“Jika kita tidak tetap buka, anak-anak ini akan kelaparan,” kata Abdul-Zahir kepada The New Yorker. “Ancaman Covid-19 bagi sebagian orang tidak nyata. Yang nyata adalah ancaman kelaparan.”
PHILADELPHIA— Manakala pintu-pintu masjid di Indonesia tertutup untuk shalat Jumat, Muslim di Amerika Serikat masih bisa melaksanakan shalat siang berjamaah itu. Sebagian besar negara bagian di AS memang mengecualikan institusi keagamaan dalam upaya lockdown terhadap virus corona yang mereka lakukan. Pemerintah negara bagian kebanyakan menyerahkan keputusan kepada pemimpin institusi keagamaan untuk menutup rapat-rapat pintu mereka, atau tidak.
Itu pula yang membuat Idris Abdul-Zahir, 40, seorang imam masjid di West Oak Lane, Philadelphia, pada Kamis sore, 19 Maret lalu, pusing. Kepalanya masih dibebani pilihan-pilihan yang berkecamuk, apakah masjidnya, Masjidullah, harus dibuka sore berikutnya untuk layanan sholat Jumat, sementara pandemi virus corona kian bertambah ganas dan mematikan? Pilihan untuk buka atau menutup diri itu—dengan serenceng hal yang harus ia pertimbangkan di masing-masing opsi, tidaklah mudah.
Masjidullah hanyalah satu dari sekitar 70 masjid di Philadelphia. Masjid itu memiliki hampir seribu jamaah rutin, anggota komunitas mereka dengan beragam etnis dan kebangsaan. Masjidullah juga tuan rumah pusat penitipan anak untuk hampir dua ratus bocah, yang mereka sebut Masjidullah Early Child Care Academy, atau ‘Mecca’. Ada pula sebuah madrasah online untuk empat puluh siswa, yang disebut New Medina Institute; Pasukan pramuka perempuan dan laki-laki yang disebut Pramuka Alimah dan Jawala, serta program bantuan makanan berupa distribusi produk-produk segar kepada kaum miskin kota selama lebih dari 30 terakhir.
Pusat penitipan anak, yang telah ditutup awal April ini, menyediakan sarapan dan makan siang untuk semua siswa, banyak di antaranya adalah mereka yang tercatat dalam 12 persen anak-anak Philadelphia yang menghadapi masalah rawan pangan. Di tengah penutupan sekolah umum dan program lainnya, Masjidullah berusaha keras untuk terus memberi makan anak-anak tersebut. “Jika kita tidak tetap terbuka, anak-anak ini akan kelaparan,” kata Abdul-Zahir kepada The New Yorker. “Ancaman Covid-19 bagi sebagian orang tidak nyata. Yang nyata adalah ancaman kelaparan.”
Abdul-Zahir adalah pria berwajah bayi dengan mata yang seolah mengantuk, tumbuh di lingkungan kota Germantown. Orang tuanya membantu mendirikan Masjidullah di lingkungan yang didominasi warga Afro-Amerika di West Oak Lane, 40 tahun lalu. Abdul-Zahir adalah lulusan Universitas Temple dan Drexel, yang saat ini bertahan hidup dengan pekerjaan sebagai pengelola harian sistem IT untuk kota Philadelphia. Dia juga memiliki perusahaan produksi film, dan pada 2012 dia bekerja dengan Black Public Media untuk sebuah Web berjudul “Ask a Muslim,” di mana Muslim-Amerika menjawab pertanyaan-pertanyaan publik seputar keyakinan mereka.
“Begitu banyak orang bicara segala hal tentang Islam setelah 9/11,”kata Abdul-Zahir, “tetapi tidak ada yang benar-benar meminta jawaban dari Muslim kulit hitam.”
