Saat Resi Wiyasa memasuki kamar Ambika, saking takutnya Ambika menutup matanya sehingga lahirlah seorang anak buta, hitam, dan kuat, yang diberi nama Dastarata (artinya: pewaris kerajaan). Saat Resi Wiyasa memasuki kamar Ambalika, saking terkejutnya Ambalika terbebalak dan pucat pasi sehingga lahirlah anak yang pucat, putih, dan lemah, yang diberi nama Pandu (artinya: pucat pasi).
Oleh : Zaenal Muttaqin
JERNIH– Inilah kisah leluhur Kurawa dan Pandawa, penjelmaan dari kebutaan dan keterpanaan, kegelapan dan cahaya. Resi Wiyasa, aktor sekaligus pencipta kisah ini, menuliskan “Mahabharata”.
(1) Uparichara Vasu
Ada sebuah kerajaan bernama Cedi yang didirikan Dinasti Yadawa. Atas perkenan Dewa Indra, Uparichara Vasu putra dari Kerajaan Kuru merebut kerajaan Cedi dan berkuasa di sana.
Uparichara, yang artinya “terbang di langit atas berkah Tuhan”, adalah pemuja Wishnu yang sangat saleh. Batara Indra sangat berkenan padanya dan memberinya pengetahuan yang berlimpah serta bunga lotus Kalpaka Vruksha yang dapat memenuhi semua keinginannya. Dan satu-satunya keinginan Uparichara adalah melepaskan tahta kerajaan dan kembali ke swargaloka.
(2) Kelahiran Guruka dan Girika
Ibukota Kerajaan Cedi dibelah sebuah sungai bernama Suktimati, sehingga Raja Uparichara pun memberi nama ibukotanya Suktimati. Pada suatu hari Sungai Suktimati mengering. Sang Raja bergegas memeriksa sungai hingga ke hulunya, dan menemukan bahwa Gunung Kolahala jatuh cinta kepada Sungai Suktimati dan menyekapnya.
Sang Raja meminta Gunung Kolahala untuk melepaskan Sungai Suktimati, tapi Gunung Kolahala bergeming. Akhirnya Raja Uparichara menginjak Gunung Kolahala dengan keras hingga terbelah dan Sungai Suktimati kembali mengalir melalui celah yang terbuka.
Tanpa diketahui Raja Uparichara, penyatuan Gunung Kolahala dan Sungai Suktimati melahirkan anak kembar, laki-laki dan perempuan, bernama Guruka dan Girika. Sebagai tanda terima kasih karena telah membebaskannya dari sekapan Gunung Kolahala, Suktimati memberikan kedua anaknya kepada Raja Uparichara. Ketika kedua anak itu telah dewasa, Sang Raja menjadikan Guruka sebagai panglimanya dan Girika sebagai istrinya.
(3) Kelahiran Matsya dan Satyawati
Suatu saat Girika baru selesai bersuci dan mengatakan kepada Uparichara bahwa ini saatnya untuk memiliki keturunan. Tapi, di saat yang sama, para tetua kerajaan meminta Uparichara untuk turut berburu rusa di hutan. Sang Raja tidak bisa menolak permintaan itu dan turut berburu bersama mereka, meski dia menyadari itu bukanlah waktu yang tepat dan bukan keputusan bijaksana.
Hutan tiba-tiba sepi dari binatang buruan. Sang Raja, yang sadar bahwa dia meninggalkan kewajiban yang lebih utama, ingin segera pulang namun tidak kuasa meninggalkan para tetua. Tepat di tengah hutan terdapat Pohon Asoka yang menyemburkan aroma suci, membuat Sang Raja tidak kuasa untuk menahan hasratnya. Maka dia mengeluarkan benihnya dan meminta burung elang untuk membawanya kepada istrinya, Girika.
Tetapi elang tidak berhasil sampai ke istana. Elang-elang lain yang melihat sesuatu di paruh elang Sang Raja, segera saling berebut untuk memakannya. Jatuhlah benih Sang Raja ke Sungai Yamuna dan tertelan ikan Apsara Adrika, yang tidak lain adalah bidadari surga yang dikutuk menjadi ikan karena menganggu seorang Rishi yang sedang bersemadi.
