Site icon Jernih.co

Rasmus Paludan dan Vigilantisme Sayap kanan

Rasmus Paludan

Untuk mendongkrak kontroversi aksinya Rasmus tak segan membungkus Al Qur’an yang akan dibakar dengan bakon (bacon) yang merupakan potongan daging—biasanya bagian perut—babi. Lain waktu, dia sisipkan telinga babi yang sudah dikeringkan ke dalam halaman-halaman Al Qur’an.

Oleh  :  Akmal Nasery Basral

JERNIH—Sekumpulan musisi Denmark menyebut diri mereka “FJMP”. Pentas mereka bukan di kafe, ballroom hotel atau arena olahraga layaknya grup musik kebanyakan. Panggung mereka berpindah-pindah sesuai dengan lokasi dan posisi Rasmus Paludan, 40 tahun, pendiri partai Stram Kurs (“Garis Keras”), yang hobi bakar Al Qur’an dan maki-maki imigran.

Setiap kali Rasmus bicara, bunyi musik merespons  gombrang-gambreng sengawur-ngawurnya. Debur tambur melantur-lantur, jerit saksofon berdecit-decit, siul harmonika susul menyusul, pekik trumpet merepet cerewet, bunyi banjo mendengking ngaco. Sebuah disharmoni sempurna. “Kami buat gaduh untuk tandingi gaduh,” ujar John Rasmussen–salah seorang peniup saksofon dan konsultan IT motor FJMP–seraya menatap Rasmus yang terlihat gusar di antara para pendengarnya yang berkumpul di tengah taman.

“Musik mengerikan melawan hasutan mengerikan,” celetuk Jørn Tolstrup, seorang penonton tertawa lebar. “Rasmus berharap membuat para imigran marah dengan pidatonya, lalu sebagian imigran membalas mematahkan tangannya atau membuat lebam matanya. Itu yang dia inginkan. Seorang idiot yang tak pernah diam. Saya girang sekali menyaksikan inisiatif para musisi yang kreatif ini untuk membuat Rasmus berhenti.”

Bagi Rasmus yang aksi provokasinya berantakan, cara yang dilakukan FJMP sangat mengesalkan. “Gangguan ilegal dari sebuah demo legal,” rutuknya sebal. “Kebisingan dibuat merupakan pengakuan kegagalan mereka yang hanya bisa membuat berisik dengan alat musik karena tak bisa melawan argumen saya. Patetik,” lanjutnya kepada wartawan Sebastian Skov Andersen dari Vice News yang meliput ‘perang kegaduhan’.

FJMP terbentuk Mei 2020 di Kopenhagen dengan tujuan melawan kampanye intoleran Rasmus Paludan yang antiimigran. Nama FJMP berarti “Free Jazz Mod Paludan”. Dalam bahasa Denmark “mod” memiliki padanan bahasa Inggris “ against”. Jadi band itu bisa disebut “Free Jazz Against Paludan” untuk memudahkan. Pada laman Facebook FJMP tertulis undangan “siapa pun boleh bergabung, kecuali Rasmus Paludan.” Calon anggota tidak harus musisi profesional serta tidak harus bawa alat musik jika tak punya. “Mau pakai penggorengan atau sendok kayu pun diperbolehkan.”

Sayangnya FJMP hanya bisa merespon di segenap petak negeri Denmark. Mereka tak bisa gombrang-gambreng  di Swedia, seperti saat Paludan dan pengikutnya kembali membakar Al Qur’an di Linköping—200 km barat daya ibu kota Stockholm—Kamis (14/4). Dia berani melakukan itu karena dilindungi polisi yang gunakan jurus sakti kebebasan bicara.

Aksi Rasmus dibalas tiga ratus massa yang membuat kerusuhan meletus. Sebuah mobil dibakar, anggota polisi diserang. Keesokan harinya, Jumat (15/4), massa kembali turun ke jalan dan bentrok dengan polisi yang membuat sembilan orang aparat mengalami hujan timpukan batu dan patah lengan.