Selama dua tahun terakhir, ia menjabat sebagai asisten imam di Masjidullah, tetapi, pada pertengahan Maret, hanya beberapa pekan lalu, ia dilantik sebagai kepala imam. Kedatangan covid-19 mendorongnya ke posisi yang sama dengan banyak pemimpin agama, yang berusaha membimbing jemaat mereka melalui krisis ini. Di banyak tempat di seluruh dunia, pertemuan ibadat besar telah membantu menyebarkan virus. “Saya ditempatkan sebagai imam di sini untuk mengatasi masalah-masalah sulit ini,” kata dia.
Untuk bimbingan spiritual, Abdul-Zahir banyak meneladani Al-Quran dan Hadits, ucapan dan perilaku Nabi Muhammad. “Jika Anda mendengar wabah penyakit di suatu negeri, jangan memasukinya; tetapi jika wabah itu pecah di suatu tempat ketika Anda berada di dalamnya, jangan tinggalkan tempat itu,”kata Nabi Muhammad SAW, 1400-an tahun lalu.
Namun, di sisi lain Nabi Muhammad menekankan pentingnya doa Jumuah, ibadah Jumat. “Dalam Islam, wajib bagi pria untuk berkumpul pada hari Jumat untuk berdoa,” Abdul-Zahir berkata. Setelah dua conference calls dengan para anggotanya, dia merasa bahwa masjid tetap perlu dibuka untuk tempat orang-orang doa dan layanan pangan. “Saya mendapat dukungan luar biasa dari orang-orang yang ingin keluar,” kata dia. “Kami siap untuk mengambil tindakan pencegahan yang tepat, tetapi kami harus tetap terbuka. Jika kita tidak melakukannya, saya tidak tahu bagaimana orang-orang yang punya gaji bulanan akan bertahan hidup.”
Mengingat ruang masjid yang luas, ia yakin, setidaknya jarak enam kaki (sekitar 1,8 meter, bisa ia pertahankan untuk dijaga di antara jamaah. “Pada hari biasa, saya mungkin berjabat tangan dengan 100 orang lebih,” katanya. “Saya agak mengalami germophobe (ketakutan berlebihan terhadap kuman), jadi saya sudah menggunakan Purell.”
Pada 19 Maret, hanya ada 18 kasus paparan covid-19 di wilayah Philadelphia. Bisa jadi karena saat itu kurang pengujian dan banyak fakta bahwa karena tak menunjukkan gejala, maka tak terdata sebagai terpapar virus. “Bahkan jika saya kalikan sepuluh pun, itu masih hanya 180 di kota berpenduduk 1,5 juta orang,” dia bilang. “Setidaknya menurut saya, waktu itu belum waktunya untuk masuk bunker.”
Pagi berikutnya, di Facebook, Masjidullah memposting daftar tindakan pencegahan untuk layanan ini, termasuk “Cek suhu tubuh Anda sebelum shalat” dan “Jika mungkin, hindarilah jabat tangan dan pelukan.” Jika ada yang sakit, pengumuman itu berlanjut, mereka dipersilakan untuk tinggal di rumah dan menonton layanan di Facebook Live. (Dengan kepandaian IT-nya, Abdul-Zahir telah menyiarkan langsung layanan masjid selama setahun terakhir.)
Beberapa merasa bahwa dia membahayakan jamaahnya. Abdul-Zahir menerima pesan marah-marah dari Teresa Rollins, seorang mantan jamaah yang telah pindah dari daerah itu. “Pemerintah telah memerintahkan agar semua bisnis non-esensial ditutup dan jangan berkumpul lebih dari 10 orang! Skype layanan Anda online! Adalah tanggung jawab kita untuk meratakan kurva virus corona!” tulis Rollins.
Abdul-Zahir hanya menjawab,“Shalat Jumat sangat penting bagi kehidupan spiritual saya. Mereka yang ingin tinggal di rumah dan menonton melalui FB Live bisa melakukannya. Mereka yang ingin keluar dengan melakukan tindakan pencegahan yang tepat, juga bisa melakukannya. Tidak ada paksaan dalam agama.”
