Pulang bukan gerak mundur—ia adalah pilihan sadar untuk membangun sesuatu yang lebih besar, lebih kokoh, dan lebih bermakna. Dalam kebersamaan dan penyatuan. Bagi Imbang, pulang berarti menyambung kembali jejaring yang putus, menghidupkan kembali semangat kolektif yang dulu tumbuh di kantin dan lorong fakultas.
JERNIH–“Pergi ke dunia luas, anakku sayang…”—Asrul Sani, Surat dari Ibu–“Tetapi jangan lupa jalan pulang…”—Imbang Perdana.
Setiap kampus melahirkan lulusan. Tapi tidak semua lulusan merasa terpanggil untuk kembali. Maka ketika Imbang Perdana Satryawan—alumnus Akuntansi angkatan 1995, mantan aktivis mahasiswa yang ikut dalam pusaran Reformasi 1998—mengajak sesama alumni untuk “pulang”, itu bukan sekadar nostalgia. Ia menawarkan visi tentang rumah. Bukan rumah sekadar tempat kita berteduh, melainkan rumah yang menyatukan kembali: alumni yang tercerai, ide yang berserakan, dan cinta yang sempat terlipat dalam kesibukan masing-masing.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unpad, menurutnya, adalah tempat pertama bagi banyak mahasiswa belajar memahami hidup—di antara buku, huru-hara hura-hura, dan romantika. Tapi rumah itu tak boleh membatu. Ia harus hidup, lentur, dan mampu menampung denyut baru. Karena itu, Imbang maju sebagai calon Ketua IKAFEB dengan janji yang sederhana namun mendalam: membangun ulang jembatan antara alumni, almamater, dan mahasiswa; menyatukan kembali energi yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.
Dengan pengalaman profesional mentereng—pernah menjadi Chief Audit Executive Bank UOB Indonesia, lulusan MBA ITB, serta menyandang berbagai sertifikasi global seperti CIA, CFCS, dan SCR—Imbang paham pentingnya sistem dan tata kelola. Namun yang ia bawa bukan hanya portofolio. Ia membawa panggilan batin: agar IKAFEB menjadi organisasi yang agile, efektif, dan menyentuh hidup banyak orang. Di bawah platform CERIA—Collaborate, Engage, Responsive, Inclusive, Action—ia menyusun fondasi program kerja yang menjanjikan: penerbitan kartu alumni dan database komprehensif, forum bisnis dan silaturahmi, C-series, penggalangan dana sosial, hingga beasiswa dan dana riset
Namun jauh sebelum konsep itu “dibukukan”, gagasan intinya telah ia rumuskan lewat satu kata: pulang. Dalam manifesto berjudul Jalan Pulang, ia menulis, “IKAFEB harus mampu mengundang kembali para perantau untuk pulang ke rumah… untuk membaktikan kembali cinta dan ilmu.”
Kalimat itu bukan sekadar ajakan, tapi perenungan. Bahwa pulang bukan gerak mundur—ia adalah pilihan sadar untuk membangun sesuatu yang lebih besar, lebih kokoh, dan lebih bermakna.
Bagi Imbang, pulang berarti menyambung kembali jejaring yang putus, menghidupkan kembali semangat kolektif yang dulu tumbuh di kantin dan lorong fakultas. Alumni bukan hanya aset reputasi, tapi kekuatan moral dan sosial yang bisa mengangkat almamater dan mahasiswa ke panggung lebih tinggi—baik di tingkat nasional maupun global.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad), ajakan “Pulang Yuk!” yang digaungkan Imbang bukanlah romantisme masa lalu, melainkan proyek masa depan. Sebab rumah, sebagaimana kata Rumi, bukan tempat kita berasal. Ia adalah tempat kita kembali untuk menyempurnakan perjalanan.
Dan siapa tahu, di antara tawa lama yang tersimpan, kita menemukan kembali api yang dulu membuat kita percaya: bahwa bersama, kita bisa mengubah dunia.
“Ayo kita pulang!” Imbang mengajak, menyulut empati. Bagaimana mungkin kaum yang berhati tak akan peduli? [rls]