Warga Sabira ingin kompensasi kerusakan rumpon berupa peralatan penunjang nelayan atau GPS. Masalah lain, soal kebocoran minyak mentah dari pipa-pipa PHE OSES. Selama 2021, setidaknya terdapat 800 kilogram limbah minyak mentah yang dikumpulkan warga. Biasanya warga akan mengirimkan kembali limbah minyak mentah ke AMPL PHE OSES. “Satu karung limbah dibayar 20 ribu,” ujar Agung.
JERNIH– Pulau Sabira berjarak 57 mil dari daratan Jakarta, tepatnya dari Pelabuhan Kali Adem. Waktu tempuh dengan kapal cepat berkisar 2,5 jam hingga tiga jam.
Sabira merupakan pulau terdepan dan paling utara Jakarta, terpencil di antara pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu. Pulau ini dikelilingi hutan besar yang berusia ratusan tahun, kaya akan pohon ketapan, kampak-kampak, randu dan pohon lainnya. Bisa dipastikan, sumber air alami melimpah di pulau seluas 8,2 hektare ini yang dihuni oleh hanya 625 penduduk.
Dari dermaga Sabira tampak mercusuar besi pertama “Noordwachter” yang dibangun pemerintah Hindia Belanda dengan konstruksi besi yang kokoh. Mercusuar ini dibuat pada 1867 di Belanda oleh Grosfmederij Leiden.
Menurut Rijksmuseum, setelah selesai dicetak– mercusuar besi dikirim ke Batavia secara bertahap selama dua tahun. Tinggi mercusuar 48 meter dan diikat 64 kerangka besi dari luar dengan jumlah lingkaran rangka 12 sisi, dan dindingnya bertuliskan, “Onder de Recering van Z.M. Willem III, Koning der Netherlanden, ENZ., ENZ., ENZ., Opcerict voor Draailicht 1869.”
Mercusuar Noodwachter sumbangan Raja Belanda Willem III ini merawat kenangan peristiwa jatuhnya pesawat Dornier X-17 dan X-18 yang ditembak di ketinggian 1.500 meter oleh pesawat tempur AL Yamada Jepang dalam perjalanan pulang dari Tanjung Priok menuju Palembang, pada 25 Februari 1942. Kedua pesawat hilang di perairan dekat Pulau Sabirayang dulunya bernama Noordwachter. Adapun delapan awak pesawat Belanda selamat ditolong oleh nelayan dan dibawa ke mercusuar– kecuali August Karel van der Pol yang tewas.
Nelayan Sabira generasi pertama, Haji Ridwan (95 tahun), merasakan empat hari tiga malam terapung di atas papan kayu di tengah laut, saat kapal kayu phinisi yang ditumpanginya tenggelam, karena menabrak karang. “Itu gara-gara lampu mercusuar Noordwachter diganti lebih terang, nelayan tradisional tidak bisa mengenali mercusuar itu. Kapal phinisi akhirnya menabrak karang dan tidak bisa diselamatkan lagi, “ujar Haji Ridwan.
Peristiwa naas itu terjadi pada 1968. Delapan nelayan di kapal phinisi selamat, setelah terjun ke laut, termasuk Haji Ridwan. Mereka tidak makan dan minum selama berhari-hari. Bahkan mereka berenang sejauh 10 mil dari lokasi tenggelamnya kapal phinisi hingga ke daratan Sabira. “Saya periksa hidung kawan saya, masih ada napasnya. Kami saling pegangan saja, pulau seperti goyang, padahal kami yang pusing dan kelelahan, “ungkapnya.
Di usia yang nyaris seabad, Haji Ridwan masih kuat berlari mengelilingi Pulau Sabira dan menanam segala jenis bibit pohon untuk membentengi pulau dari bencana abrasi. Bertahun-tahun dia lakukan sendiri pembibitan, penanaman hingga perawatan pohon, dengan biaya sendiri. “Saya tanam pohon kayu angin, nyamplong dan jenis lainnya, demi masa depan anak-cucu, “ujar Haji Ridwan.
Kawasan konservasi penyu sisik
Pada 2015, menjadi titik awal Agung dengan empat kawannya di Pulau Sabira menyelamatkan penyu sisik atau dalam bahasa latinnya Eretmachelys imbricata. Meskipun penyu sisik belum termasuk satwa yang dilindungi undang-undang konservasi hayati, namun penyu sisik masuk dalam kategori critically endangered atau nyaris punah di Red Data Book IUCN.
Laporan jurnal Oceanografi LIPI menyebutkan, penyu sisik sering dipungut habis telurnya di tempat persarangannya, binatangnya ditangkap dan dibunuh untuk diambil kulit sisiknya. Nilai sisik [tortoise shell] penyu sisik lebih tinggi bila dibandingkan dengan penyu hijau atau jenis penyu yang lain, karena lebih tebal dan warnanya lebih bagus.
Para pengrajin kulit, baik di dalam negeri dan terlebih-lebih di Jepang, cenderung memilih kulit sisik penyu sisik sebagai bahan baku pembuatan barang-barang kerajinan, perhiasan badan maupun perhiasan rumahtangga. Akibatnya, penyu sisik diburu di alam dan kulit sisiknya diperdagangkan sebagai barang ekspor.