Minggu itu, ketika saya mengunjungi masjid, Janeen Bey, salah satu koki halal untuk pusat penitipan anak, sedang menyiapkan makanan dalam kantong makan siang kertas cokelat. Isinya ada apel, keripik kentang, dan roti isi salad ayam. “Saya melakukan ini dengan penuh syukur. Saya menantikannya setiap hari,” kata Bey, seorang wanita terhormat yang berdiri di belakang meja lipat di aula, memberi tahu saya. “Tapi aku akan sangat senang melihat semuanya kembali normal.”
Di dekatnya berdiri seorang guru agama Islam, kepala sekolah sekolah siber, dan kepala program ‘Pramuka Alimah’. Di sekitar mereka, selusin anak-anak antusias bermain tag atau memecahkan bungkus kantong keripik mereka sampai meletus dan berbunyi nyaring. Program makan siang halal (grab and go halal lunch programme) baru saja dimulai, dan hanya sekitar sepuluh keluarga yang dating mengambil makanan pada hari itu. Itu masih minggu pertama karantina, tambah Bey, dan orang masih punya makanan di dapur. Segera, ketika pendapatan mereka mengering, mereka tidak bisa tidak untuk datang dan mengambuil makanan gratis itu.
Saat waktu shalat Ashar tiba, sekitar 45 orang datang. Sheikh Anwar Muhaimin, seorang imam dari masjid tetangga, mempercakapkan tentang ketakutan yang mulai merebak di sekitar pandemic, serta arus perkiraan konstan tentang berapa banyak orang Amerika akan mati karena penyakit itu.
“Pada saat ini, kami tidak menyembah ilmu pengetahuan, kami tidak menyembah dokter, kami tidak menyembah statistik,”kata Muhaimin. Dia mengutip hadis terkenal, “Percayalah pada Tuhan, tetapi ikat dulu unta Anda,” yang mendesak orang-orang beriman untuk berdoa memohon bantuan Tuhan, tetapi tetap harus melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan.
“Kami menyembah Allah dan mengikat unta kami — Lexus kami,” katanya berkelakar dan tertawa. Usai shalat dia mengantar orang-orang keluar masjid. “Kami minta dengan lembut dan ramah, agar setelah salat jamaah segera bubar,”katanya. “Bukan masalah pribadi, saudara. Tidak ada pelukan hari ini. Tidak ada daps.” Muhaimin terlihat senang berkelakar.
Di tengah pandemi, para pemimpin agama berusaha mencari cara untuk melayani jamaah mereka tanpa membuat mereka terkena infeksi. Di Korea Selatan, lebih dari 60 persen dari 7.000 kasus negara itu pada awal Maret, setelah ditelusuri ternyata berawal dari Gereja Yesus Shincheonji, sebuah kelompok agama yang memiliki layanan besar, di Daegu, tempat penyebaran virus.
Di Malaysia, jumlah infeksi meningkat setelah 16 ribu orang menghadiri pertemuan massal di sebuah masjid dekat Kuala Lumpur. Untuk mengurangi risiko infeksi, masjid, sinagog, gereja, dan kuil di seluruh dunia membuat keputusan bersejarah untuk menutup pintu mereka. Di Yerusalem, Sinagoga Agung, yang menampung 10 ribu penyembah, telah ditutup. Demikian pula Gereja Makam Suci, yang konon berdiri di tempat Yesus disalibkan. Di Turki, semua masjid tak menggelar salat Jumat. Di Kuwait, seorang muazin, yang mengeluarkan panggilan untuk sholat dari menara masjid lima kali sehari, tidak lagi melantunkan hanya “Mari kita shalat!”. Dia sekarang menambahkan kata, “Shalatlah di rumahmu.”
