Selain apel dan latihan baris-berbaris, setiap malam digelar aneka macam hiburan “kesenian rakyat”. Seperti reog, calung, badeng, angklung, kendang penca. Diselingi nyanyian “rakyat” dari berbagai daerah. Seperti “Jaleuleu Ja”, “Tokěcang”, “Sasalimpetan” (Sunda), “Gěnjěr-Gěnjěr”, “Gundul Pacul” (Jawa), dsb. Direkayasa gerakan dan liriknya, agar sesuai dengan “jiwa revolusi” berbasis “Nasakom” dan “Ganyang Malaysia”. Para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dari ibukota, berdatangan ke daerah-daerah. “Turba” (turun ke bawah). Menyemangati acara-acara tersebut.
Oleh : Usěp Romli HM*
JERNIH– Di tengah kontroversi pemberitaan tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), dipicu oleh isu “ulang tahun” ke-100 PKI tanggal 23 Méi 1920-2020 dan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), ingatan melayang ke suasana tahun 1964, setahun sebelum terjadi peristiwa “Gestapu” (G-30-S) tanggal 30 September 1965.
Pada tahun itu, suasana memanas. PKI mengusai panggung perpolitikan nasional. Terutama sebagai penyokong utama “Nasakom“ (Nasional, Agama,Komunis) yang menjadi gagasan impian Presiden Sukarno sejak tahun 1920-an.
Berbagai acara dalam rangka “Nasakomisasi” hampir tiada henti. Apel dan keramaian diada-adakan di mana-mana. Juga latihan baris-berbaris, untuk membentuk “sukarě-lawan” penggganyang Malaysia. Pamarěntah RI yang sudah dikendali PKI, menolak rencana Kerajaan Inggris, memisahkan Malaya dari Singapura, menjadi Malaysia. Itu dianggap proyěk “něo kolonialisme” (Nekolim), yang menjadi ancaman bagi kedaulatan NKRI.
Presiděn Sukarno tanggal 17 Agustus 1964 berpidato. Ia memerintahkan rakyat bersiap dan waspada menghadapi “několim” dengan mengomandoi “ganyang Malaysia”. Pidato berjudul “Dwikomando Rakyat” (Dwikora), berisi ajakan mengganyang Malaysia dan mencukupi kebutuhan sandang pangan.
Sejak saat itu rakyat laki perempuan, termasuk anak-anak sekolah, diwajibkan latihan baris berbaris. Menyanyikan lagu “Nasakom Jiwaku”. Serta menyanyikan lagu “Sukarělawan Indonesia”
Bulat semangat tekad kita
Barisan sukarělawan Indoněsia
Bedil dan sangkur
Siap bertempur
Tiap tantangan kita lawan pantang mundur
Hey imperialis durhaka
Janganlah mengganggu Indonesia
Ini dadaku
Mana dadamu?
Kalau menyerang kita ganyang jadi abu
Ayolah kawan
Buruh tani pemuda dan angkatan kita
Maju berlawan
Siap senjata dan cukupkan sandang pangan
Pastilah menang,pastilah menang
Pasti menang revolusi empat lima
Selain apel dan latihan baris-berbaris, setiap malam digelar aneka macam hiburan “kesenian rakyat”. Seperti reog, calung, badeng, angklung, kendang penca. Diselingi nyanyian “rakyat” dari berbagai daerah. Seperti “Jaleuleu Ja”, “Tokěcang”, “Sasalimpetan” (Sunda), “Gěnjěr-Gěnjěr”, “Gundul Pacul” (Jawa), dsb. Direkayasa gerakan dan liriknya, agar sesuai dengan “jiwa revolusi” berbasis “Nasakom” dan “Ganyang Malaysia”. Para seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dari ibukota, berdatangan ke daerah-daerah. “Turba” (turun ke bawah). Menyemangati acara-acara tersebut.
Banyak “seniman kampung” yang mendadak gembira. Tak pernah sepi order main. Grup reog pimpinan Bapa Kuwu (aktivis SOBSI/ PKI), yang pemainnya orang-orang kampung, antara lain, Kang Jamhur, Mang Kosim, Jang Maman, Cěp Ědi, beserta nayaganya, panen besar. Setiap malam, main di kota kabupaten dan desa-desa lain. Isi saku mereka sesak padat. Apalagi jika ketika main, penuh semangat meneriakkan “Hidup Nasakom!” dan “Ganyang Malaysia!”, bayarannya suka ditambah.
