Pengantar:
Jernih.co akan memuat cerita bersambung, sekadar mengajak kalangan yang sudah senior—paling tidak 40 tahun ke atas, bernostagia membaca cerber dalam koran-koran di masa jaya media cetak.
Pada kesempatan pertama, kami akan muat bersambung cerber ‘Rock N Roll Mom’, yang bercerita tentang masa-masa kebangkitan grup band Slank. Selamat mengikuti.
Kalaupun tak ada di Lubuk Linggau ini, anak-anakku itu bisa mencarter kendaraan sampai ke Bengkulu. Aku tak yakin ibukota provinsi itu steril dari narkoba, sementara kutahu kota-kota kabupaten di Kalimantan Selatan saja tak luput dari peredaran barang-barang perusak tubuh dan jiwa itu.
“Kami bisa berangkat jalan darat ke Bengkulu. Dari sana baru naik pesawat ke Bandung,” kata Bimbim. Aha, benar kan? “Maksudmu pergi dengan kondisi seperti ini, Bim?” Aku menyindir, tentu.
“Emang kenapa, Bun? Nih Bimbim udah seger lagi. Lagian kan ada Kaka dan Ivan. Masak sih mereka mau ngebiarin Bimbim kalau pingsan sebagaimana ibu takuti,” katanya. Tutur katanya kini lebih jelas, matanya pun terbuka. Tetapi tetap saja tak kulihat ada cahaya di sana.
“Iya Bun. Kita jagain Bimbim deh.” Terdengar suara di pojok kamar. Berat, seolah ada bandul besi menggayuti kerongkongan empunya. Saat kulirik, tak kulihat raut muka Kaka saat mengucapkannya. Mungkin saja masih dengan mata terpejam, karena wajahnya tertutup tangan yang ditopang dengkulnya. Wah, jangankan menjagai Bimbim, aku yakin, dia sendiri belum sepenuhnya tersadar.
“Boleh dong bunda juga ikut? Kan bunda juga capek terguncang-guncang terus di perjalanan,”kataku. Tak ada salahnya mencoba.
“Yah, nanti teman-teman kru gimana, Bun? Kan mereka tergantung ke Bunda. Apalagi semua udah kelihatan capek lahir batin gitu,” kata Bimbim. Sekarang ia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Paling tidak bila mencermati kalimatnya yang lebih mengalir lancar. Aku perhatikan raut mukanya. Jelas benar ia kecewa. Tetapi bagiku itu lebih baik daripada tatapan kosong tanpa jiwa yang tergambar di wajahnya beberapa saat lalu.
“Biar saja Bunda ikut. Aku bisa ngurus segala yang perlu di sini,” kata Ridho urun rembug. Personel Slank yang bernama lengkap Mohammad Ridwan Hafiedz itu tahu apa yang kumaui. Aku sadar dirinya sendiri tidak begitu yakin dengan ucapannya untuk menangani segala rupa keperluan selama perjalanan itu sebagaimana yang kulakukan. Tetapi aku mengerti, Ridho menengarai kekhawatiranku akan Bimbim, Kaka dan Ivan bila mereka dibiarkan pergi sendiri.
“Alaaa, Rid, lo kok nggak percaya kita sih?” Kali ini nada suara Bimbim mulai terdengar meninggi. Belum lagi sebuah suara di pojok kamar ikut meningkahi. “Apa maksud Lo, Rid?”
“Gua sih kasian ama Lo bertiga. Kalau Bunda ikut kan bisa…”
“Yang lebih bagus itu Bunda ngurus perjalanan, ngurus kalian semua. Kita bertiga cuma ngurus diri sendiri apa susahnya?” Suara Bimbim makin meninggi. Dia mulai bisa duduk lebih tegak di kursi yang tadi menjadi tempatnya bergulung dalam kesakitan.
“Lagian Bunda sendiri oke kan Bun?” Sambil bicara Kaka beringsut mendekatiku. Segaris senyum menghias bibirnya. Wajahnya kulihat seakan-akan tengah dibuatnya sepolos ia bisa. Ah keponakanku ini. Ia selalu pandai mengambil hati uwaknya.
Pertanyaan itu tidak serta merta kujawab. Jika anak-anak itu tahu, dada dan benakku tengah berperang sabil. Akal sehatku mengatakan jangan pernah memberi mereka bertiga, junkies-junkies kecil itu, kesempatan memperoleh kembali mainan sehari-hari yang suatu saat pasti berbalik membunuh diri sendiri. Apalagi setelah apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku tadi. Tetapi ya Tuhan, dadaku tak sepenuhnya bisa berdamai dengan kepalaku yang terbiasa berpikir lurus itu. Telah kusaksikan tubuh ringkih anakku tak ubahnya cacing terpanggang panas matahari. Melonjak, mengaduh dengan tubuh yang dari hari ke hari semakin kering.
Bila benda yang perlahan namun tak tertahan terus merebut cinta kasih anakku itu tidak ia peroleh, kesakitan yang sama, rintih dan erangan yang sama, tentu akan terulang lagi. Aku tak kuasa. Tidak untuk menyaksikan, bahkan memikirkannya sekalipun.
“Kalian bertiga berangkatlah. Tapi pastikan jangan sampai terlambat tiba di Bandung. Kami menunggu di sana,” kataku dengan suara dibuat tegar serta roman muka yang dicerah-cerahkan.
Ketiga anak itu, Bimbim, Kaka dan Ivan kontan bersorak. Sementara dengan sudut mata kulirik Ridho melengos kecewa.
Entah mendapatkan energi dari mana, Bimbim sontak terlonjak dari kursinya. Menghambur dan memelukku. Aku diciuminya dengan polah layaknya anak tujuh tahunan diberikan mainan impian. Aku mendengarnya mendesis tertahan, saat kedua tangannya erat memelukku.
“Terimakasih, Ma.”
Naluriku mengayak kalimat pendek itu. Ada kegembiraan yang pedih di situ.
*** [bersambung]