Site icon Jernih.co

Pohaci Sanghyang Asri Yang Hampir Terlupakan

(foto :Wenno Helmyno Sonatha)

Pemahaman huma dan sawah sebagai saripati kehidupan sudah dihayati sejak lama. Pemuliaan terhadap padi yang sudah dilakukan jauh sebelum masehi  telah menjadi unsur penting dalam perkembangan budaya, terus hidup sepanjang manusia masih mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. 

Karena begitu pentingnya, maka padi dan proses tumbuhnya dipandang sakral sejak manusia mengenal budaya huma dan sawah. Petani sebagai profesi tradisi bagi para penanam padi, akan selalu berada diposisi juru kunci. Suatu posisi yang teramat penting bagi kehidupan manusia yang bergantung pada nasi. Karena para petanilah yang memegang kunci ketahanan pangan. Di tangan merekalah sawah dan ladang tetap lestari, sehingga gudang-gudang beras tetap terisi.

Dulu sebelum muncul budaya sawah, padi ditanam di huma (ladang), sehingga muncul istilah ngahuma dan pahuma. Ngahuma adalah prosesnya sedangkan pahuma merupakan tempat ngahuma termasuk pelakunya.  Ngahuma merupakan siklus mengolah hutan alam menjadi hutan garapan yang dikerjakan berpindah-pindah.

Kegiatan ngahuma ini sudah berlangsung sejak jaman Neolitikum, jauh lebih awal dari “nyawah”. Sehingga masyarakat sunda lama lebih dikenal sebagai masyarakat pahuma.  Naskah kuno Carita Parahyangan menyebutkan Sang Mangukuhan nyieun maneh pa(ng)huma, Sang Karungkalah nyieun maneh panggerek, Sang Katu(ng)maralah nyieun maneh panyadap, Sang Sandanggreba nyieun maneh padagang.

Artinya : Sang Mangukuhan menjadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah menjadi tukang berburu, Sang Katungmaralah menjadi tukang sadap, Sang Sandanggreba menjadi pedagang. Dalam naskah tersebut tidak disebutkan sawah dan panyawah, namun menyebutkan 3 pekerjaan  yang biasa dilakukan di ladang, yaitu ngahuma, moro dan nyadap.

Dalam kamus A Dictionary of The Sunda Language of Java karya Jonathan Rigg, terbitan tahun 1862,  dituliskan bahwa varietas padi huma berjumlah 150 jenis, sedangkan padi sawah hanya 45 jenis, ini menjadi gambaran bahwa sampai abad 19 masyarakat sunda dominan sebagai masyarakat peladang, yang telah berevolusi dari budaya berburu dan meramu di masa sebelumnya, ke budaya bercocok tanam.

Ngahuma sebagai cara bercocok tanam yang ditandai dengan siklus berpindah-pindah mempengaruhi cara pandang terhadap padi sehingga memunculkanpenghormatan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri.

Kisah tentang Nyi Pohaci Sanghyang Asri terekam  dalam Wawacan Sulanjana. Bahwa dari tanah kuburan Nyi Pohaci Sanghyang Asri tumbuh berbagai tanaman.

Dan tanaman padi tumbuh dari bagian mata yang berbuah hanya lima butir dengan warna merah, hitam, kuning, putih, dan hijau.  Padi putih berasal dari bagian bobodas panon, padi hitam dari bagian rambutnya dan padi ketan dari bagian jantungnya.

Ketika Hindu-Buddha berkembang Nyi Pohaci Sanghyang Asri disebut juga Dewi Sri.  Namun selain dewi-dewi dalam mitologi Hindu-Buddha,  Karuhun sunda telah memiliki para pohaci yang disucikan dalam pandangan asli Sunda kuna. Dalam literatur sunda lama tercatat 40 pohaci yang terkait dengan padi  dan yang mengurus kebutuhan manusia.

Sehingga bagi warga adat Kanekes, pohaci menjadi bagian yang disembah, kalimat pikukuh hirup turun ti Nu rahayu, hurip lalaran pohaci mengandung arti bahwa hidup berasal dari Tuhan, sedangkan kesejahteraan hidup berasal dari pohaci. 

Maka di beberapa lembur yang pengkuh dalam ngarumat tradisi, budaya penghormatan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri tetap terpelihara. Orientasi Islam yang telah dianut oleh mayoritas masyarakat sunda  dan mengikis sebagian besar pengaruh lama, juga tidak menghilangkan penghormatan terhadap Pohaci Sanghyang Asri di kalangan petani.

Begitu mulianya padi sebagai sumber pangan mayoritas maka para pohaci yang menjaga dan memelihara padi begitu disayang dihormati masyarakat petadi di pilemburan. Pantun Lutung Kasarung menuliskan ada 13 pohaci yang bertugas merawat padi.

Beberapa nama pohaci dan tugasnya dalam merawat padi diantaranya : Pohaci Terus Rarang (saat padi mulai tumbuh), Pohaci Rambat Rarang (saat padi keluar akar), Pohaci Lencop Herang (saat padi bertunas), Pohaci Lencop Hirup (saat padi mulai tumbuh tinggi), Pohaci JayangGini (saat padi mulai berbuah), Pohaci Tenjo Maya (saat padi benih padi berwarna hijau), Pohaci Pangdurat Sari (Saat buah padi merunduk karena berat) dan Pohaci Lenggok Kuning ( saat padi menguning).

Pohaci Sanghyang Asri bertugas ketika padi mulai siap dipetik sampai dipanen. Pantung Lutung Kasarung menyebutnya geura emok mangka denok, geura hejo mangka lebok (duduklah supaya cantik, hijaulah supaya dimakan). Oleh karena itu panen padi dalam tradisi sunda kuna dilakukan tartib dan tarapti.

Ditandai memetik tujuh batang padi pertama menggunakan etem dan dilakukan dengan sangat hati-hati sebagai simbol agar tidak menyakiti Pohaci Sanghyang Asri, termasuk dengan menyediakan sesajen lengkap dengan baju kebaya dan sampingnya lengkap alat bersolek tradisional, bahkan terkadang perhiasan emas disajikan. Semuanya untuk berdandan Pohaci Sanghyang Asri.

Ketika sistem huma tergeser oleh sistem sawah di awal abad 17- 18M, akibat pengaruh Mataram yang mengenalkan cara tanam padi di sawah, ditunjang pula saat itu kompeni memerintahkan masyarakat menanam tanaman yang bernilai dagang seperti kopi, cengkih dll, membuat masyarakat sunda mulai menetap untuk mengurus kebun.  

Akibatnya  kegiatan ngahuma tidak bisa dilakukan lagi. Maka untuk memenuhi kebutuhan terhadap beras, menanam padi mulai dilakukan di sawah, seperti yang dikenalkan oleh orang-orang mataram.

Namun pergeseran pola tanam itu tidak menghilangkan sepenuhnya penghormatan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Walau pola tanam sawah semakin canggih dan melupakan tradisi lama, namun di Bali dan kampung-kampung adat di Sunda, nilai-nilai pemuliaan padi turut terkonservasi bersama nilai-nilai kearifan lokal lainnya. [ Pandu Radea ]

Exit mobile version