Apsara Adrika mengandung selama 10 bulan. Saat hendak melahirkan, Apsara Adrika sengaja membuat dirinya tertangkap oleh seorang nelayan. Saat diangkat ke atas perahu, lahirlah anak kembar, laki-laki dan perempuan. Sesaat setelah melahirkan, Apsara Adrika terbebas dari kutukan dan kembali ke kahyangan sebagai bidadari.
Sang nelayan, yang bernama Dasaraj, segera membawa bayi kembar tersebut ke hadapan Raja Uparachari. Sang Raja, yang tidak menyadari bahwa bayi kembar itu adalah anak-anaknya, memberinya nama Matysa dan Matsyagandha karena terlahir dari ikan.
Matsya, yang artinya ikan, diangkat sebagai anak oleh Sang Raja, sedangkan yang perempuan, Matsyagandha, yang artinya berbau amis ikan, diberikan kepada sang nelayan. Di kemudian hari Matsyagandha berubah nama menjadi Satyawati setelah berhasil menghilangkan bau ikan dari tubuhnya berkat bantuan seorang Rishi.
(4) Bishma
Di tempat lain, Kerajaan Kuru tengah dipimpin Raja Pratipta. Raja Kuru ini memiliki empat orang putra, Devapi, Bahlika, dan Santanu. Devapi, karena sakit lepra, memilih jadi pertapa dan meninggalkan kerajaan. Bahlika memilih leluhur ibunya dan menjadi raja di Kerajaan Balkh. Maka Santanu menjadi putra mahkota untuk mewarisi kerajaan.
Pada suatu hari, saat Raja Pratipta bermeditasi di tepi Sungai Gangga, datanglah Dewi Gangga dan duduk di paha kanannya. Raja Pratipta pun terjaga dari meditasinya, dan bertanya apa yang diinginkan Dewi Gangga. Sang Dewi meminta Pratipta menikahinya.
Namun, karena Dewi Gangga duduk di paha kanannya, Pratipta menjawab bahwa Dewi Gangga lebih tepat menjadi menantunya dan menawarkan Santanu, putranya. Dewi Gangga menyetujui dengan satu syarat bahwa Santanu tidak boleh mempertanyakan dirinya, asal-usulnya, dan segala perbuatannya. Santanu pun setuju menikah dengan Gangga dengan semua syarat yang diajukannya.
Santanu naik menjadi Raja Kuru didampingi permaisuri yang tidak dia ketahui namanya. Hampir setiap tahun pasangan ini dikaruniai putra, tapi setiap kali terlahir maka Dewi Gangga membawa putranya ke Sungai Gangga dan menenggelamkannya. Santanu tidak bisa berbuat banyak karena terikat oleh janjinya.
Saat putra kedelapan lahir, Dewi Gangga yang hendak membawa putranya ke Sungai Gangga, Santanu tidak dapat menahan diri dan mencegahnya. Pada saat itulah Dewi Gangga membuka jatidirinya, bahwa dia adalah seorang dewi dari kahyangan yang dikutuk Batara Brahma. Kesemua putranya adalah “delapan vasu” yang dikutuk hidup menderita sebagai manusia biasa, dan karenanya harus ditenggelamkan agar terbebas dari kutukan. Dewi Gangga berjanji bahwa putra kedelapan, titisan Vasu Prabasa, akan dikembalikan kepada Santanu bila waktunya sudah tiba. Lalu Dewi Gangga dan putranya menceburkan diri ke sungai dan menghilang.
Tahun demi tahun Santanu selalu mengunjungi Sungai Gangga untuk melepas rasa rindunya. Pada suatu hari dia melihat seorang anak muda membendung Sungai Gangga dengan anak-anak panahnya. Santanu merasakan bahwa itu adalah putranya yang terakhir, maka dia pun bersemedi dan meminta Dewi Gangga mengembalikan putranya. Dewi Gangga datang memenuhi panggilan Santanu dan memperkenalkan putranya yang diberi nama Dewabrata, yang belakangan lebih dikenal dengan nama Resi Bishma.
Catatan: Delapan VASU adalah konsep dalam kosmologi Hindu yang serupa — tapi tidak sama — dengan konsep hyle dalam kosmologi Yunani. Kedelapan vasu adalah dewa-dewa elementer pembantu Batara Indra, yang dalam Mahabarata adalah: Perthiwi (bumi), Agni (api), Bayu (angin), Baruna (air), Prabasha (eter), Pratyusha (mahatari), Soma (bulan), dan Dhruwa (polaris). Lima yang pertama disebut Pancamahabhutas.
