Tanaman dan hewan yang paling awal didomestikasi oleh manusia adalah gandum pada tahun 9000 SM. Menyusul kemudian kacang polong dan kacang India sekitar tahun 8000 SM, pohon zaitun pada 5000 SM, kuda pada 4000 SM, dan anggur pada 3500 SM. Sementara unta dan kacang mete didomestikasi baru pada tahun 300 SM.
Jernih.co — Salah satu adegan di penghujung film 10.000 BC menggambarkan seseorang kepala suku berkulit hitam memberikan benih pada sang tokoh utama, D’Leh. Sambil memberi benih itu, ia berkata bahwa “benda” itu dapat memberi makan orang-orang.
Sebagaimana judulnya, latar waktu film ini adalah 10.000 SM. Film besutan Roland Emmerich ini mengisahkan perjuangan tokoh D’Leh menyelamatkan penduduk komunitasnya dari perbudakan oleh sebuah kerajaan di mana rajanya mendaku sebagai tuhan.
Meski fiksi, namun terdapat beberapa data sejarah yang dapat dilacak dalam film produksi tahun 2008 ini. Salah satunya, yakni tentang awal mula kemunculan budaya bercocok tanam atau Revolusi Pertanian.
Dalam salah satu bukunya yang terkenal, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, sejarahwan asal Israel, Yuval Noah Harari, menuliskan bahwa pergeseran cara hidup manusia dari berburu-mengumpulkan ke bercocok tanam terjadi pada kurun waktu 10.000 tahun SM.
Menurutnya, sejak awal kemunculan sekitar 100.000 tahun SM hingga sekitar 10.000 tahun SM, Homo Sapiens terbiasa hidup dengan cara berburu hewan dan mengumpulkan buah-buahan dan tumbuhan lainnya.
Pola hidup seperti ini menjadikan manusia tidak tinggal menetap (nomaden). Jika sumber makanan di satu wilayah habis atau menipis, para pemburu-pengumpul ini akan berpindah ke tempat lain yang sumber makanannya masih melimpah.
Dan mereka akan kembali ke tempat asal mereka pada suatu waktu ketika sumber makanan di sana telah melimpah kembali. Atau mereka bermigrasi ke suatu tempat yang benar-benar baru dan tidak pernah kembali.
Dari Afrika Timur, tempat di mana manusia moderen pertama berasal, kebiasaan berburu-mengumpulkan itu menyebar secara berurutan ke Timur Tengah, Eropa, Asia, Ausralia, dan Amerika seiring dengan migrasi mereka.
Ketika Manusia Mulai Bercocok Tanam dan Memelihara Ternak
Pada kurun waktu 9500-8500 SM di wilayah perbukitan Turki bagian tenggara, Iran bagian barat, dan Timur Tengah bagian timur (Masyriq), manusia mulai bercocok tanam dan beternak. Tidak semua tumbuhan dan hewan bisa dijinakan atau didomestikasi. Maka, hingga saat ini hanya spesies tertentu yang dapat dibudidayakan manusia.
Yang paling awal didomestikasi adalah gandum, yakni pada tahun 9000 SM. Menyusul kemudian kacang polong dan kacang India sekitar tahun 8000 SM, pohon zaitun pada 5000 SM, kuda pada 4000 SM, dan anggur pada 3500 SM. Sementara unta dan kacang mete didomestikasi baru pada tahun 300 SM.
Harari mengingatkan bahwa domestikasi ini tidak terjadi di satu tempat kemudian patalepa ke tempat lain. Ia memberi contoh, ketika orang-orang di Amerika Tengah mendomestikasi jagung dan buncis, mereka sama sekali tidak tahu bahwa orang-orang di Timur Tengah telah mendomestikasi gandum dan kacang polong.
Faktor apa yang menyebabkan manusia beralih pola dari pemburu-pengumpul ke bercocok tanam dan berternak, baik Harari maupun sejarahwan lain belum bisa memberi jawaban pasti.