Di AS, beberapa kelompok agama menolak menutup tempat ibadah mereka. Banyak yang percaya bahwa kebutuhan jemaat mereka untuk dukungan spiritual atau layanan social, jauh lebih mendesak daripada pandemi. (Seperti biarawan Michael Duffy, dari St. Francis Inn, sebuah dapur umum di kota, mengatakan kepada saya minggu lalu, “Saya merasa ada awan merah menuju Philadelphia, tetapi belum mencapai kita.”). Yang lain memiliki keberatan politik terhadap karantina: beberapa gereja evangelikal konservatif–tidak jelas berapa banyak, terus berkumpul, mengutip keraguan Donald Trump tentang risiko, dan juga hak konstitusional mereka. Solid Rock, megachurch yang berbasis di Cincinnati yang mengadakan penggalangan dana untuk Trump bulan lalu, menolak untuk ditutup; Mike DeWine, gubernur Partai Republik Ohio, baru-baru ini men-tweet, “Kami tidak memerintahkan organisasi keagamaan untuk tutup, tetapi pesan saya kepada semua orang adalah bahwa ini serius. Ketika Anda datang bersama, baik di gereja atau di mana pun—ini berbahaya.”
Untuk mencoba membatasi pertemuan seperti itu, Michigan telah mengecilkan semua pertemuan yang terjadi di luar rumah. Tennessee telah melarang pertemuan sepuluh orang atau lebih; Pendeta Greg Locke, dari Global Vision Bible Church, yang bermarkas di Mount Juliet, telah membuka gerejanya dan mengatakan bahwa ia sedang berkonsultasi dengan para pengacara tentang upaya perjuangan untuk memaksanya ditutup. Sebagian besar negara bagian, termasuk New York dan Pennsylvania, telah memerintahkan penutupan semua bisnis yang tidak penting tetapi mengecualikan lembaga keagamaan. Gubernur Pennsylvania, Tom Wolf, baru-baru ini mengumumkan bahwa ia “mendorong para pemimpin agama untuk melakukan kebijaksanaan untuk mengurangi penyebaran penyakit.”
Beberapa pemimpin agama sedang merancang cara-cara kreatif untuk berhubungan dengan jemaat mereka. Pada suatu Minggu pagi baru-baru ini di luar St. Luke, sebuah Gereja Episkopal di Germantown, Bunda Lorna Williams, seorang pastor pendamping, memegang kotak wafer dari kuningan, menunggu para pengendara yang datang dan pergi untuk berdoa bersamanya. Gereja telah mengatur sistem seminggu sebelumnya, untuk menghindari pertemuan besar.
“Kami melakukan ritual abu pada Rabu Abu,” katanya. Dia mengenakan jubah hitam panjang di balik jubahnya. “Kita perlu mencintai Tuhan lebih dari sebelumnya,” katanya. Sebuah pickup hitam Honda berhenti, dan Bunda Lorna Williams bergegas ke jendela sisi pengemudi. “Hai manis!” dia memanggil pengemudi, seorang anggota paroki yang sudah lama. Dia menyerahkan wafer melalui jendela mobil. “Tubuh Kristus,” katanya.
Rekan Bunda Lorna, Pastor Jason Peter, menunggu di trotoar. “Saya telah membuat orang-orang menatap saya dengan curiga,”katanya kepada saya. “Kami tahu kami mengambil risiko, tetapi sakramen sangat penting.” Empat anggota paduan suara berdiri, bernyanyi di tangga gereja, sementara rektor, David Morris, yang telah berada di gereja itu sejak 2011, berdiri di samping, mengusir mereka dari satu sama lain sehingga mereka menjaga jarak sosial saat mereka bernyanyi.
Tetapi minggu berikutnya, dengan kasus-kasus yang meningkat, Morris memutuskan bahwa bahkan persekutuan drive-through tidak lagi mungkin.
“Risiko menyebarkan virus terlalu besar,” katanya kepada saya. Untuk alasan yang sama, gereja telah menutup program nutrisi yang melayani sembilan ribu paket makanan setahun. “Sangat frustasi, karena saya tahu orang-orang lapar, tetapi kami harus memastikan kami melakukan bagian kami agar tidak menyebarkan virus,” kata Morris. “Ini seperti berjalan di atas tali.”
