Site icon Jernih.co

Penggiat Budaya Keluhkan Tidak Seimbangnya Informasi Tata Kelola Taman Mini

Amanah Presiden Soeharto, biaya masuk TMII  dibuat seringan-ringannya, agar masyarakat kecil bisa menikmati. Di setiap peringatan HUT TMII 20 April, TMII menggratiskan biaya masuk.

JERNIH—Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah zona penyangga (buffer zone), kawasan konservasi yang memberi manfaat bagi jutaan orang berbeda-beda — yang mencoba hidup bersama dalam satu komunitas. Karena TMII juga menjadi penegasan tentang cita-cita yang diikhtiarkan bangsa Indonesia untuk menguatkan dan mengokohkan rasa nasionalisme kebangsaan berdasarkan budaya bangsa yang multicultural, maka upaya Pemerintah mengambil alih pengelolaan TMII  dari Yayasan Harapan Kita (YHK) seyogyanya tidak mengganggu berbagai upaya memperkokoh ketahanan budaya bangsa tersebut.

Demikian rangkuman pandangan dan harapan sejumlah seniman, penggiat dan pemerhati budaya yang selama ini banyak berkiprah di Taman Mini. Mereka, antara lain, Suryandoro, Mas’ud Thoyib, Sigit Gunarjo, Ertis Yulia, Dedy Indiawan dan Arif Djoko Budiono.

“Taman Mini Indonesia Indah (TMII) adalah institusi kaderisasi cinta budaya bangsa. Sebagai sarana edukasi, kreasi, produksi, eksebisi, presentasi, apresiasi, dan rekreasi, yang sehat jasmani dan rohani,” ujar pengamat seni budaya, Suryandoro. Ia menyayangkan pemberitaan media yang berkembang terkait “TMII Diambil Negara”. Seolah memberi stigma negatif terhadap institusi dan orang-orang yang telah berjasa mengelola TMII selama kurang lebih 44 tahun.

“Sangat penting menjernihkan perspektif jurnalis termasuk pejabat negara agar menyampaikan informasi seimbang. Justru Pemerintah dan masyarakat harus berterima kasih. Yayasan Harapan Kita (YHK) selama ini tak pernah mengambil keuntungan apa pun dari TMII. Bahkan kadang masih mensubsidi biaya perawatan sarana dan prasarana,”kata Manejer Informasi TMII itu.

Ribuan seniman dan ribuan karya seni, kata Pendiri Swargaloka Foundation itu, lahir dari berbagai program yang digulirkan TMII. Dibanding Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lebih peduli dan perhatian menyemarakkan kegiatan budaya di TMII. Terbukti pembangunan sarana dan perawatan Anjungan Daerah, beserta program-programnya hingga kini terus berjalan.

Berbagai program yang digulirkan TMII antara lain; Parade Tari Nusantara, Parade Lagu Daerah, Parade Musik Daerah, Parade Teater Daerah, dan Paket Acara Khusus Pesona Nusantara. Program tersebut menjadi acara yang ditunggu-tunggu oleh seniman dan budayawan daerah untuk berekspresi.

TMII, kata Suryandoro, memiliki dua tugas pokok. Yaitu, keluar memperkenalkan wajah Indonesia kepada bangsa lain. Ke dalam agar rakyat Indonesia secara keseluruhan bisa melihat dan merasa bangga dengan kebudayaan tanah airnya.

“Kita wajib berterima kasih kepada almarhumah Ibu Siti Hartinah Soeharto berkat ide-idenya yang cemerlang. Peninggalan budaya Nusantara terselamatkan di TMII, seperti rumah-rumah adat, seni tari, seni musik, seni kriya dan sebagainya,” ujarnya.

Bahkan TMII, ujar Suryandoro, turut menjaga keharmonisan pemeluk agama dengan membangun berbagai rumah ibadah. “Rumah Ibadah semua agama dan kepercayaan yang diakui Negara dibangun secara berdampingan di kawasan TMII. Saya berharap Pemerintah dan masyarakat tidak berpikir negatif terhadap YHK,” ujarnya.

Senada dengan Suryandoro, penggiat budaya Mas’ud Thoyib, menyatakan, menjadi kewajiban pemerintah memelihara dan melestarikan TMII tanpa istilah mengambil alih. Empat tahun lagi, menurutnya, TMII berusia 50 tahun dan menjadi Benda Cagar Budaya.

“Jadi istilahnya bukan mengambil alih, tapi memang kewajiban negara untuk memelihara dan membiayai pelestarian dan operasional TMII. Seperti halnya Museum Nasional dan benda cagar budaya lainnya untuk dimasukkan ke APBN,”ujar Mas’ud Thoyib.

Setelah era reformasi, pemerintah pusat dinilai kurang peduli terhadap TMII. TMII dibiarkan jalan sendiri. Padahal hal ini kewajiban negara terkait dengan perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan budaya bangsa.

“Pemerintah wajib mengucapkan terima kasih kepada YHK yang dengan dedikasinya mengelola TMII selama 45 tahun secara mandiri. Tetap setia membayar pajak dan memenuhi regulasi lain sesuai aturan Pemerintah,” ujar Penggiat Budaya, Sigit Gunarjo.

Satu hal juga, kata Sigit, pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, harusnya dapat  memberi statement yang transparan, dan terbuka. “Beritanya seimbang. Agar masyarakat menjadi jelas dan tahu apa yang sudah dilakukan YHK. Jangan menghakimi seenaknya sendiri kepada YHK,” ujar Sigit.