(5) Kelahiran Resi Wiyasa
Hidup dalam keluarga nelayan, Matsyagandha yang berkulit hitam manis, tumbuh menjadi putri yang cantik dan memikat. Hanya satu yang membuatnya bertahan di Sungai Yamuna, bau amis ikan yang menyebar dari tubuhnya. Saat bapaknya sudah semakin tua, Matsyagandha menggantikannya bekerja sebagai “ojeg sungai” yang mengantarkan pelancong melintasi Sungai Yamuna.
Pada suatu hari Rishi Parashara menjadi penumpang perahunya. Mencium aroma ikan yang tidak biasanya dari tubuh Matsyagandha, sang Rishi meminta Matsyagandha untuk bercengkrama. Matsyagandha menolak, karena bila orang-orang melihat mereka maka penduduk akan mempertanyakan kesuciannya. Namun sang Rishi berjanji bahwa Matsyagandha akan tetap suci dan tidak akan ada seorang pun melihat mereka. Matsyagandha meminta syarat lain kepada Rishi Parashara agar menghilangkan bau amis ikan dari tubuhnya. Sang Rishi menyanggupi.
Sesaat kemudian Matsyagandha menepi dan melahirkan seorang putra sakti yang dengan cepat tumbuh dewasa. Karena memiliki kulit hitam seperti ibunya, dia diberi nama Krisna Dwipayana, yang belakangan lebih dikenal dengan panggilan Resi Wiyasa. Selain itu aroma amis dari tubuh Matyagandha hilang dan digantikan wangi kesturi.
Sang putra yang dengan cepat dewasa meminta izin kepada ibunya untuk membiarkannya pergi untuk bertapa. “Jika Ibu membutuhkan ananda, panggil saja namaku dan ananda akan segera tiba di hadapan Ibu,” kata putranya. Maka berlalulah Wiyasa dari hadapan ibunya.
(6) Santanu bertemu Satyawati
Santanu yang telah lama ditinggal Dewi Gangga hidup kesepian di istana. Bukan sekali Santanu mencoba menikah lagi tetapi selalu berakhir dengan bencana.
Suatu hari Santanu melintasi Sungai Yamuna dan mencium wangi kesturi dari Matsyagandha yang sekarang berganti nama menjadi Kasturigandhi, perempuan berbau kesturi. Santanu seketika jatuh cinta padanya, dan meminangnya. Kasturigandhi mau menerima pinangan itu tetapi Santanu harus meminta izin kepada Dasaraj, bapaknya sang nelayan tua.
Saat Santanu menemui sang nelayan, Dasaraj mau menerima pinangan Santanu dengan syarat anak laki-laki pertama dari Kasturigandhi harus menjadi pewaris kerajaan, dan semua anak laki-laki sebelumnya bukan saja tidak boleh menjadi raja tetapi juga tidak boleh menikah dan memiliki keturunan.
Santanu teringat akan Dewabrata, putranya dari Dewi Gangga, yang cakap dan sakti serta dicintai seluruh penduduk kerajaan. Bukan hanya itu, Santanu telah mengangkat Dewabrata sebagai pewaris kerajaan.
Saat kembali ke istana, Santanu diam seribu bahasa. Hari demi hari berlalu dan tubuhnya semakin kurus kering. Dewabrata mengamati keadaan ayahnya dan merasa cemas, lalu memberanikan diri bertanya apa yang membuatnya bersedih sedemikian rupa. Maka Santanu menceritakan pertemuannya dengan Kasturigandhi dan semua syarat yang diminta untuk menikahinya. Dewabrata seketika menyanggupi semua syarat itu, dan sejak saat itu dia dikenal sebagai Bishma, yang artinya “menggetarkan”, karena dia mengambil keputusan berat mengorbankan diri demi ayahnya.
Santanu pun menikah dengan Kasturigandhi yang bergelar Satyawati, yang artinya “kebenaran” atau “esensi”. Pernikahan ini mendatangkan kebahagiaan bagi Santanu dan mereka dikaruniai dua putra, Chitrangada dan Wicitrawirya.
