Site icon Jernih.co

Rahasia Hidup Leluhur di Balik ‘Boboko’

Bila bersantap di warung makan khas Sunda, selain sajian lalaban dan sambal pelengkap makan,  yang biasanya tak pernah absen adalah nasi yang disajikan dalam boboko. Rasanya kurang nyunda bila tak ada benda ini menemani makan.

Oleh masyarakat Sunda, selain digunakan sebagai tempat menyimpan nasi, boboko juga lazim digunakan untuk ngisikan (membersihkan beras sebelum ditanak). Di era moderen ini, banyak masyarakat yang telah meninggalkan boboko. Nasi ditanak dan simpan dalam alat penanak nasi elektrik yang umum dikenal dengan magic com.

Boboko berbahan dasar bambu. Setalah dibersihkan, bambu kemudian dipotong, diraut, dan diayam sedemikian rupa. Bagian bawah boboko terbuat dari bambu setinggi lebih kurang 3 – 5 cm. Berbentuknya bujur sangkar. Fungsi sebagai pijakan atau kaki. Bagian tengahnya terbuat dari anyaman bambu yang cenderung padat namun tetap memiliki celah.

Bambu-bambu tersebut dianyam berbentuk bujur sangkar di bagian bawah mengikuti pola kaki. Makin ke atas, anyaman dibuat semakin tanpa segi alias lingkaran. Di bagian atas, anyaman akan dikunci dengan ring yang terbuat dari bambu. Jadi, pada boboko terdapat perpaduan dua bentuk geomteri yakni bujur sangkar dan lingkaran.

Ukuran boboko bervariasi. Yang standar biasanya memiliki tinggi sekitar 20 cm dengan diameter lingkaran atas sekitar 20 – 25 cm. Selain memiliki fungsi praktis sebagai tempat membersihkan beras dan menyimpan nasi, boboko ternyata memiliki nilai filosofi yang sangat dalam.

Menurut Jacob Sumardjo dalam buku Estetika Paradoks (2014: 67), boboko memiliki struktur khas pola kosmologi Sunda. Guru besar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini menggolongkan kebudayaan Sunda ke dalam kebudayaan berpola 3. Sederhananya, alam pikir Sunda menganut serba tiga: dua yang  berlawanan dengan satu “ruang perjumpaan” keduanya.

Boboko memiliki tiga bagian, yakni, bagian bawah (bujur sangkar), tengah (segi delapan), dan atas (lingkaran). Benda ini berstruktur vertikal (bawah-atas). Dalam kebudayaan Sunda, struktur jenis ini biasanya bersifat kosmologis (transendental).

Bagian bawah yang berbentuk bujur sangkar memiliki kualitas maskulin. Ia kokoh, menutup, dan punya garis batas yang jelas. Bagian ini langsung berhubungan dengan bumi yang dalam kosmologi masyarakat huma atau ladang seperti masyarakat Sunda dipersonifikasikan sebagai lelaki.

Sedangkan bagian atas berbentuk lingkaran. Ia bersifat terbuka dan tanpa batas. Arahnya mendongak ke langit yang berkualitas feminin (perempuan).

Bagian tengah adalah “ruang perjumpaan” keduanya. Bentuknya segi delapan sebab transformasi dari bujur sangkar ke lingkaran. Di bagian tengah ini nasi, yang berasal dari beras, disimpan.

Sebagaimana dalam banyak kebudayaan ladang atau sawah, dalam mitologi Sunda dikenal pula sosok dewi padi. Ia biasa disebut Nyi Pohaci atau Sang Hyang Sri Pohaci. Dikisahkan dewi ini berasal dari langit. Demi kebaikan umat manusia, ia rela turun ke bumi dan malih rupa menjadi padi.

Nyi Pohaci dari langit (perempuan) turun ke bumi (laki-laki). Oleh manusia Sunda ia “disimpan” dalam boboko yang beralas bujung sangkar (menapak ke bumi; laki-laki) dan berbingkai lingkaran (mendongak ke langit; perempuan).

Nasi adalah “material duniawi”. Ia dapat diindera. Namun, ia berasal dari langit (Nyi Pohaci). Karena mengandung kualitas paradoks maka tempat penyimpanannya pun harus paradoks.

Boboko diciptakan sedemikian rupa agar sesuai antara isi (nasi/beras/padi) dan wadahnya. Selain paradoks  bujur sangkar dan lingkaran, anyaman yang padat namun bercelah (berlubang) juga merupakan paradoks dalam boboko.

Laki-laki, maskulin, “padat”, dan bumi biasanya dimaknai sebagai yang imanen, profan, duniawi. Sedangkan “paradoksnya”, perempuan, feminin, “lubang”, dan langit biasanya dimaknai sebagai yang transenden, sakral, surgawi/akhirat.

Perjumpaan keduanya dalam boboko mengisyaratkan bahwa masyarakat Sunda senantiasa berpikir holistik. Tidak memilah tegas antara urusan duniawi dan surgawi/akhirat.

Dari boboko , dapat pula ditarik pelajaran bahwa segala sesuatu harus sesuai antara isi dan cangkang (wadah). Melalui boboko leluhur sunda mengajarkan agar hidup kudu harmonis, moderat dan sineger tengah.

Leluhur Nusantara telah sedemikian canggih berfilsafat. Tak hanya memproduksi pengetahuan yang tertulis dalam naskah-naskah kuno, mereka juga membenamkan nilai-nilai dan falsafah kehidupan dalam pelbagai aspek kehidupan. Boboko hanya satu dari sekian  banyak perwujudan luhurnya budaya Nusantara.

Exit mobile version