Suasana tenang belum tercipta karena Sabtu kemarin (16/4) Perdana Menteri Swedia, Magdalena Andersson, membela tindakan Rasmus. “Di Swedia orang-orang diizinkan untuk mengekspresikan pendapat mereka, tidak peduli aksi tersebut sopan atau tidak sopan. Itu bagian demokrasi kita. Anda tidak bisa melakukan kekerasan. Kami tidak bisa menerima itu,” katanya menyesalkan aksi massa. “Masyarakat seharusnya tidak terhasut. Ini jenis kekerasan yang (Rasmus Paludan) inginkan.”

Argumentasi gaya Andersson yang normatif ini ditentang Jørn Vestergaard, profesor hukum pidana di Universitas Kopenhagen yang sudah lama bertungkus lumus mengamati sepak terjang Rasmus. “Tak seorang pun punya hak bebas tanpa syarat (unconditional right) untuk menghina kitab-kitab suci agama dan menyebarkan ujaran kebencian yang menciptakan gejolak sosial. Seharusnya polisi bertindak dengan membatasi hak seseorang melakukan provokasi publik. Itu bukan berarti memberangus hak kebebasan bicara.”

Rasmus Paludan bukan kali ini melakukan provokasi bakar kitab suci. Pada September 2020 dia pernah melakukan hal yang sama di kawasan pemukiman Rinkeby, Stockholm, yang memiliki banyak populasi warga dan imigran Muslim. Sebelumnya lagi, pada April 2019, dia melakukan hal serupa di tempat berbeda.

Untuk mendongkrak kontroversi aksinya Rasmus tak segan membungkus Al Qur’an yang akan dibakar dengan bakon (bacon) yang merupakan potongan daging—biasanya bagian perut—babi. Lain waktu, dia sisipkan telinga babi yang sudah dikeringkan ke dalam halaman-halaman Al Qur’an.

Mengapa kebencian begitu mendidih di ubun-ubun Rasmus Paludan?

Di situs webnya Rasmus menggadang-gadang diri dengan kalimat bombastis, “Saya seorang Prajurit Kebebasan, Pelindung Kaum Lemah, Penjaga Masyarakat, Cahaya Bangsa Denmark.” Salah satu ucapan favoritnya saat pidato adalah “Seluruh Muslim harus keluar dari Denmark.”

Sejatinya Rasmus bukan hanya benci Muslim.  Dia  mengidap jijik tanpa dasar terhadap kelompok minoritas. Misalnya mencemooh orang-orang Afrika dengan sebutan “ber-IQ 70” dan menghina negara-negara Afrika sebagai “The IQ-70 Countries” dalam berbagai pidato. Kombinasi perangai ultranasionalis dan sikap xenophobist ini melejitkan temperamen intoleran Rasmus sebagai “Ancap (Anarcho-capitalist)” gila-gilaan.

Bagi Anda yang heran mengapa kerusuhan di Swedia bisa dipantik dengan santai oleh warga Denmark, inilah penyebabnya: Rasmus Paludan memegang dua kewarganegaraan. Dia lahir di North Zealand, Denmark, dari ayah seorang wartawan berkebangsaan Swedia. Fakta biologis ini membuatnya dianugerahi warga negara Swedia pada Oktober 2020 setelah dia ngotot memperjuangkan dengan alasan sudah berulangkali kunjungi Swedia meski tinggal di Denmark.

Rasmus Paludan berasal dari keluarga cerdas dan berjiwa seni tinggi. Adiknya Tine seorang penyair dan Martin seorang penulis. Rasmus tak ingin menjadi seniman dan memutuskan ingin menjadi pengacara kawakan dan elegan. Dia masuk Jurusan Hukum Universitas Kopenhagen tahun 2001. Semua orang yang mengenalnya saat itu menyebut Rasmus pemuda peramah bukan pemarah. Afiliasi politiknya adalah Partai Liberal Sosial Denmark yang beraliran “tengah” atau “tengah agak ke kiri”. Dia sama sekali tak menunjukkan ciri ideologis seorang loyalis sayap kanan yang militan (far-right).