Tapi alam berkata lain. Karena Santanu telah mengambil tindakan yang kurang pantas sebagai raja, dengan melepaskan Bishma dari pewaris tahta kerajaan, matahari meredup sinarnya dan membuat panen di seluruh kerajaan menurun. Karma yang lebih besar menghantam Kerajaan Kuru kemudian.
Selepas ditinggal kematian Santanu, Bishma menobatkan Chitrangada yang masih belia sebagai raja. Tetapi usianya tidak lama dan mati muda saat bertarung dengan raja Gandarwa. Bisma kemudian menobatkan Wicitrawirya sebagai raja.
Ketika Wicitrawirya sudah cukup umur, Bishma menikahkannya dengan Ambika dan Ambalika, putri Raja Kasi, yang diperoleh Bishma berkat mengikuti sayembara. Tetapi Wicitrawirya hanya sebentar memegang tahta kerajaan, dan mati muda tanpa meninggalkan keturunan.
Syarat pernikahan Santanu dan Satyawati kini berbalik menghantam Kerajaan Kuru. Tanpa penerus kerajaan, maka tinggal menunggu waktu kerajaan ini musnah.
(7) Wiyasa memenuhi panggilan Satyawati
Menyadari kerajaan di ambang kehancuran, Satyawati menawarkan Ambika dan Ambalika kepada Bishma untuk dinikahi, dan naik tahta. Ambika dan Ambalika yang mengetahui kegagahan Bishma, tentu berharap dapat menikah dengannya.
Diam-diam Bishma menolak permintaan Satyawati. Baginya, sekali janji terucap maka harus dipegang seumur hidupnya.
Dalam kebingunannya, Satyawati teringat akan putranya, Wiyasa dan memanggil namanya. Dengan kesaktiannya, Resi Wiyasa datang seketika. Kulitnya hitam legam dengan rambut terurai tak beraturan, dan tubuhnya yang kurus kering hanya dibalut baju pertapa yang sudah sangat kumal.
Satyawati meminta Wiyasa menjalani upacara Niyoga atas Ambika dan Ambalika untuk menyelamatkan Kerajaan Kuru dari kehancuran. Wiyasa menyanggupi.
Ambika dan Ambalika yang berada di kamar masing-masing sambil menunggu kedatangan Bishma, keduanya terkejut ketika Resi Wiyasa yang datang. Saat Resi Wiyasa memasuki kamar Ambika, saking takutnya Ambika menutup matanya sehingga lahirlah seorang anak buta, hitam, dan kuat, yang diberi nama Dastarata (artinya: pewaris kerajaan).
Saat Resi Wiyasa memasuki kamar Ambalika, saking terkejutnya Ambalika terbebalak dan pucat pasi sehingga lahirlah anak yang pucat, putih, dan lemah, yang diberi nama Pandu (artinya: pucat pasi). Kemudian, saat Resi Wiyasa akan kembali ke kamar Ambalika, dia meminta seorang budak perempuan untuk menemani sang resi, maka lahirlah anak yang tampan dan cerdas, yang diberi nama Widura (artinya: cerdik), namun karena terlahir dari seorang pelayan maka selamanya akan menjadi pelayan.
( 8 ) Kurushetra dan ‘Nyanyian Tuhan’
Satyawati, anak dari Uparichara Vasu dan Dewi Apsara Adrika, adalah gadis berbau ikan Matsyagandha. Berkat andilnya melahirkan resi sakti Wiyasa, menjelma menjadi gadis berbau kesturi Kasturigandhi. Secara tidak langsung, Satyawati — dan Wiyasa — adalah sumber kehadiran Kurawa dan Pandawa. Dia adalah archetypal antecedent dari anak-anak psyche manusia.
Kerajaan terbelah dua antara negeri kegelapan dan cahaya. Pengasingan Pandawa selama 13 tahun berujung pada perang tanding di Kurushetra (artinya: tanah pembuktian, internal world). Di ambang perang yang akan berkecamuk, turunlah “Nyanyian Tuhan, Bhagawad Gita”:
“Pusatkan perhatianmu kepada Yang Maha Esa, wahai Arjuna. Lakukan pekerjaanmu dengan dhanajaya dan buanglah keterikatanmu pada kesuksesan dan kegagalan. Ketenangan hati (smattvam) adalah sebuah yoga.” (Bhagawad Gita 2:48)
Inilah esensi mitologi Mahabharata…[ ]
*Pecinta buku; penggiat pendidikan dan literasi.