Bosan terkerangkeng di dalam rumah selama berbulan-bulan, membuat orang bisa kurang waspada bahwa traveling membawa risiko sendiri: kesulitan menghindari kerumunan
JERNIH—Setelah dihajar pandemi COVID-19 hampir dua tahun lamanya, banyak orang yang bosan terkungkung dalam rumah (ngajedog—Sunda) bertekad membalas dendam dengan bepergian ke tempat-tempat wisata yang mereka maui. Tanpa sadar, semua itu potensial mengundang datangnya gelombang ketiga serangan COVID-19.
Misalnya Barikatul Hikmah (35). Segudang rencana telah ia siapkan untuk menyambut pelonggaran PPKM, di antaranya ingin mengunjungi beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia dalam waktu dekat. Pikirannya bahkan telah mendahuluinya terbang ke Afrika Selatan, negara yang sejak lama ia idamkan untuk dikunjungi.
Baginya, jalan-jalan atau traveling adalah gizi buat jiwa, sekaligus kesempatan untuk dekat dengan penduduk dan kebudayaan setempat, sehingga bisa mengetahui lebih banyak hal dan membuka pikiran. Sejauh ini ia sudah mengunjungi lebih dari 20 negara.
“Misalnya, meskipun saya beragama Islam, tapi saya ke Vatikan, ke kuil Angkor Wat, ke Pagoda Bangkok, ke Vihara di Cina. Saya juga ngobrol dengan orang atau penganut dan pemuka agama lain. Saya bisa lebih toleran lagi setelah berinteraksi dengan banyak manusia berbagai agama dan jadi bisa terhubung dari sisi kemanusiannya,” ujar Barikatul Hikmah, alias Ika itu.
Revenge travel
Beragam pembatasan saat pandemi lantas memicu masyarakat untuk melakukan balas dendam jalan-jalan atau revenge travel yang melibatkan emosi dan cenderung berlebihan, demikian menurut psikolog sosial dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Juneman Abraham. Fenomena ini muncul sebagai tanggapan atas rasa terpenjara atau defisit mobilitas akibat pembatasan pergerakan fisik semasa pandemi.
“Gejala munculnya revenge travel dapat dimaklumi karena nilai manusia itu adalah kebebasan sehingga orang berlomba untuk mengupayakan memulihkan kebebasannya. Traveling ini tiba-tiba tertutup kanalnya dengan PSBB, PPKM, dan sebagainya. Hal ini membuat ada timbunan ‘energi psikologis’ dalam diri. Seperti berada di ruang tertutup yang membutuhkan ventilasi dan ketika satu jendela (peluang berwisata dibuka) maka ramai-ramai orang mau menghirup sebanyak-banyaknya udara dari jendela tersebut,” ujar dia.
Namun demikian, faktor-faktor lain jadi kurang dipertimbangkan secara menyeluruh, seperti mengecilkan potensi adanya akibat buruk dari kegiatan melancong itu sendiri, yaitu kerumunan orang di tempat tujuan wisata.
“Kalau terjadi penumpukan ya tentu saja maksud memulihkan kebebasan tadi jadi kontradiktif karena malah terjadi tidak aman secara fisik. Akibatnya penularan, mutasi varian baru terjadi. Maksud hati traveling ingin memulihkan kesehatan jiwa malah jadi travel penularan virus,” kata Juneman kepada DW.
Ameilia, 36 tahun, sebelum pandemi sudah berkelana di 70 negara. Ia begitu menantikan saat-saat bisa kembali mengunjungi tempat-tempat di bucket list pribadinya. Salah satunya mengunjungi Malta dan Irlandia. Saat ini, ia bahkan tengah berada di Jerman untuk kursus sekaligus bertamasya keliling Eropa.
“Selama pandemi saya keliling dalam negeri di Indonesia ke beberapa daerah seperti Sumba, Aceh, Sabang, dan Raja Ampat. Saya senang dengan rencana pembukaan ini. Persiapan traveling di masa pandemi ya jadi lebih banyak seperti prokes, karantina, dan PCR lebih sering,” ujar Ameilia.
Sebelum pandemi, kegiatan bertamasya itu sendiri mengalami perkembangan nilai bukan sekadar sarana relaksasi, tapi ada nilai yang berkembang pada masyarakat selama melakukan perjalanan. Ada nilai-nilai untuk beradaptasi, nilai toleransi, menghargai keberagaman karena bertemu dengan berbagai macam orang, ada nilai welas asih, dan ada nilai yang sekadar berjalan-jalan untuk memenuhi rasa ingin tahu.
Saat pandemi, keinginan ini terhambat dan perasaan terhambat dalam diri inilah yang disebut frustasi. Akibatnya, perasaan ini bisa mengejawantah dalam bentuk sikap agresif, marah-marah, atau ke arah yang lebih berbahaya akibat mengalami frustasi kronik. “Setidaknya izin traveling ini memberikan sedikit ruang ventilasi mewujudkan nilai yang selama ini terhambat,” ujar Juneman.
Ia memprediksi titik puncak dari balas dendam jalan-jalan ini akan terjadi dalam tahun depan saat orang berbondong-bondong untuk berwisata ke dalam maupun luar negeri. Gejalanya sudah mulai tampak, yaitu dengan banyaknya postingan sanak saudara atau teman foto-foto bersama, makan bersama di restoran atau liburan dalam kota.
“Ini tentunya juga menularkan keinginan untuk melakukan hal yang sama bagi orang yang melihatnya. Tanda-tandanya sudah ada dari sekarang,” kata dia.
Waspada! Waspada!
Pakar epidemiologi dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman, mengingatkan bahwa revenge travel dapat memicu terjadinya kerumunan sehingga pemerintah diimbau untuk waspada dan melakukan evaluasi setiap saat.
“Mobilitas orang yang tinggi dengan adanya varian baru di beberapa negara dan jumlah orang yang sudah divaksin di dalam negeri menjadi variasi ideal untuk terjadinya gelombang ketiga COVID-19. Ini bukan sesuatu yang bisa dihindari tapi setidaknya dampaknya jangan sampai besar,” kata Dicky.
Karena itu ia mengimbau pemerintah untuk melakukan evaluasi berkala dan tidak tergesa-gesa dalam membuka gerbang internasional. Salah satunya dengan menerapkan karantina yang lebih lama untuk wisatawan dari beberapa negara yang sedang mengalami lonjakan kasus.
“Jangan terburu-buru. Semua harus disiapkan dengan kombinasi protokol kesehatan ketat dan dievaluasi. Semua harus terlibat dari dinas pariwisata dan dinas kesehatan,” ujar Dicky.
Pemerintah Indonesia memutuskan membuka kembali Pulau Bali untuk pengunjung internasional dari beberapa negara seperti Korea Selatan, Cina, Jepang, Dubai, dan Selandia Baru pada 14 Oktober 2021. Ini adalah upaya pemerintah memulihkan sektor pariwisata Bali yang terpuruk selama wabah.
Indonesia sempat menjadi salah satu negara Asia Tenggara dengan kasus COVID-19 tertinggi dengan total kasus infeksi melebihi 4 juta, dan angka kematian lebih dari 142.000. Pada pertengahan Juli lalu, merebaknya varian Delta menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan salah satu kasus COVID-19 terbesar dengan kasus harian 52.000 dan kematian 2000 kasus per hari. Saat artikel ini dirilis, jumlah kasus infeksi dan kematian telah jauh berkurang. [Deutsche Welle]