Ibadah hanyalah salah satu peran yang dimainkan organisasi keagamaan di komunitas mereka; banyak yang mulai memusatkan perhatian pada upaya memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Kelompok kerja gereja sekarang membuat masker; sinagog berlomba mengantarkan kantong makanan.
“Ada kebutuhan yang sangat nyata untuk istirahat dan melakukan koneksi spiritual,” kata Pendeta Fletcher Harper, direktur eksekutif GreenFaith, sebuah organisasi antaragama yang berdedikasi untuk memerangi krisis iklim, kepada saya. “Tapi kemudian, cukup cepat, ada keinginan untuk terlibat dalam tindakan praktis.”
Dengan cara ini, dia merasa, ada hubungan paralel antara pandemi dan krisis iklim: “Segala sesuatu yang normal terganggu dan memaksa orang untuk terhubung satu sama lain dengan cara yang jauh lebih dalam daripada saat normal.”
Dia mencatat bahwa GreenFaith mengadaptasi metode pengorganisasiannya untuk membantu orang lain di tengah bencana. Pada seruan pengorganisasian baru-baru ini tentang Zoom, Pendeta Leo Woodberry, seorang pemimpin hak-hak sipil yang menutup operasi Ku Klux Klan di Carolina Selatan pada 1980-1990-an, mengatakan, “Orang beragama selalu menjadi garda depan, titik tombak, ketika ada kehancuran dan keputusasaan.”
Dia menambahkan bahwa anggota dapat mencoba menemukan cara kreatif untuk membantu. Seorang peserta mencatat bahwa, jika tempat penampungan tunawisma ditutup, mereka dapat mencoba meninggalkan pembersih tangan, tisu, dan handuk di lokasi yang ditentukan. Salah satu cara sederhana untuk membantu adalah menjangkau tetangga yang rentan dan bertanya apa yang mungkin mereka butuhkan. Dengan cara yang nyata, ia melanjutkan, virus itu mengungkapkan keterkaitan manusia: “Kelelawar kecil di Cina mempengaruhi kita semua.”
Pada hari Jumat, 27 Maret, gedung Masjidullah sebagian besar ditutup. Sekarang ada lebih dari 700 kasus covid-19 yang dikonfirmasi di Philadelphia. Masjid tidak lagi menjadi tempat sholat harian, karena membersihkan karpet empat kali sehari terbukti merupakan pekerjaan yang berat. Tapi masjid masih membagikan makanan kepada mereka yang membutuhkan.
Pada siang hari, Bey dan yang lainnya mulai menyerahkan makan siang halal dalam kantong ke pusat penitipan anak. Sumbangan meningkat, jadi kantong kertas cokelat itu sekarang diisi dengan kotak jus tambahan dan sepotong kue. Para relawan berusaha menutup pintu, sehingga tidak ada yang bisa memasuki gedung. Tiba-tiba orang-orang datang: seorang nenek dan ketiga cucunya pergi untuk mengambil lima kantong makan siang; seorang ibu dan anak perempuan mengambil tiga; kelompok yang lebih besar mengambil tujuh untuk dibagikan kepada tetangga yang membutuhkan.
Abdul-Zahir telah memutuskan untuk mengadakan ibadah Jumat lainnya. Masjid-masjid di Arab Saudi ditutup untuk jamaah. Kota-kota Saudi berada di bawah jam malam 24 jam. Para sarjana di Al-Azhar, Mesir, telah mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa itu adalah tak jadi soal untuk menunda sholat Jum’at, yang dikutip Dewan Fiqih Amerika Utara, sebuah badan ilmiah terkemuka tentang Hukum Islam di Amerika Serikat.
“Tidak hanya tidak ada dosa dalam melakukan itu, tetapi juga berdosa untuk melanggar peraturan semacam itu dan membawa risiko bagi diri sendiri dan orang lain,” bunyi fatwa Dewan Fiqh. Saffet Catovic, seorang ulama di Universitas Drew dan penasihat Dewan Fiqh, mengatakan kepada saya, selama periode banjir bandang dalam masa hidup Nabi Muhammad, ia mengarahkan orang untuk berdoa di rumah mereka daripada mempertaruhkan nyawa mereka dengan datang ke masjid.
