Site icon Jernih.co

Rock N Roll Mom: episode 6

Pengantar:

Jernih.co akan memuat cerita bersambung, sekadar mengajak kalangan yang sudah senior—paling tidak 40 tahun ke atas, bernostagia membaca cerber dalam koran-koran di masa jaya media cetak.

Pada kesempatan pertama, kami akan muat bersambung cerber ‘Rock N Roll Mom’, yang bercerita tentang masa-masa kebangkitan grup band Slank. Selamat mengikuti.

Bab III

I’LL NEVER GIVE UP

“KALIAN sebaiknya tidak mengulangi kelakuan seperti tadi itu,” kataku, sesampainya di kamar hotel.

Meski tetap terdengar tenang, anak-anak tahu aku marah. Aku tak pernah berteriak, bahkan saat kemarahan yang paling membutakan akal pikiranku sekalipun. Tetapi dari nada suara, intonasi dan dadaku yang turun naik, anak-anak tahu aku marah. Bahkan marah besar.

Apalagi jika mereka melihat raut wajahku. Satu hal yang pada saat-saat seperti ini tak seorang pun berani melakukannya. 

Kekecewaanku yang bertumpuk sejak berpisahnya kami di Lubuk Linggau, kini tak mampu lagi kubendung. Batu bata demi batu bata perasaan menenggang telah kutumpuk hingga terbentuk bendungan toleransi yang besarnya tak pernah bisa kuduga. Terus membesar seiring waktu. Bendungan itu telah terbangun begitu lama, hingga sejauh ini. 

Saat ini semua itu tak lagi mampu kutahan. Jebol semua setelah apa yang kusaksikan di Saparua tadi. Anak-anakku itu harus menerima perlakuan yang lain. Sesekali, seorang ibu memang wajib memarahi anak-anaknya!

Emang  kenapa, Ma?” kata Bimbim. Ia bertanya dengan lagak seorang kebingungan. Bimbim seorang yang berani bertanya di tengah keheningan kamar hotel itu.

Tetapi tetap, ia pun bertanya dengan menunduk.

“Bim, Kaka, mungkin Bunda tak sepenuhnya tahu apa yang kalian lakukan. Tak mau tahu bagaimana caranya. Tetapi Bunda juga bukan tidak tahu apa-apa sama sekali. Bunda tahu kalian make obat.   Kalau selama ini Bunda seolah membiarkan, tolong jangan pernah berpikir Bunda tidak peduli sama sekali. Bunda benar-benar ingin campur,” kataku. Kalimat terakhir itu benar-benar aku tegas.

“Hanya Bunda tahu, salah saja Bunda melangkah dalam urusan kalian itu, barangkali bahkan bukan kebaikan dituai. Mungkin kalian bisa saja akan tetap menjadi pecandu sampai akhirnya datang dua keniscayaan. Kalau kalian tidak ditangkap polisi, ya paling terbujur kaku sebagai mayat over dosis,” kataku. Tiba di bagian akhir kalimat itu aku tak lagi kuat. Tangisku meledak.

Ah, jangankan bicara kepoada mereka soal polisi dan keranda itu, memikirkannya saja selama ini sebenarnya aku tak sanggup. 

Kini anak-anak itu yang geger. Mereka salah tingkah. Wajah Bimbim kulihat mengiba dengan tangan tak henti mengusap-usap ujung hidungnya.  Ia kemudian mendekatiku, memeluk pundakku dari samping. Mengusap-usap pundakku seolah mencoba menenteramkan. Aku masih terisak, larut dalam kesedihan.

Seseorang kemudian ikut mendekat, mengusap pundakku dari sisi lain. Melakukan hal yang sama dengan Bimbim.

“Sudahlah Bunda, istirahat dulu. Ini akan lama kalaupun kita bicarakan. Kita akan bicara nanti di Potlot. Istirahat dulu ya Bunda. Semua lelah, dan otak kita pun tak lagi mampu berpikir jernih. Kaka sudah bicara dengan Bimbim. Kita membicarakan soal ini di Jakarta.” Kaka ternyata.

Lalu perlahan ia menuntunku. Bimbim ikut membimbingku di sisi lain. Mereka menuntunku masuk kamar yang disediakan untukku di hotel yang kami tempati.

