Site icon Jernih.co

Ramadhan dan Doa yang Melambung ke Arsy-Nya

Pengungsi Rohingya di Indonesia

Sudah sekian purnama mendarat di Indonesia setelah berbilang hari terombang-ambing di tengah samudra terusir dari tanah kelahiran. Masyaa Allah mereka adalah penyintas dari sekian ribu orang yang menempuh ribuan kilometer. Akhirnya berhasil mencapai tanah harapan, demikian asa yang mereka sematkan dalam benak tatkala bersua saudara seiman. Namun, harapan tinggal harapan.

Oleh  : Yunia Prasetyani

JERNIH– Ini bukan kisah manis, tapi mengusik jiwa yang mampu melambungkan doa atas nama hamba yang teraniaya. Setiap kali Ramadhan senantiasa memberi pelajaran, pengalaman yang mengesankan, namun juga memberi luka meski tak berdarah.

Bermula dari kisah anak gadis saya, seorang dokter yang tengah bekerja di sebuah NGO kemanusiaan. Tiba-tiba dia mendapat panggilan SOS dari serombongan pengungsi Muslim asal Rohingnya, Myanmar. Mereka saat ini tengah mengadukan derita anaknya di emperan Komnas HAM. Sudah sekian purnama mendarat di Indonesia setelah berbilang hari terombang-ambing di tengah samudra terusir dari tanah kelahiran. Masyaa Allah mereka adalah penyintas dari sekian ribu orang yang menempuh ribuan kilometer. Akhirnya berhasil mencapai tanah harapan, demikian asa yang mereka sematkan dalam benak tatkala bersua saudara seiman. Namun, harapan tinggal harapan.

Negeri kita yang mayoritas warganya umat Islam hanya jadi batu loncatan. Pijakan sementara untuk mencapai tanah harapan sesungguhnya. Indonesia “tidak seksi” bagi pengungsi, karena tak menyediakan lapangan pekerjaan. Menurut pengungsi kondisi negeri kita tak jauh beda dengan negeri asal mereka. Penerimaan masyarakat juga kurang baik. Ketika ada di antara mereka mau mengontrak rumah, kerap ditolak. Saat ini marbot masjid di kompleks kami dari Afghanistan. Beliau juga mengaku di sini hanya sementara menunggu waktu berangkat ke destinasi harapan, Australia.

Australia ikut menandatangani Konvensi PBB tentang status pengungsi dan protokolnya. Ada ketentuan hukum yang mengatur soal penerimaan bagi pengungsi untuk bertempat tinggal dan hidup selamanya (resettlement and reintegration) di Australia. Itu sebabnya Australia jadi tujuan utama. Sudah banyak kisah sukses soal ini, meski kebijakan Australia makin lama makin anti-imigran.  

Sebaliknya, Indonesia bukan negara penanda tangan Konvensi tentang Status Pengungsi. Tidak ada ketentuan hukum yang mengatur peluang resettlement dan reintegrasi bagi para pengungsi atau pencari suaka. Sementara direpatriasi (dikembalikan ke negara asal) juga tidak mungkin. Jadilah secara de facto pengungsi berstatus sebagai terdampar atau terkatung-katung di Indonesia.  

Beberapa orang terusir dari kamp pengungsi hanya karena mereka menjadi whistleblower dari ketidakberesan staf lokal yang menjadi perpanjangan UNHCR. Mereka mempertanyakan tawaran membayar 20.000 $ bila hendak mau mencari suaka ke Amerika Serikat. Ujung-ujungnya mereka menggelandang hingga pulau Jawa, kemudian sempat tinggal di bilangan Tangerang Selatan. Salah satu anak mereka ditampung di sebuah pesantren di situ. Tapi, anak lelaki berumur delapan tahun itu mengalami perundungan, dari orang-orang biadab tak berperikemanusian.

Setelah berbilang hari mengalami perundungan hingga kekerasan seksual, dia kabur kembali mencari keluarganya dengan jalan kaki hanya membawa badan dan jiwa penuh luka. Tak terbayang tubuh mungilnya terseok berjalan ratusan kilometer di tanah yang tak dikenalnya. Qadarullah bi idznillah sampai juga tubuh mungil penuh derita itu kembali ke keluarganya.

Setelah sebulan mereka mengadu di emperan Komnas HAM barulah ada sedikit titik terang. Ada orang-orang LBH yang tergerak ulurkan tangan. Lembaga nirlaba itu bersedia mendampingi proses visum dan mengeluarkan biaya—ternyata itu merupakan permainan plokis, sebab sejatinya visum di RS Polri tak dipungut biaya.

Awalnya anak itu dibawa ke dokter forensik biasa. Setelah mendengar cerita si anak dan melihat kondisinya, sungguh menyayat hati, ternyata dia tidak hanya korban dari satu predator. Akhirnya dirujuk ke dokter bedah anak. Hingga saya menulis catatan ini, kasusnya masih dalam proses, dan mereka masih tinggal di emperan Komnas HAM.

Setahu saya para pengungsi mendapat santunan dari UNHCR yang tidak kecil. Ada juga dana zakat, cuma entah disampaikan langsung ke pengungsi atau tidak. Anak saya saat ini kerja di Dompet Dhuafa. Dia bertekad mendampingi hingga kasusnya tuntas.

Sekarang pihak LBH yang mendampingi terkena panic attack, karena urusan legal hukum itu ranah mereka. Konon saat ada pertemuan dan laporan dari staf lokal UNHCR yang dihadiri wakil presiden, ada sumbangan buat pengungsi Rohingnya sebesar 200 juta dollar AS, jatah per kepala keluarga 7.500 dolar AS per bulan. Faktanya menurut salah satu penerjemah mereka, pengungsi tak dapat santunan apa pun dari jumlah yang disebutkan itu. Entah raib ke mana dananya.

Semoga di bulan Ramadhan ini doa kita semua melambung ke arsy-Nya. [ ]

Yunia Prasetyani, ibu rumah tangga, pensiunan guru SMP, pemerhati pendidikan. Tinggal di Gading Serpong, Tangerang Selatan.

Exit mobile version