Mengetahui habitat penyu sisik yang nyaris punah, Agung melakukan pendekatan pada warga Sabira agar mereka berhenti mengambil telur penyu sisik, tidak mengonsumsi telur penyu sisik dan tidak membunuh penyu sisik. Dia terus melakukan penyadaran dan melibatkan warga Sabira untuk melindungi penyu sisik dari ancaman kepunahan. Alhasil, warga Sabira pun berubah menjadi relawan penyelamat penyu sisik. Sejak 2015, ratusan telur penyu sisik berhasil ditetaskan di penangkaran. Bahkan lebih 10 ribu ekor tukik (anak penyu sisik) berhasil dilepasliarkan ke pantai.
“Dulu sepulang melaut, saya lanjut ke rumah penyu mengganti air penampungan penyu dengan menggunakan ember, sebelum ada mesin pompa, “ujar Agung. Dia mengawali penangkaran penyu sisik dengan pondok kayu sederhana, sebelum ada bangunan tembok permanen seperti sekarang. Setiap tiga tahun sekali, Agung dan kawan-kawannya memperpanjang perjanjian kerja sama dengan BKSDA – Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta.
Pemuda Sabira lainnya adalah Irwansyah, yang memulai gagasan penanaman mangrove untuk menahan potensi abrasi. Dengan bantuan dana CSR, Irwan dan kawan-kawannya membeli polibag, serta melakukan pembibitan mangrove. “Awalnya 10 ribu bibit mangrove. Kami membayar warga yang lakukan pembibitan, Rp 1.000 – 1.500 per bibit, tergantung ukuran mangrove,” ujar Irwan. Pulau Sabira pun lebih hijau dikelilingi hutan mangrove, baik mangrove yang tumbuh alami maupun mangrove yang ditanam oleh para pemuda. Pada 2019, kelompok pemuda penggerak konservasi itu diganjar penghargaan Kalpataru atas jasa mereka melestarikan lingkungan hidup di Pulau Sabira.
Empat tahun lalu, mayoritas pekerjaan warga Pulau Sabira masih nelayan jaring mayang dengan kapal kayu. Minimal terdapat 5-6 ABK untuk bisa mencari ikan di tengah laut. Kini, generasi nelayan Sabira semakin hari semakin menipis karena krisis ABK.
Sebelumnya di Pulau Sabira terdapat 70 kapal nelayan, sekarang cuma menyisakan 10 kapal nelayan. Warga Sabira menjual kapal-kapalnya ke pulau-pulau lain. Jika dulu tangkapan ikan bisa lebih 4 ton. Jangan harap sekarang! “Kalau sedang musim ikan selar, paling sedikit nelayan bisa menangkap ikan sekitar 1 ton atau 1,5 ton. Sekarang paling nelayan dapat 1 atau 2 kuintal, “ujar Agung.
Agung berhenti menjadi nelayan pada Desember 2018. Pekerjaan nelayan semakin suram baginya, apalagi krisis ABK, bahan bakar mahal dan ikan di laut semakin menyusut. Banyak generasi muda Sabira yang memilih sekolah di “darat” atau istilah untuk menyebut Jakarta yang bukan kepulauan. Krisis ABK di Pulau Sabira ini, mengubah pola hidup dan perilaku masyarakat nelayan. “Para-para” sejenis baja ringan yang digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan ikan, sekarang berubah fungsi untuk jemuran pakaian.
Bekas nelayan Sabira, Husein (79 tahun), cuma bisa mengenang masa mudanya sebagai nelayan ulung. Dengan 5-6 ABK di kapalnya, dia menghasilkan tangkapan ikan berton-ton. Apalagi di saat musim barat, ikan melimpah ruah. Husein juga memiliki keahlian sebagai bondet, yakni seseorang yang memiliki ketajaman untuk mengendus di mana lokasi ikan-ikan berkumpul. “Saya “curi” ilmu bondet ini dari nelayan-nelayan di Jawa, “katanya.
Sama seperti penyu sisik, pekerjaan nelayan di Pulau Sabira juga terancam punah. Kini, banyak nelayan memilih bekerja di darat, seperti di PJLP Sudin Lingkungan Hidup, Sumberdaya Air, Pertamanan dan Hutan Kota, serta lainnya. Seperti Agung memilih bergabung di Sudin Lingkungan Hidup, setiap hari tugasnya membersihkan pantai dari sampah plastik, memilah sampah, membuat kompos organik dan lainnya.
Kepungan Anjungan Migas Lepas Pantai (AMLP) milik anak perusahaan Pertamina; PHE OSES, dianggap warga nelayan Sabira mempengaruhi berkurangnya ikan-ikan di sekitar pulau mereka, di samping dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Nelayan Sabira tinggal sedikit. Kini, mereka bergantung pada rumpon– sejenis perangkap ikan yang ditenggelamkan di dasar laut ataupun yang mengapung. “Nelayan sekarang lebih suka memasang rumpon atau memancing dengan perahu kayu kecil, “kata Agung.
