JAKARTA– Menjelang akhir 1750 sampai Juni 1751 adalah masa-masa gencatan senjata antara duet maut pejuang Kyai Tapa-Ratu Bagus Buang dengan VOC di bawah Gubernur Jendral Jacob Mossel. Namun diam-diam Si Nurustunjung VOC memanfaatkan waktu tersebut untuk memulihkan kekuatan militernya.
Pasukannya yang sempat porak poranda akibat serangan Kyai Tapa mulai mendapat darah segar yaitu pasukan dari Maluku dan negerinya. Gelagat tersebut tidak lepas dari pengawasan Kyai Tapa-Ratu Bagus Buang. VOC segera membatalkan perjanjian damai. Maka sebulan kemudian, yakni Juni 1751, Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa dengan kekuatan pasukan 7000 prajurit langsung menggempur, menghancurkan dan merebut benteng-benteng pertahanan VOC, sampai terus ke Batavia.
VOC menugaskan Letnan Kolonel Ossenberch untuk memukul mundur pasukan Kyai Tapa dari Batavia. Namun ia dan pasukannya gagal teu walakaya mengatasi gerak dinamis pasukan Kyai Bagus Tapa yang lincah. GPL alias gak pake lama, pada Juli 1751 Pasukan Kyai Tapa berhasil menghancurkan pasukan-pasukan VOC di Batavia termasuk di Muara Angke.
Dari titik tersebut Kyai Tapa melakukan serangan besar-besaran dan berhasil menghancurkan pertahanan VOC di Batavia yang hanya mampu mempertahankan diri, ngahephep di dalam bentengnya.
Nina Lubis dkk dalam Sejarah Tatar Sunda (2003 : 288) menuliskan serangan Kyai Tapa dialihkan sejenak ke Pandeglang untuk membantu pasukan Ratu Bagus Buang yang terdesak oleh serangan VOC yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Convert. Selesai membantu Ratu Bagus Buang, Kyai Tapa kembali ke Batavia untuk melanjutkan serangan berikutnya.
Januari 1752, Pasukan Kyai tapa bergerak ke arah Pontang dan Caringin untuk merebut dua daerah tersebut. Taktik gerilya yang digunakan Kyai Tapa betul-betul membuat Letnan Kolonel Ossenberch frustrasi. Dalam keputus-asaanya ia mengeluarkan pengumuman bahwa Pangeran Gusti akan segera diangkat menjadi Sultan Banten dan kepada anggota pasukan Kyai Tapa yang menyerahkan diri akan diberi ampunan oleh VOC.
Namun pengumuman yang berisi iming-iming itu tidak digubris oleh Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Mereka bersama pasukannya malah melakukan serangan besar-besaran ke ibukota Banten.
Namun karena kekuatan persenjataan yang tidak seimbang, pasukan Kyai Tapa dan Ratu Bagus Buang berhasil dipukul mundur oleh VOC hingga ke pedalaman Banten, mendekati Jasinga. Kekalahan tersebut tidak membuat semangat Kyai Tapa menjadi surut bahkan semakin berkobar. Ia menarik kesimpulan bahwa untuk mengenyahkan VOC dari Banten harus melakukan penyerangan secara serempak di berbagai daerah.
Kyai Tapa kemudian memutuskan mencari dukungan dari daerah-darah di timur Banten untuk bersama-sama mengangkat senjata mengusir VOC. Dalam perjalanannya, pasukan Kyai Tapa berhasil menghancurkan pemukiman-pemukiman pertama Belanda di Cipanas dan Cianjur. Di Bandung, Kyai Tapa juga berhasil memukul mundur pasukan VOC yang mencegatnya. Sehingga perjalanannya menuju timur tidak menemui hambatan.
Namun sayang, dukungan daerah-daerah di timur tidak sesuai dengan yang diharapkan sehingga rencananya untuk mengangkat senjata di seluruh Pulau Jawa tidak terwujud. Para penguasa pribumi di timur lebih condong ke VOC. Cirebon sejak abad 17 lebih memilih bersahabat dengan VOC ketimbang Banten. Namun kedekatan Cirebon dan campur tangan VOC juga mengakibatkan pemberontakan Bagus Rangin tahun 1802.
Demikian pula penguasa-penguasa Priangan yang bersikap lunak kepada VOC, bahkan menerima VOC sebagai penguasa Priangan. Sikap tersebut tahun 1677 pernah diperlihatkan oleh Pangeran Sumedang yang menolak ajakan Sultan Banten untuk tidak berhubungan dengan VOC. Penguasa Sumedang malah meminta saran kepada VOC berkaitan dengan ajakan tersebut. Dsr onthd!
Tentu saja VOC dengan kelicikannya menyarankan untuk menolak ajakan Sultan Banten tersebut. Malah para petinggi VOC meminta kesediaan para penguasa Priangan untuk sepakat bahwa merosotnya keamanan di wilayah Priangan akibat tindakan brutal Banten (Nina Lubis dkk, 2003 : 290).
Selain itu dalam Daghregister bulan Desember tahun 1676 diberitakan bahwa Bupati Wiradadaha dari Sukapura menyampaikan salam sejahtera bagi VOC dan memberikan 27 tanduk kerbau sebagai bukti persahabatan. Persahabatan dan loyalitas para penguasa priangan sebelum tahun 1799 dengan VOC berlatarkan beberapa hal diantaranya dalam naskah Serat Sakender yang ditulis awal abad 19 bahwa kekuasaan VOC atas wilayah tatar Sunda harus diterima, karena Jan Pietrszoon Coen dilahirkan dari seorang putri keturunan Pajajaran yang menikah dengan Sukmul (Ayah Mur Jangkung) keponakan Raja Spanyol. (Nina Lubis dkk, 2003 : 292).
Babad Soekapoera yang ditulis oleh wedana di Manonjaya yang bertitle kanduruan (gelar dari pemerintah Belanda) merupakan upaya legitimasi yang terungkap secara implisit bahwa : pertama, mereka tidak perlu bersalah kalau taat kepada orang asing karena yang menyerahkan mereka kepada VOC adalah Sultan Mataram, penguasa priangan sebelumnya. Kedua, berada di bawah VOC keadaan lebih baik karena tidak perlu lagi tugurtundan (menjaga keamanan dan mengangkut barang atau orang) di Mataram. Ketiga, tidak ada tuntutan atau permintaan kecuali menghiasi dan memperindah daerah sendiri. Keempat, pekerjaan dibagi-bagi sesuai dengan kekuatan masing-masing. Kelima, tidak perlu mengeluarkan upeti dua kali. Upeti hanya untuk penguasa setempat saja karena VOC tidak meminta upeti. Keenam, keamanan terpelihara karena ada polisi. Perintah VOC hanya menanam kopi dan hasilnya pun dibeli VOC.
Walau pun pasukan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa tidak berhasil mengusir VOC dari Banten, bukan berarti perlawanan tersebut sia-sia. Setidaknya keberhasilan mengembalikan hak keturunan Sultan Maulana Hasanudin untuk memerintah Banten merupakan buah dari perjuangan mereka berdua.
Hal tersebut menjadi inspirasi bagi masyarakat Banten untuk melakukan perlawanan bersenjata pada abad-abad berikutnya. Termasuk juga di Cirebon dan Priangan pada masa berikutnya. (Prd)