“Kalian istirahat juga. Biar Bunda sendiri,” kataku. Melihat wajah-wajah lelah, bola mata yang terbenam dalam cekungan, aku sendiri lebih yakin kalau sebenarnya merekalah yang lebih butuh istirahat dibanding diriku.

“Ya Ma, Bimbim pamit,” kata Bimbim. Kaka mengucapkan hal serupa, mencium tanganku, keluar kamar dan menutup pintu. 

***

TING TENG. Kudengar bel pintu kamar berdering. Dengan malas aku beranjak dari tempat tidur. Kurapikan baju dan ciput yang kusut setelah terbaring tadi. Tak ada lagi sisa-sisa airmata. Aku hanya tidur-tidur ayam, dengan pikiran menerawang ke sana-sini.

Kulirik arloji di tanganku. Beberapa menit telah beranjak dari pukul satu dini hari. Bimbimkah? Tidak mungkin Slankers malam-malam begini ada yang berani mengetuk pintu, betapapun mereka perlu teman bicara untuk curhat.

“Siapa?” Kubuka pintu segaris kecil dengan rantai penahan belum kulepas dari tempatnya.

“Saya, Bunda.”

Ridho ternyata. Gitaris Slank itu segera masuk begitu pintu terkuak melebar.

“Tumben belum tidur?” tanyaku. Selain Abdee, aku mengenal Ridho sebagai personel Slank yang selain bersih dari narkoba juga disiplin beristirahat. Setiap kali selesai pentas, Ridho hampir bisa dipastikan berada di kamar dan segera tidur.

Ada beberapa pengecualian, memang. Biasanya itu terjadi bila Slank melakukan show di kota-kota dimana famili Ridho berdomisili. Bila tidak familinya itu datang menonton, biasanya Ridho yang akan menyambangi mereka. Jadwal Slank yang padat kadang memaksanya mengunjungi keluarga-keluarga jauhnya itu dalam waktu mepet. Usai show, misalnya. Sejak awal  ia bergabung dan Slank mulai kembali melakukan tur demi tur, aku mengagumi anak itu pada sisi ini: selalu antusias untuk menjalin dan mengekalkan silaturahmi.

“Bunda, aku ganggu ya. Boleh kan?” katanya. Raut wajahnya serius sekali. Tak pernah  ia bicara dengan lagak laku seperti itu.

“Nggak, Bunda belum tidur, kok. Ada apa, Rid?”

“Aku masih kepikiran yang tadi, di Saparua.”

Matanya berbenturan dengan pandanganku. Sorotnya kulihat berusaha menyelami rahasia apa di dalam bola mataku. Pandangan yang tajam dan menyelidik. Namun tetap tidak kehilangan kesopanan yang menjadi cirinya.

“Ya, bunda tahu.”

“Dan soal di Lubuk Linggau.”  Ridho menghentikan kalimatnya, seolah menakar-nakar sikapku atas apa yang ia kemukakan. Tatapannya tetap lekat pada mataku.

“Ya, soal Lubuk Linggau. Mengapa Rid?”

Aku mereka-reka arah pembicaraan Ridho, meski sudah jelas yang akan ia bicarakan adalah tentang kebiasaan teman-temannya.

“Aku mulai tidak kuat, Bunda.” Kalimatnya lirih. Ia mulai menunduk.  Perlahan aku mulai menemukan arah pembicaraan Ridho.

 “Aku terlanjur percaya bisa berkarier di musik. Aku serius dengan langkah yang kupilih ketika berani menjawab tantangan Mas Bimbim, tempo hari. Keyakinan itu ternyata tidak bisa kutanamkan dan pupuk sendirian. Aku memerlukan dorongan dari lingkungan. Dari Slank terutama.”

“Terus…”

“Bunda tahu, dari awal aku nyaris tidak mendapatkan itu, terutama akhir-akhir ini.” Ridho mengeluh.  

“Kita semua tak akan suka melihat yang akhir-akhir ini terjadi, Rid. Tetapi kalau masuk dengan cara-cara keras, Bunda yakin hanya akan menghasilkan perbenturan. Kamu tahu kuatnya rasa percaya diri Bimbim dan Kaka kan?” Aku memotong.

