikmah, atau setidaknya penulisnya bisa mengambil ibrah dari pengalamannya.   

Exit mobile version