Setahun penuh suasana memanas. Partai dan organisasi antiPKI tak tinggal diam. Umat Islam yang menginduk ke NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, PSII, PUI, Al Wasliyah dll, menunjukkan pula kekuatan. Sering terjadi perkelahian antara anak-anak Ansor (NU) dengan Pamuda Rakyat (PKI).
Biasanya diselesaikan melalui musyawarah “kekeluargaan” oleh Front Nasional (FN), sebuah lembaga yang diisi wakil-wakil Nasakom, dari pusat hingga desa-desa.
Bulan Agustus 1965, keadaan makin hiruk-pikuk. DN Aidit, Ketua Comite Cěntral (CC) PKI pidato di berbagai tempat, yang isinya menuntut pemerintah agar segera membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aidit menyebutkan, HMI kontra revolusioner, subversif karena merupakan anak kandung Partai Masyumi, yang bersama PSI telah dibubarkan Agustus 1960. Aidit juga menyebut “Ibu Pertiwi sedang hamil tua”.
Sebulan setelah Aidit pidato, terjadilah peristiwa “Gerakan 30 September” (G-30-S) malam 30 September 1965. Enam jenderal pingpinan TNI Angkatan Darat, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen S.Parman, Mayjen D.I. Panjaitan, Mayjen MT.Haryono, Mayjen Sutoyo, dan Mayjen Suprapto, tewas dibunuh. Plus seorang kapten TNI AD ajudan Jendral Nasution, Pierre Tendean. Mayat mereka ditemukan beberapa hari kemudian di Lubang Buaya, kompleks pangkalan AU Halim Perdana Kusumah Jakarta.
Kabar tentang “G-30-s/PKI” cepat tersebar. Dari berita radio, surat kabar dan dari mulut ke mulut. Orang-orang yang diketahui aktivis PKI, gelisah. Kuwu Desa Majasari, Kecamatan Cibiuk, Kabupaten Garut, aktivis SOBSI tingkat provinsi, tiba-tiba menghilang. Meninggalkan rumahnya, yang beberapa minggu kemudian dibakar entah oleh siapa.
Para “seniman rakyat” yang “ditulis tonggong” sebagai anggota Lekra, ditangkapi ditahan di Kantor Koramil. Walaupun hanya seminggu dua minggu, cukup menggemparkan seisi kampung.
Menimbulkan keprihatinan dan rasa kasihan terhadap keluarga mereka yang tak tahu apa apa soal politik komunis. Sekedar ikut-ikutan main sambil meneriakkan “Hidup Nasakom!” dan “Ganyang Malaysia!” demi tambahan upah.
Nasib yang sama dialami para “seniman rakyat” seluruh Indonesia. Novelis Ahmad Tohari melukiskan dengan gamblang nasib Srintil , penari ronggeng Dukuh Paruk yang harus mendekam bertahun-tahun di penjara akibat dianggap terlibat Lekra/PKI (Ahmad Tohari “Ronggeng Dukuh Paruk”, 1985).
Tak sedikit tokoh PKI dan ormas-ormasnya,terus lama ditahan. Ada yang dibui di Nusakambangan dan dibuang ke Pulau Buru.
Aki Uham, peniup terompat pada grup kendang penca akuan Lekra, pernah ditahan sebulan di Kodim dan Korem. Lantaran cuma ikut-ikutan main untuk mencari sesuap nasi, tak tahu soal pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya,dilepas lagi. Begitu datang ke rumah, disambut tangis istri, anak dan cucu, tanpa istirahat dulu, ia menebang pohon bambu bitung. Dipotong tujuh ruas.
Ditancapkan di halaman depan rumah. Semua anak cucu dan keluarga terdekat, disuruh kumpul dekat bambu itu.
Kemudian Aki Umah berpidato singkat : “Sejak detik ini, aku menyatakan “cadu mungkuk haram dempak” (amat tabu), ikut-ikutan ke partai. Partai apa saja. Apalagi PKI atau yang sewarna dengan itu. Jika ada anak cucu melanggar “pacaduan” ini, dikutuk akan menderita “nongtot bo-ol” (ambeien) saumur-umur!”
Aki Uham menebaskan parang. Bambu bitung sebesar paha, terbelah. Lalu ujung parang diguratkan ke tanah, sambil membaca mantera penguat “pacaduan” : “neukteuk leukeur meulah jantung cas pancas paria Jawa”.
Semua yang berkerumun, serempak menjawab : “Nyaksěni!”(Kami menyaksikan). [ ]
*Almarhum, wartawan dan budayawan Jawa Barat; tulisan ini pernah dimuat Jernih manakala almarhum bergabung.