Nahas, di tahun 2005 saat sedang gowes dia alami tabrakan fatal. Sebuah mobil yang sedang meluncur dalam kecepatan tinggi nyelonong menyeruduknya, membuat tubuhnya terpental.  Rasmus alami cedera kepala serius. Hasil pengujian medis neuropsikologis menunjukkan terjadi sedikit kerusakan otak. Rasmus lolos dari maut, namun menurut kesaksian keluarga dan kawan-kawannya, sejak itu perangai Rasmus gampang ketus. Dia tak bisa lagi atasi perbedaan pendapat dan debat dengan cara halus. Semua dengan kata meletus-letus yang membuat hangus.  

Rasmus sendiri mengakui perubahan temperamennya dalam kesaksian persidangan kasus-kasus yang dia alami tahun-tahun berikutnya. Umumnya berkaitan dengan ujaran kebencian dan rasialisme. Misalnya kesaksian di Pengadilan Glostrup, April 2019. (Pemerintah Prancis pernah mengekstradisinya dari negara mereka, dan Pemerintah Belgia melarang Rasmus menginjakkan kaki di negeri mereka. Ini bukti betapa bahayanya Rasmus di mata bangsa Eropa sendiri). 

Pasca kecelakaan fatal, Rasmus masih bisa menyabet kesempatan magang di Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag sebelum lulus kuliah. Dia bahkan menempati peringkat 9 dari 187 mahasiswa saat wisuda.  Bukan kaleng-kaleng. Rasmus mencebur dalam dunia advokasi dan rekam jejaknya menunjukkan perjalanan kariernya dianyam dari membela kelompok sayap kanan ke kelompok sayap kanan lainnya sampai dia memutuskan mendirikan Partai Stram Kurs di tahun 2017 untuk mengikuti pemilu legislatif Denmark 2019.

Narasi-narasinya yang tajam menusuk disukai sebagian kalangan sehingga popularitasnya meroket. Terutama di media sosial di mana generasi muda Denmark berbondong-bondong menyaksikan video-video rasisnya terhadap imigran. Rasmus tak sungkan mengampanyekan, “Denmark harus tinggalkan konvensi internasional yang mengatur imigran.” Seorang warga Denmark di forum Quora.com menyimpulkan, “Rasmus Paludan itu mirip Donald Trump, hanya lebih pintar.”

Namun hasil pemilu tak semulus bayangan Rasmus. Partainya meraih 1,8 persen suara—kurang dari 0,2 persen—untuk bisa melenggang ke Parlemen dan mendapatkan satu kursi sebagai wakil rakyat. Betapa menyakitkan!  Hasil ini menyulut emosi sang advokat dan mengubah strategi dengan menggencarkan aksi lapangan seperti terjadi Kamis kemarin dan tahun-tahun sebelumnya: dengan bakar Al Qur’an. Sebab, hanya dengan aksi semacam itulah namanya terus dibicarakan baik di Skandinavia atau di dunia internasional.

Anggota Stram Kurs pun berubah menjadi vigilante, orang-(orang) yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri dengan mengabaikan otoritas negara. Mereka memang belum seekstrem aksi grup vigilan “Soldiers of Odin” di Finlandia yang mengadopsi jiwa Neo-Nazi dalam mematroli imigran, namun di masa depan  bisa menyulitkan Pemerintah Denmark dan Swedia sendiri jika terus dibiarkan.

Sebab para vigilante bergerak di jalur cepat vigilantisme, justifikasi filosofi ‘main hakim sendiri’ yang sebenarnya merupakan refleksi ketidakpercayaan atas kebijakan pemerintah. Dalam hal ini kebijakan menampung imigran Muslim sejak 2015 dari negara-negara yang tercabik perang. Di mata Rasmus dan Stram Kurs, pemerintah bukan saja telah gagal dalam kebijakan itu melainkan lebih jauh lagi telah melakukan kesia-siaan dengan menerima pengungsi Muslim di negara mereka.

