Jernih.co

Seharian Berkeliling Kyiv Hanya dengan Rp 4 Ribu

Saya sempat terdiam, mengheningkan cipta, sebagai bentuk hormat saya kepada cita-cita yang mulia. Terutama kepada mereka, sosok-sosok yang berani memperjuangkannya 

KYIV— Jika pembaca sempat bingung, mana ejaan yang benar untuk ibu kota Ukraina, apakah ‘Kiev’ atau ‘Kyiv’, hal itu wajar. Pun bila ada pembaca yang sempat menemukan ejaan ‘Kiow’ untuk kota besar ketiga di seluruh wilayah Uni Soviet di masa lalu itu.

Menunggu bus kota di halte depan Stadium Olimpiyskiy

Sumber-sumber bahasa Inggris awal menggunakan berbagai nama untuk kota itu, termasuk Kiou, Kiow, Kiew, Kiovia. Pada salah satu peta berbahasa Inggris tertua untuk wilayah ini, ‘Russiae, Moscoviae et Tartariae’ yang diterbitkan Penerbit Ortelius (London, 1570) nama kota itu dieja Kiou. Pada peta 1650 yang dibuat Guillaume de Beauplan, sebutan untuk kota itu Kiiow, dan wilayahnya bernama Kÿowia. Dalam buku ‘Travels’, karya Joseph Marshall (London, 1772), kota itu disebut Kiovia. Bentuk Kiev sesuai dengan ortografi dan pengucapan Rusia [ˈkʲijɪf], ketika Kiev menjadi bagian Kekaisaran Rusia.

Kata ‘Kiev’ pertama digunakan dalam media cetak berbahasa Inggris, adalah pada 1804 dalam ‘Peta Baru Eropa’  dari John Cary yang diterbitkan di London. Juga dari perjalanan Mary Holderness yang ia terbitkan dalam buku ‘ Rusia Baru: Perjalanan dari Riga ke Krimea melalui Kiev’, yang terbit pada 1823. Kamus Bahasa Inggris Oxford menyertakan Kiev dalam kutipan pada tahun 1883, dan Kyiv pada tahun 2018.

Baru belakangan, pemerintah Ukraina meminta Wikimedia Foundation untuk mengganti kata ‘Kiev’ ke ‘Kyiv’. Kyiv sendiri lebih merupakan versi romanisasi dari nama kota yang digunakan di Ukraina modern. Setelah kemerdekaan Ukraina tahun 1991, tepatnya Oktober 1995, pemerintah Ukraina memperkenalkan aturan nasional dalam transliterasi nama geografis ke dalam alfabet Latin. Nama Ukraina ‘Київ’ pun diromanisasi sebagai Kyiv. Aturan-aturan ini diterapkan untuk nama dan alamat tempat, nama pribadi di paspor, rambu jalan, dan sebagainya.

Di depan Kantor Walikota Kyiv, tempat Walikota Vitally Klitscho berkantor

Pada tahun 2018, Kementerian Luar Negeri Ukraina meluncurkan kampanye online di seluruh dunia yang disebut #CorrectUA mempromosikan penggunaan ejaan nama tempat resmi Ukraina saat ini. Asal tahu saja, Asosiasi Transportasi Udara Internasional, IATA, baru memperbarui ejaannya dari Kiev ke Kyiv, itu pada Oktober 2019, alias belum lagi enam bulan lalu!

Jadi, pada saat saya datang ke kota itu tepat 2 Januari lalu, aneka nama itu ada pada buku, pamflet, brosur pariwisata, serta literatur lain yang saya bawa. Membuat saya bingung? Tidak. What is in a name–bolehlah saya sesekali menyitir Shakespeare, bila kota yang akan saya datangi, ya itu-itu juga!

Agar benar-benar merasa menjadi warga Kyiv, saya, istri, rekan saya Amir dan istrinya, sengaja tak hendak berkeliling kota dengan taksi, apalagi kendaraan pribadi. Taksi, selain mahal, juga susah sekali ditemukan. Tepat sebagaimana dugaan saya di hari pertama datang, saat mencermati perjalanan dari Bandara Internasional Boryspil ke penginapan: jalanan lengang tanpa taksi. Ada memang taksi online, Uber, tapi tampaknya jumlahnya sangat terbatas. Rasanya pasti jauh di bawah jumlah taksi online di Purwokerto, apalagi—katakanlah, Bandung, Jawa Barat!

Kami bisa memakai transportasi publik yang lalu lalang dalam frekuensi cepat, mulai dari kereta bawah tanah (Metro), bus kota, trem, juga kereta kabel (funicular). “Paling tidak, di sini sih naik Metro itu harus,” kata Alan Maulana Al-Kautsar, seorang mahasiswa Indonesia yang tengah mengambil gelar sarjana di National Aviation University, Kyiv, yang berbaik hati menjadi penunjuk jalan kami.  “Kyiv Metro termasuk subway terdalam di dunia, sayang bila tak mencobanya.”