Sejak proyek TMII digulirkan, kata Sigit, sudah menuai kritik tajam. Namun sebenarnya pihak yang mengkritik belum tahu tujuannya. Mereka khawatir bahwa pembangunan TMII pemborosan dan tidak ada artinya.

“Padahal gagasan TMII tidak seperti yang dikhawatirkan. Kenyataannya setelah sekian tahun TMII jadi, pengkritik-pengkritik itu mengakui manfaatnya. Tapi orang-orang baru yang punya kepentingan ikut merongrong,”ujar Sigit.

Sigit berharap pengelolaan TMII ke depan seyogyanya tetap berkolaborasi. Melibatkan unsur Yayasan Harapan Kita (YHK) dan Badan Pengelola dan Pengembangan (BPP) TMII. TMII merupakan destinasi wisata budaya non-profit. Ada unsur pelestarian budaya, namun tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi.

“Dengan komposisi dan sinerji pengelolaan tersebut diharapkan TMII semakin maju, dan berkembang. Lestari budayanya dan sejahtera karyawannya. Berhasil guna dapat menggerakkan potensi anjungan, museum dan unit rekreasi dalam rangka pemajuan kebudayaan di Indonesia,” ujar Sigit.

Terkait pengalihan pengelolaan TMII, Penggiat Seni dan Budaya, Ertis Yulia, mengharapkan perubahan tersebut dapat membawa dampak lebih baik dan selayaknya didukung.

“Harapan saya TMII semakin berjaya dan menebar manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa. Semoga dengan kebijakkan, komitmen dan dukungan Pemerintah dan support dari para cendekiawan TMII lebih baik. Kurang bijaksana jika hanya mengkritik tanpa memahami permasalahan yang dihadapi. Kita harus memberi andil positif,” ujar budayawan, yang kini menjabat sebagai Koordinator Anjungan Daerah TMII ini.

Sementara pengamat budaya, Dedy Indiawan mengatakan, TMII selama ini menjadi pusat kebudayaan dalam upaya pelestarian kesenian serta show-window  potensi Provinsi Se-Indonesia, serta tempat wisata murah dan merakyat.

Amanah Presiden Soeharto, biaya masuk TMII  dibuat seringan-ringannya, agar masyarakat kecil bisa menikmati. Di setiap peringatan HUT TMII 20 April, TMII menggratiskan biaya masuk.

“Dengan pengelola yang baru TMII tetap menjadi pusat budaya dan sarana promosi Provinsi Se Indonesia. Wisata edukasi, yang murah dan merakyat. Mempertahankan fungsinya sebagai sarana memberdayakan dan melestarikan budaya bangsa. Mengembalikan fungsi Anjungan Daerah tidak dipakai kegiatan yang sifatnya komersial,” kata Dedy berharap.

Mantan karyawan TMII, Arif Djoko Budiono, yang juga penggiat budaya mengharapkan, dengan tata kelola TMII yang baru, dapat melakukan pembaharuan mendasar dan menyeluruh.

“Pengelola TMII mendatang dapat mewujudkan digital park, dengan tata kelola yang baik (good governance) serta dan menjadi cultural smart park, yang bersih, tertib, dan profesional,” ujarnya.

Mitra baru

Pengambilalihan TMII setelah 44 tahun dikelola Yayasan Milik Keluarga Soeharto, dilakukan karena sejumlah alasan. Sebelumnya telah dilakukan audit keuangan dari tim legal Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pemerintah akan menunjuk mitra baru untuk mengelola TMII sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan TMII. Yayasan Harapan Kita diberi waktu tiga bulan untuk menyerahkan pengelolaan TMII.

Siti Hartinah Soeharto — yang akrab dipanggil Ibu Tien Soeharto, memiliki gagasan membangun kawasan wisata Taman Mini “Indonesia Indah” [TMII]. Prakarsa itu diilhami oleh pidato Presiden Soeharto tentang keseimbangan pembangunan antara bidang fisik-ekonomi dan bidang mental-spiritual.

Selaku ketua Yayasan Harapan Kita (YHK), yang berdiri pada tanggal 28 Agustus 1968, Ibu Tien Soeharto menyampaikan gagasan pembangunan Miniatur Indonesia pada rapat pengurus YHK tanggal 13 Maret 1970 di Jl. Cendana No. 8, Jakarta.

Bentuk dan sifat isian proyek berupa bangunan utama bercorak rumah-rumah adat daerah yang dilengkapi dengan pergelaran kesenian, kekayaan flora-fauna, dan unsur budaya lain dari masing-masing daerah yang ada di Indonesia.

Gagasan tersebut dilandasi, antara lain, semangat untuk membangkitkan kebanggaan dan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa serta memperkenalkan Indonesia kepada bangsa-bangsa lain di dunia.

Lokasi pembangunan proyek awalnya berada di daerah Cempaka Putih, di atas tanah seluas + 14 hektar. Namun Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menyarankan lokasi di daerah sekitar Pondok Gede, Kecamatan Pasar Rebo, dengan luas tanah ± 100 hektar. Selain lebih luas, lokasi itu juga mengikuti perkembangan kota Jakarta di kemudian hari.

Pada 30 Juni 1972 pembangunan dimulai. Berkat gotong-royong semua potensi nasional: masyarakat di sekitar lokasi, pemerintah pusat dan daerah, swasta, dan berbagai unsur masyarakat lainnya, dalam kurun waktu tiga tahun pembangunan TMII tahap pertama dinyatakan selesai.

Pada tanggal 20 April 1975 Taman Mini “Indonesia Indah” diresmikan pembukaannya oleh Presiden Soeharto. [ ]

Exit mobile version