Dari sisi sosiologis, sinisme khas kelompok sayap kanan antiimigran itu bisa dipahami, meski tak harus disetujui. Pemerintah Denmark dan Swedia, juga Finlandia dan sejumlah negara Eropa Barat lainnya, memang membuka pagar halaman mereka untuk menampung sesama umat manusia yang sedang kesulitan dengan membuka kawasan-kawasan penampungan sosial. Kebutuhan fisik imigran untuk bisa istirahat, tidur melepas penat, dan berkumpul dengan keluarga terdekat, bisa disalurkan dengan hangat.

Yang acap terlupakan adalah program asimilasi yang mendorong imigran untuk berbaur dengan warga setempat dalam program-program persuasif dan konstruktif. Para imigran datang dari budaya dan sistem keyakinan yang berbeda. Tentu mustahil mengharapkan mereka yang aktif ambil inisiatif lebih dulu. Apalagi mereka berada di negeri orang dengan bahasa dan kultur komunikasi yang tak sama. Ini saja sudah menjadi tantangan yang sulit diatasi para imigran terutama di masa-masa awal kedatangan.

Kurangnya program-program pembauran yang dirancang pemerintah untuk mengintegrasikan pendatang dengan warga lokal membuat para imigran yang sudah kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam, membuat komunitas pendatang ini terlihat eksklusif di mata penduduk asli. Para imigran hanya mau berinteraksi dengan sesama mereka, menggunakan bahasa mereka, sembari terus mempertahankan identitas budaya asal dari menu makanan sampai gaya berpakaian yang berbeda dengan warga setempat.

Bagi warga tipe ‘sumbu pendek’ seperti Rasmus Paludan dan anggota Stram Kurs, situasi ini menyuburkan bibit-bibit vigilantisme yang sudah ada di jiwa mereka menjadi kian gembur dan tumbuh subur. 

Dari perspektif Vigilante Rituals Theory, kekerasan vigilantisme a.k.a. ‘main hakim sendiri’ itu berasal dari perasaan takut akan tersingkir, kemarahan yang timbul akibat merasa lebih berhak (righteous anger) sebagai warga asli, serta keinginan melakukan pembalasan hukuman karena asumsi pelanggaran kewajiban moral yang dilakukan imigran sesuai norma setempat. Ini semua merupakan pilar-pilar sakral wawasan Durkheimian. (Émile Durkheim, 1858-1917, adalah sosiolog Prancis dan salah seorang pionir yang merumuskan cara pandang itu).

Relevansi ketajaman pengamatan Durkheim ternyata menemukan momentumnya lagi saat ini.

Hasil jajak pendapat Gallup yang mewawancarai 140.000 responden di 145 negara pada akhir 2020 menyimpulkan bahwa “dunia menjadi semakin tidak toleran terhadap imigran kecuali Kanada, Islandia dan Selandia Baru”.  Dengan demikian, Rasmus Paludan sedang berada dalam arus pasang —kalau bukan menjadi salah satu aktor utama—dalam gelombang antiimigran yang menunjukkan sisi lain menguatnya vigilantisme sayap kanan.

Sebagai penutup, menarik disimak laporan investigasi koran Denmark, “Ekstra Bladet” yang disiarkan 27 Agustus 2021 untuk mendapatkan sisi lain kepribadian Rasmus Paludan. Wartawan Ekstra Bladet yang melacak intensif aktivitas online Rasmus Paludan melalui server Discord—sebuah platform pesan digital VoiP—menunjukkan adanya sejumlah percakapan hardcore fetish sex Rasmus dengan beberapa ABG cowok usia 13-17 tahun. Fetisisme adalah perilaku seksual kompulsif atau kelainan seksual yang membuat penderitanya menghubungkan sebuah benda mati atau bagian tubuh tertentu yang biasanya tidak berhubungan dengan kegiatan seksual, justru sebagai pusat kenikmatan gairah badani.

Saat dikonfirmasi soal ini, Rasmus Paludan menjawab ringan. “Saya tak membantah melakukan itu.  Tetapi saya mana tahu umur lawan bicara saya? Lagi pula kalau sudah melewati batas seharusnya moderator atau anak itu sendiri yang menghentikan chat.”  Nah! [  ]

*Sosiolog, penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Exit mobile version