Padahal, menurut Harari, Revolusi Pertanian ini tidak menjadikan kehidupan manusia lebih baik ketimbang berburu dan mengumpulkan. Bahkan, ia menambahkan, manusia menjadi “terjajah” olehnya karena harus menetap dan mengurus tanaman dan ternak.
Ketika masa berburu dan mengumpulkan, manusia selalu menjalani hari dengan cara yang berbeda. Hari ini menangkap kijang dan mengumpukan buah apel, sementara besok berburu kelinci serta mencari jamur yang aman dikonsumsi.
Harari berpendapat, pola semacam ini justru lebih menyehatkan dan relatif lebih aman dari bahaya kelaparan karena tidak ada ancaman gagal panen akibat serangan hama, bencana alam dan cuaca buruk.
Pada masa itu, manusia tidak mengenal istilah “makanan pokok” sebagaimana nasi bagi orang Indonesia bagian barat atau gandum bagi masyarakat Timur Tengah. Para pemburu-pengumpul memakan lebih banyak ragam makanan dan karenanya, kebutuhan nustrisi alami lebih tercukupi daripada para petani dan peternak.
Revolusi Pertanian memang menyebabkan persediaan makanan melimpah. Namun, hal ini tidak berarti makanan yang melimpah itu mengandung gizi yang lebih baik dari pada yang diperolah masyarakat pemburu-pengumpul dari hasil tangkapan mereka. Harari mengingatkan, manusia, pada dasarnya, adalah “kera” omnivora yang berarti pemakan segala, bukan pemakanan nasi saja, gandum saja, atau sagu saja.
Hegemoni Revolusi Pertanian
Selain mengubah cara memperolah makanan, Revolusi Pertanian juga berdampak pada tatanan masyarakat yang mana dampaknya masih terasa hingga zaman ini. Karena diolah, tanah berubah statusnya dari yang asalnya bukan milik siapa-siapa atau sebatas wilayah teritori berubu menjadi properti atau harta milik perorangan.
Para pemilik tanah kemudian menjadi kelas elit penguasa. Sementara mereka yang tak memiliki tanah menjadi kelas pekerja. Kelas-kelas sosial berdasarkan kepemilikan tanah ini merupakan cikal bakal lahirnya negara sekaligus cikal bakal adanya perang memperebutkan sumber daya.
Penelitian antropologis dan arkeologis, tulis Harari, menunjukan bahwa dalam masyarakat petani-peternak yang sederhana seperti desa kecil atau suku, 15 persen kematian disebabkan oleh kekejaman manusia.
Salah satu suku petani di Papua masa kini, yaitu suku Dani mengalai tindak kekerasan sehingga menyebabkanterjadinya kematian laki-laki sebesar 30 persen. Sementara suku lainnya di Papua, Enga, punya persentase yang lebih besar untuk kasus serupa, yakni 35 persen. Bahkan, sekitar 50 persen masyarakat Waorani di Ekuador meningal akibat kekerasan yang dilakukan oleh manusia lain.
Data lainnya yang dipaparkan Harari adalah perbandingan kondisi masyarakat di sekitar oase Yerikho di Palestina antara tahun 13.000 SM dan 8500 SM. Pada tahun 13.000 SM, alam di sana dapat menyokong hidup satu kawanan pemburu-pengumpul yang terdiri dari lebih kurang seratus orang. Mereka hidup dengan ketercupan gizi dan realtif sehat.
Sementara pada tahun 8500 SM, ketika masyarakat mulai bercocok tanam dan beternak, daerah itu telah berubah menjadi desa yang padat. Harari menulis bahwa sekitar seribu orang hidup di sana sebagai petani dan peternak dengan gizi yang buruk dan berbagai penyakit.
Revolusi Pertanian telah mengubah cara manusia hidup, memandang alam dan sesamannya. Revolusi ini terus berdampak hingga kini di zaman moderen. Pertanian dan peternakan kini dikerjakan dengan teknologi moderen di mana tenaga manusia semakin tak dibutuhkan. [*]