Para komuter sedang antre menunggu giliran terangkut funicular

Karena sedang libur, putri Dubes Indonesia untuk Ukraina, Georgia dan Armenia Yuddy Chrisnandi–Ayesha Fatma Nadhira, ikut dalam rombongan kecil itu.

Semua angkutan umum di Kyiv menetapkan harga tiket yang sama, delapan Hryvnia, kurang lebih Rp 4.000 untuk ‘sekali jalan’. Harga itu sama, baik di bus kota, trem, metro maupun funicular alias ‘kereta kabel’. Pada hari keempat kami wara-wiri di kota Kyiv itu, entah sengaja atau tidak, semua moda transportasi umum itu kami coba.

Usai sarapan lezat ala Indonesia yang dimasak chef Wisma Duta, Putu Mahayasa, kami berjalan menembus udara dingin menuju halte bus. Jam tangan saya menunjukkan pukul 09.15. Namun karena hari Sabtu,  jalanan masih lengang. Saat bertemu papan digital penunjuk cuaca, saya melihat angka -3 derajat Celcius tertera di sana. Pantas saja saya merasa harus menutup wajah dengan syal karena tiba-tiba muka terasa perih.

Kami hanya perlu menunggu sekitar tiga menit sampai sebuah bus besar bercat kuning datang. Meski gerakan mereka cepat, orang-orang yang naik sama sekali tak mengesankan saling bersicepat masuk untuk berebut tempat duduk. Istri saya kebagian bangku, tetapi saya memilih memberikan kursi kepada seorang ibu yang dalam penglihatan saya mungkin sudah berusia sekitar 65 tahunan.

Saat kondektur datang, saya segera membayar dengan 20 Hryvnia yang telah saya persiapkan. Saya acungkan ‘salam dua jari’, kode victory atau apalah namanya, kepada kondektur—seorang wanita usia 60-an tahun, untuk mengatakan saya bayar untuk berdua. Diulurkannya empat keping mata uang pecahan 1 Hryvnia sebagai kembalian, lalu diberikannya dua lembar tiket kecil. Ukurannya hampir sama dengan tiket bus Damri di Kota Bandung pada era 1990-an, hanya kertasnya jauh lebih baik.

Пожалуйста, помогите там,” kata dia, menunjuk sebentuk paku yang menempel di tiang besi pegangan bus. Karena sebelumnya Alan sudah bercerita, mudah saja saya lakukan instruksi itu. Saya masukkan tiket yang sudah dibolongi itu ke dalam saku. Bukan buat jaga-jaga ada pemeriksaan, seperti kata Alan. Ini sih buat kenang-kenangan, dan memang saya simpan rapi.       

Meski tujuan kami adalah Maidan Square, tempat terjadinya Revolusi Euromaidan pada 2014 lalu, karena kami harus turun transit di Halte Olimpiyskiy, kami pun mengunjungi Stadium Olimpiyskiy meski sebentar. Hanya agar teman saya Amir bisa berfoto-foto. He he…

Di sekitar stadion besar di tengah kota itu, memang ada stasiun Metro. Kami pun turun ke stasiun bawah tanah lewat escalator yang jalannya akan terasa sangat cepat untuk ukuran orang kita. Di loket saya membayar 20 Hryvnia untuk dua token plastik kecil dan ringan yang akan jadi pembuka pintu menuju peron. Oh ya, ad acara antre yang menarik di Kyiv. Meski Anda datang berempat, misalnya, tak boleh Anda sendirian yang mengantre. Harus keempat anggota rombongan, meski akhirnya hanya Anda sendiri yang membeli dan membayar untuk empat tiket itu. Kembali, saya mendapatkan kembalian empat Hryvnia. 

Para pelancong menikmati sore di St Michael Square

Benar kata Alan, Metro Kyiv memang mengesankan. Tak hanya jauh sangat dalam, dinding sepanjang selasar dan jalur metro pun penuh dengan mural-mural yang artistik. Bahkan di Stasiun Zoloti Vorota—tempat saya terguling koprol di eskalator curam 40-an derajat sepanjang 100 meter gara-gara pusing, terdapat lukisan-lukisan mozaik yang menggambarkan sejarah moyang orang-orang Kyiv, Kerajaan Kievan Rus. Konon seluruhnya ada  80 lukisan, saya menikmati sekitar lima atau enam di antaranya langkah-langkah perjalanan sebelum naik metro.

Metro Kyiv adalah sistem transit cepat pertama di Ukraina, ketiga di Uni Soviet setelah Moskow dan St. Petersburg. Meski sudah direncanakan sejak 1884 dan pembangunannya dimulai di awal abad 20, fluktuasi sejarah yang mempengaruhi Ukraina—terutama kondisi politik Uni Sovyet, perang dunia, dll, membuat pembangunan selesai di akhir 1950-an. Pada 6 November 1960, Kyiv Metro pun diresmikan untuk dipergunakan. 