Tetapi beberapa imam masih berpendapat bahwa kewajiban untuk melakukan shalat Jumat melebihi risikonya. Beberapa ulama di Pakistan, yang menentang perintah pemerintah, terus menjadi tuan rumah pertemuan massal. Jamaah Abdul-Zahir mendesaknya untuk mengadakan pertemuan. Dia baru-baru ini menghadiri panggilan konferensi antara Departemen Kesehatan dan para pemimpin agama, di mana para pejabat telah menegaskan kembali bahwa organisasi keagamaan diizinkan untuk terus beroperasi.
“Ini bukan hanya bagian doa,” kata Abdul-Zahir. “Kami menyediakan lebih banyak makanan dari sebelumnya.” Dia tidak benar-benar merasa bahwa ketakutan orang-orang dan peringatan pemerintah terlalu banyak, tetapi dia belum percaya bahwa virus itu adalah masalah yang paling mendesak bagi beberapa anggota komunitasnya. “Saya ingin memastikan kami mengikuti protokol,” katanya, “tetapi orang-orang masih sangat ingin datang.”
Sekitar pukul 1:15 malam, sekitar 40 pria, mulai usia dua puluhan hingga tujuh puluhan, mulai berdatangan ke Masjid Masjidullah untuk berdoa. Seorang lelaki tua, yang menderita batuk yang tampak mengganggunya, tetap berada di lobi, minum air. Abdul-Zahir berbicara kepada jemaat tentang covid-19.
Di tengah penutupan sekolah umum dan program lainnya, Masjidullah telah berusaha keras untuk terus memberi makan anak-anak warga sekitar. Pagi berikutnya, saya menerima SMS dari Abdul-Zahir. “Selamat pagi,” tulisnya. “Masjidullah telah memutuskan untuk menutup untuk shalat Jumuah sampai pemberitahuan lebih lanjut.”
Saya menelepon untuk bertanya kepadanya apa yang telah terjadi sejak dia memberikan sambutannya pada sore sebelumnya. Dia mengatakan dirinya mendengar pria dengan batuk rejan tadi telah menakuti para jamaahnya. “Itu membuat orang gugup,” katanya.
“Begitu orang-orang gugup, masyarakat memanggil saya untuk menyampaikan keprihatinan mereka.” Dia juga semakin khawatir tentang pendekatan virus: sekarang ada hampir 100 kasus yang dikonfirmasi dalam tiga blok di sekitar masjid.
“Orang-orang di sekitar kami juga terpapar sekarang, dan mereka telah memberi kami informasi bahwa saya bodoh untuk tidak bertindak.” Makanan grab and go akan berlanjut, katanya, setidaknya sampai pertengahan April. Mereka akan mengirimkan hasil bumi segar ke rumah-rumah, selama ada sukarelawan. Dan mereka masih akan mengadakan shalat Jumat, dan streaming melalui Facebook Live.
Dia mengatakan kepada saya, “Selama ada tiga orang yang berkumpul, itu adalah berjamaah.” Minggu berikutnya, Gubernur Wolf meminta Abdul-Zahir untuk menemukan bentuk-bentuk ibadah alternatif selama pandemi. “Saya mendorong setiap pemimpin agama untuk mempertimbangkan bahaya yang tidak terlihat ini, virus Covid-19, di tempat mereka dan merekomendasikan tindakan yang akan membuat jemaat mereka tidak berada dalam bahaya,”kata Gubernur Wolf dalam siaran pers. “Karena ada tertulis dalam Al-Quran bahwa menyelamatkan satu kehidupan adalah seolah-olah Anda telah menyelamatkan seluruh umat manusia.” [Eliza Griswold/The New Yorker ]