Ketua RW 03 Pulau Sabira, Muhammad Ali Kurniawan menerima lebih 50 laporan warga yang rumponnya putus—akibat dipindahkan oleh kapal-kapal tanker PHE OSES. “Tanpa sosialisasi dulu, ya ada ketegangan nelayan dan Pertamina, “kata Ali. Tapi negosiasi masih berjalan dan belum selesai, menurut Ali, pihaknya masih menunggu masa transisi di pihak manajemen Pertamina; PHE OSES.
Warga Sabira ingin kompensasi kerusakan rumpon berupa peralatan penunjang nelayan atau GPS. Masalah lain, soal kebocoran minyak mentah dari pipa-pipa PHE OSES. Selama 2021, setidaknya terdapat 800 kilogram limbah minyak mentah yang dikumpulkan warga. Biasanya warga akan mengirimkan kembali limbah minyak mentah ke AMPL PHE OSES. “Satu karung limbah dibayar 20 ribu,” ujar Agung.
“Pipa mereka itu sudah tua. Di sisi timur Sabira sudah mati kilang minyaknya, tinggal besi tua—seharusnya dicabut. Di sisi tenggara Sabira masih hidup kilang minyaknya, “ujar Ali. Kebocoran pipa-pipa AMPL paling parah terjadi pada 2018. Irwansyah mengalaminya saat melaut, dia merekam peristiwa kebocoran itu dengan penyerantanya untuk dijadikan bukti negosiasi dengan pihak PHE OSES. “Saya hanya berjarak 2 mil dan dekat dengan lokasi kilang minyak yang bocor, “ujar Irwan.
Manager Communication Relations & CID Pertamina Hulu Energi, Hari Setyono mengakui dan menjelaskan, Subholding Upstream Regional Jawa yang memiliki kawasan zona 5 untuk Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ), zona 6 untuk Pertamina Hulu Energi Offshore South East Sumatra (PHE OSES), serta zona 7 untuk Tambun Field, Subang Field dan Jatibarang Field, selalu melakukan evaluasi dan pemantauan secara berkala, untuk mencegah terjadinya kembali kebocoran minyak. “Kami banyak belajar dari kebocoran minyak beberapa tahun belakangan ini, hasilnya kami melakukan maintance supervilinece control secara langsung, khususnya terkait pipa yang digunakan, sehingga mencegah terjadinya kembali kebocoran minyak, “katanya.
Berkah energi surya
Dalam setahun ini, Pulau Sabira memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hybrid PLN yang ditopang oleh Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). PLTS hybrid berkapasitas daya sebesar sebesar 400 kilowatt peak (kWp) menghasilkan energi listrik sebesar 1.200 (kWh) per hari, ditambah PLTD yang berkekuatan 125 (kWh), cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik seluruh Pulau Sabira dan listrik menyala 24 jam. Jika di siang hari listrik menggunakan PLTS hybrid, di sore hari listrik ditopang menggunakan PLTD.
“Di sini warga mulai gunakan AC, mesin cuci, kulkas dan lainnya. Ada rumah yang gunakan tiga AC, jadi setiap kamar ada AC-nya. Saya takut, jika semakin banyak rumah gunakan AC, listriknya tidak kuat, “ujar Vera, ibu rumahtangga. Euforia warga Sabira pada perkakas elektronik yang membutuhkan daya listrik ini– berujung pada bengkaknya biaya yang mereka bayarkan setiap bulan. “Saya gunakan satu AC yang satu PK di rumah, tapi bayar listriknya lebih besar dari tetangga yang gunakan 2 atau 3 AC, kulkas, mesin cuci dan lainnya, “kata Agung, mengeluh.
Beralihnya pola hidup dari masyarakat nelayan tradisional ke pekerjaan sektor formal, juga mengubah pola konsumsi warga Sabira. Saat listrik masih menggunakan dua unit PLTS bantuan Kementerian ESDM pada 2007, listrik tidak berfungsi maksimal– karena ada kerusakan inverter yang tersambar listrik. Penggunaan daya listrik juga terbatas. “PLTS yang lama rusak terbakar dan tidak diperbaiki. Listrik jadi lebih sering padam,”kata Irwansyah.
Bisnis kedai kopi juga mulai menggeliat di Pulau Sabira. Kedai kopi menjadi tongkrongan favorit anak muda untuk bersantai di malam hari. Bagaimana tidak, secangkir capuccino hangat di ujung senja sambil mendengar suara musik yang syahdu di pinggir pantai. Suasana seperti itu jadi magnet bagi anak-anak muda Sabira hingga wisatawan lokal. Daya listrik tidak menjadi hambatan sekarang, kedai kopi bisa memasang lampu hias berwarna-warni—bahkan live music sekaligus. Setidaknya tiga kedai yang jadi kegemaran generasi Milenial dan generasi Z di Pulau Sabira dan selalu penuh pengunjung. Kedai kopi buka dari sore hingga malam hari– meski kondisi pandemi Covid 19, tidak menyurutkan langkah anak-anak muda berbisnis sekaligus bergaul. [Deutsche Welle]