Metro memiliki tiga jalur dengan total panjang 67,56 km dan 52 stasiun. Setiap hari rata-rata terangkut 1,331 juta penumpang. Pada 2011 lalu, metro mengangkut sekitar 519 juta komuter.

Saat sampai di Meidan Square, entah mengapa hati saya seketika ngungun. Mungkin karena di sisi-sisi lapangan, terutama di selasar belakang Monumen Pendiri Kyiv, masih terlihat beberapa karangan bunga segar yang tampak diletakkan orang untuk menghormati mereka yang—setidaknya pada 2014 dan sebelumnya, meninggal dalam perjuangan untuk membangun Ukraina yang lebih baik. Saya sempat terdiam, mengheningkan cipta, sebagai bentuk hormat saya kepada cita-cita yang mulia. Terutama kepada mereka, sosok-sosok yang berani memperjuangkannya. 

Pada 2014 lalu, Ukraina nyaris terbelah. Saat itu Ukraina terpecah antara mereka yang menginginkan bebas sepenuhnya dari Rusia, dengan kelompok yang justru ingin tetap menyatu sebagai bagian dari Rusia. Gerakan yang awalnya hanya berupa protes itu berkembang menjadi kerusuhan, nyaris terjerembab sebagai perang saudara. “Tak urung sekitar 130 orang tewas, 18 di antaranya polisi, dalam momen yang paling patriotik bagi kami,” kata Yura, salah seorang sopir, staf lokal di KBRI Kyiv, saat saya minta bercerita sedikit.

Saat kami berkeras meminta Alan dan Pak Syafrizal Rambe mengantar kami ke Katedral St Michael, kami pun berkesempatan mencoba moda transportasi lain: funicular alias—gampangnya, kereta kabel.  Karena harga tiket yang sama, kali ini saya merasa agak ‘rugi’. Bayangkan, naik bus kota atau Metro sekian puluh km, bisa muter-muter sampai mules, kita hanya dibebani biaya delapan Hryvnia (Rp 4.000), kini untuk jarak 238 (meski memang menanjak) dengan waktu tempuh tiga menit, kami harus membayar dengan harga sama!

Tetapi transportasi itu benar-benar membuat saya kagum. Bayangkan, saat para priyayi dan ambtenaar pribumi di Indonesia—bahkan mungkin pejabat menengah pemerintah Hindia Belanda, masih memakai kereta sapi, gerobak kerbau atau delman untuk bepergian, di Kyiv orang-orang sudah naik mesin transportasi semacam ini! Funicular memang dibangun sekitar tahun 1902-1905. Kereta itu setiap hari membawa orang dari stasiun St Michael di Uppertown, melintas Bukit Volodymyrska yang curam hingga sampai di Stasiun Podil di tepi Sungai Dnieper. Setiap hari ada 10 ribu hingga 15 ribu orang menggunakan kereta ini, atau rata-rata 2,8 juta orang per tahun.

Karena para ibu merasa masih harus membeli beberapa pernik-pernik kecil, Alan membawa kami ke kawasan Andriyivskyy. Untuk itu, kami memilih naik trem. Ini moda transportasi yang lebih uzur lagi. Di Kyiv, jalur trem mulai digunakan sejak 1892, menjadi yang pertama di Kekaisaran Rusia, serta yang ketiga di dunia Berlin Straßenbahn dan trem Budapest. Sistem trem Kyiv saat ini merentang sepanjang 139,9 km, dengan 21 rute dan menggunakan 523 mobil trem.

Di depan Golden Gate, pintu masuk benteng masa lampau di Kota Kyiv

Bukan pertama kalinya kami datang ke lokasi penjaja jalanan, tempat para pelancong menemukan segala macam benda seni dan kerajinan Ukraina ini. Sebelumnya kami pernah datang, di hari pertama, malah.Ada banyak penjual matryoshka– boneka ala Rusia yang beranak-pinak itu, set catur dari beragam bahan dan bentuk, ikon-ikon keagamaan terutama dari Kristen Ortodoks, pin-pin dari zaman Sovyet, pakaian tradisional Ukraina (Vyshyvanka), topi bulu binatang, syal tenun dan bulu, juga mace bulava atau penggada tradisional yang juga menjadi simbol kekuasaan di Ukraina. Pada kunjungan pertama, saya membeli beberapa pin zaman Lenin, beberapa ikon untuk teman-teman yang beragama Kristen, dan mace bulava dari bahan kayu Alder entah untuk menggetok siapa.

Tetapi ya, begitulah di negeri orang. Serasa semua ingin dibawa pulang kandang. Kami pun kembali mengaduk-aduk kantong, mencari Hryvnia, untuk penukar dengan barang-barang yang di Cibinong mah tak ada. [ ]

Exit mobile version