Site icon Jernih.co

Personel TNI Diduga Terlibat Pelanggaran Hukum Proyek Satelit, Panglima Ingin Diproses Secara Militer

“Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan,” kata Mahfud.

JERNIH-Beberapa personel TNI, terindikasi terlibat dalam pelanggaran hukum proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa pun, mau tak mau memberikan dukungan penuh terhadap keputusan Pemerintah guna melakukan proses hukum.

Di Gedung Kejaksaan Agung, pada Jumat (14/1), Panglima bilang kalau pihaknya mendapat informasi dugaan adanya prajurit TNI yang terlibat dari Menteri Koordinator Politik hukum dan Kemanan Mahfud MD.

Panglima mengatakan, info tersebut didapat setela melakukan pertemuan dengan Menkopolhukam pada Selasa (11/1) lalu. Dia pun meminta, proses hukum yang nantinya berjalan terhadap personel TNI yang diduga terlibat, akan dilakukan militer di bawah Jaksa Agumng Muda Tindak Pidana Militer yang baru dibentuk pada pertengahan 2021.

“Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami,” kata Panglima.

Sebelumnya, Mahfud MD menyebutkan, kasus dugaan pelanggaran hukum proyek satelit Kemenhan tersebut sudah membuat negara tekor Rp 800 milyar. Jaksa Agung Burhanuddin pun sudah mengeluarkan surat perintah penyidikan yang akan ditanda tangani pihak Kejaksaan.

Hanya saja, Jaksa Agung engan merinci informasi kasus tersebut dan lebih ingin penjelasannya dilakukan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Sebelumnya, seperti diberitakan Katadata Jampidsus Febri Adriansyah bilang, pihaknya sedang mempelajari beberapa bukti yang sudah ada seperti berbagai dokumen transaksi proyek penyewaan satelit. Beberapa orang pun sudah dimintai keterangannya.

Sebab, seperti yang dikatakan Mahfud MD, dalam perkara gugatan arbitrase internasional yang dilayangkan dua perusahaan operator satelit yaitu Navayo dan Artemis, Pemerintah dikenai pinalti dan harus membayar Rp 800 milyar lebih.

Dua perusahaan itu, menggugat Pemerintah RI karena dianggap tak memenuhi kewajiban pembayaran sewa satelit yang ditempatkan di slot orbit 124 derajat Bujur Timur. Dan putusannya, baru saja diterima pemerintah dari arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo yang menyebutkan kalau republik ini harus membayar 20,9 juta dolar AS atau setara RP 304 milyar.

Republik Indonesia, juga sudah dinyatakan kalah dalam gugatan arbitrase yang dilayangkan Avanti Communication Group pada Juli 2019. Pengadilan menjatuhkan vonis yang berakibat negara merogoh kantong guna membayar sewa satelit Artemis, biaya arbitrase, konsultan dan biaya filing satelit senilai RP 515 milyar.

Belum lagi, diperkirakan kerugian bakal terus membengkak lantaran masih ada beberapa perusahaan yang belum melayangkan gugatan.

“Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan,” kata Mahfud.[]

Exit mobile version