“Ya Bunda, aku mengerti dan sependapat. Hanya, sampai kapan kita akan membiarkan Bimbim dan Kaka merusak tidak hanya diri mereka sendiri, tapi juga Slank, Bunda? Slank, meski memang sejak awal dibangun oleh mereka berdua, saat ini sudah menjadi milik publik. Para Slankers sudah terlanjur mencintai Slank. Mencintai  Mas Bimbim, Kaka. Bunda lihat kan bagaimana hangatnya sambutan mereka di setiap kota? Aku tak ingin semua itu berantakan hanya gara-gara obat.”

Aku menatap matanya lekat-lekat. Aku tahu, apa yang dikatakannya tentang rasa cintanya pada Slank dan para Slankers bukanlah pemanis mulut. Di setiap kota yang kami kunjungi, Ridho selalu merespons hangat sambutan yang Slankers berikan. 

Ia selalu terlibat dengan mereka sepanjang ia sempat.

“Bunda, aku rasa Bunda akan sepakat, kita tak pernah tahu kapan saat yang tepat untuk kita masuk, sebelum tiba-tiba semuanya terlambat.”

“Jadi soal ini yang hendak kamu bicarakan, Rid?” tanyaku. “Kita telah berulang kali bicara tentang ini. Sering, baik di perjalanan show ataupun setiap ada kesempatan di Potlot setahun terakhir.”

“Ya Bunda, karena sejak setahun terakhir ini aku merasa kita harus melakukan sesuatu. Tapi kita belum pernah sepakat satu hal: kapan kita akan benar-benar all out memaksa teman-teman sembuh. Tahun ini pun aku sudah janji kepada diri sendiri, bila sampai akhir tahun kita belum mau berubah, janganlah sudah bisa berubah, mau berubah saja dulu Bunda, mungkin memang tempatku bukan di sini…”

“Maksudmu keluar, Rid?”

“Ya Bunda, walaupun aku tahu, rasa cinta kepada Slank para Slankers begitu besarnya.” Ah Ridho.

Anak yang baik itu kini mulai terbata-bata. Suaranya tak lancar, tercekat di tenggorokan. Aku melihat setitik dua air membual dari sudut matanya.

                                                ***

AKU masih bisa mengingat jelas kejadiannya. Kejadian yang juga menjadi latar belakang bergabungnya Ridho dengan Slank, 1996 dulu. Dua tahun lalu. Tahun yang juga mengawali keterlibatanku lebih kuat dengan Slank, tak hanya sebagai ibu dari satu personel yang menjadi motornya. Sebagaimana Ridho, awal keterlibatanku pun bisa dikatakan tak jauh-jauh dari urusan narkoba.

Tahun itu aku mulai mengetahui bahwa Bimbim dan Kaka adalah pemakai obat. Belakangan aku juga dengar Ivanka—saat itu baru setahun bergabung, juga terlibat obat setan itu meski tidak separah kedua  rekannya. Tetapi apa bedanya?

Toh dalam dunia permadatan, pemakai pemula dan junkies senior itu hanya dipisahkan persoalan waktu yang pada saatnya kian kabur. Pada titik yang tidak lama, posisi keduanya kongruen alias sama dan sebangun. Tidak lebih dari sama-sama pecandu. Apa yang berbeda bila peluang keduanya untuk mati atau ditangkap polisi pun tidak ada yang lebih baik?

Saat itulah aku merasa tak bisa lagi hanya diam berpangku tangan. Aku harus menjagai anakku. Aku harus pergi kemana ia pergi. Tentu saja, agar kehadiranku pada tempatnya, aku harus mau menangani dan terlibat di band ini lebih dari apa yang kulakukan sebelumnya.

1996 memang tahun yang menyedihkan. Masa-masa kehilangan, setelah sekian lama bergabung bersama, menuai berbagai cerita suka duka. Tahun itu, tiga—bahkan empat boleh dikatakan–personel pergi meninggalkan Slank. Tiga karena dipecat Bimbim, satunya datang, bermain dan akhirnya memilih pergi setelah Bimbim dan Kaka tak juga berubah dari ketergantungan mereka. Dan semua bermula dari benda terkutuk bernama putaw itu. [bersambung]

Exit mobile version