Apakah dia termasuk salah satu wali Allah atau nabi-Nya? Pendapat yang kuat adalah: menempatkan Khidir pada posisi kenabian, dengan alasan bahwa perbuatan seperti membunuh anak kecil dan melubangi perahu tidak dapat diterima kecuali dilakukan oleh seorang nabi yang maksum (terjaga dari dosa) berdasarkan perintah Allah langsung. Sementara hal itu tidak diterima dari seorang wali untuk perbuatan yang berdasarkan dari hawa nafsu dan pemikiran di benaknya.
JERNIH– Jika pada suatu hari Anda mencium bau harum, lalu mendengar para orang tua berkata, “Tuan kita, Khidir, telah melewati tempat ini”, janganlah Anda merasa bingung.
Atau, ketika Anda berada di negara-negara Syam (Syria, Libanon, Palestina) dan mendengar sejumlah petani di sana bertawasul dengan namanya, mereka berkata, “Wahai tuanku Khidir yang hijau, siramilah tanaman kami yang hijau”, janganlah Anda merasa aneh.
Bahkan, Anda mungkin pernah membaca buku-buku khazanah Islam yang menjelaskan bahwa Khidir setiap malam beribadah di Masjid Umayyah di Damaskus. Atau, dia—setelah wafatnya Rasulullah Muhammad SAW–mengunjungi beberapa sahabatnya dan mengucapkan bela sungkawa.
Atau, Rasulullah Muhammad SAW pernah melewati sebuah gua bersama salah seorang sahabatnya, lalu sang sahabat itu masuk ke dalamnya dan bertemu dengan Khidir, kemudian Khidir meminta sahabat itu untuk menyampaikan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW. Sahabat itu mendengar Khidir berdoa, “Ya Allah, jadikan diriku sebagai bagian dari umat Muhammad.”
Ada juga yang mengatakan bahwa Khidir berangkat haji setiap tahun dan meminum seteguk air zamzam yang menghilangkan dahaganya hingga musim haji berikutnya.
Adapun dalam cerita-cerita rakyat, ketika disebutkan nama Khidir seakan-akan orang-orang pernah melihatnya, padahal tidak seorang pun bertemu dengannya. Khidir juga memiliki berbagai gelar dan julukan seperti Abu al-Abbas, Imam al-A’zham, Quth ar-Rijal, Naqib ar-Rijal, dan al-Ustadz (yang tampaknya merupakan gelar dari kalangan sufi).
Tidak perlu merasa heran atau terkejut, karena menurut kebanyakan orang, Khidir belum mati. Bahkan, diyakini dia diberi keistimewaan hidup kekal hingga hari akhir.
Dia mengelilingi dunia seperi halnya arwah halus yang tidak dapat ditemukan kecuali dengan harum-haruman atau hijau-hijauan pada tempat-tempat yang dia lewati. Dalam al-Quran tidak disebutkan secara jelas namanya, tetapi hanya penggambaran sifat dan kisahnya bersama Nabi Musa AS.
Adapun dalam hadis-hadis Nabi yang dikumpulkan dengan derajat sahih, kita membaca nama Khidir dan penjelasannya bahwa setiap kali dia duduk di atas pakaian dari kulit binatang yang berwarna putih, seketika pakaian itu berguncang dan berubah menjadi warna hijau.
Sebagian ulama ahli tafsir berusaha menelusuri asal muasalnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa dia termasuk orang yang beriman kepada Nabi Ibrahim AS dan keluar bersamanya dari negeri asalnya.
Pendapat lain mengatakan bahwa dia adalah salah seorang cucu Nabi Adam dari putranya, Qabil. Menjelang wafatnya, Nabi Adam memberti tahu para anaknya dengan kedatangan banjir, dan berwasiat kepada mereka untuk memindahkan jasadnya ke dalam perahu hingga ketika keadaan sudah kembali normal dan bumi telah menelan airnya, hendaknya mereka memakamkannya di tempat yang sudah dia tentukan terhadap mereka.
Ketika banjir besar terjadi, anak keturunan Nabi Adam membawa jasad ayahnya. Kemudian, tatkala bumi sudah mengering, mereka lalai untuk menguburkan jasadnya sehingga dikuburkan oleh cucunya, Khidir. Sebelum itu, Adam meminta kepada Allah untuk memanjangkan umur siapa saja yang menguburkannya, sehingga Khidir mendapatkan doa tersebut dan dia dipanjangkan umurnya hingga menyaksikan keluarnya Dajjal si pendusta dan mengingkarinya.
Kedudukan dia pun diperselisihkan. Apakah dia termasuk salah satu wali Allah atau nabi-Nya? Pendapat yang kuat adalah: menempatkan Khidir pada posisi kenabian, dengan alasan bahwa perbuatan seperti membunuh anak kecil dan melubangi perahu tidak dapat diterima kecuali dilakukan oleh seorang nabi yang maksum (terjaga dari dosa) berdasarkan perintah Allah langsung. Sementara hal itu tidak diterima dari seorang wali untuk perbuatan yang berdasarkan dari hawa nafsu dan pemikiran di benaknya.
Dalam kisah-kisah warisan, terutama dalam kitah “Arais al-Majalis” karya ats-Tsa’labi. Jika para pembaca memperhatikan, kitab ini adalah buku khazanah keislaman yang paling banyak mengandung dongeng-dongeng mitologi. Di dalamnya kita akan menemukan kisah tentang Khidir yang sangat layak untuk dibaca.
Kisah ini bercerita bahwa Khidir adalah seorang anak raja yang adil. Namun, ayah dan kaumnya tidak menyembah Allah. Adapun namanya sebelum mendapat gelar “Khidir” adalah Balya bin Malka bin Faliqh bin Abir bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh.
Kala itu, dia adalah anak semata wayang, sehingga sang ayah berkeinginan untuk menikahkan putranya itu agar melahirkan seorang putra untuk melanjutkan estafet kerajaan setelahnya. Akan tetapi, putranya justru ingin hidup melajang dan meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan (pemerintahan) serta berkeinginan menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah.
Adapun sebab keimanannya kepada Allah dan dedikasi dirinya untuk beribadah adalah perintah ayahnya untuk belajar kepada seorang guru, yang mana di antara rumahnya dan rumah sang guru terdapat orang ahli ibadah yang saleh. Khidir sering kali tinggal bersamanya, sehingga ketika dia tidak ada di rumah, sang ayah mengira dia berada bersama gurunya dan ketika tidak menghadap sang guru, dia akan disangka bersama ayahnya.
Sang ayah memaksanya untuk menikah, dan akhirnya dia dinikahkan dengan salah satu putri raja. Ketika mereka sedang berduaan, Khidir berkata kepada istrinya,“Sesungguhnya aku adalah seorang pria Muslim yang berbeda agama dengan ayahku. Kini aku akan menawarkan kepadamu suatu hal. Rahasiakan hal ini agar kamu mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Jangan sekali-kali menyebarkan rahasia ini, sebab akan membuatmu binasa di dunia dan di akhirat. Silakan kamu pilih antara membiarkan diriku fokus beribadah serta mengikutiku masuk ke dalam agama ini, atau aku mengembalikan dirimu ke keluargamu.”
Putri raja itu pun memilih untuk masuk ke dalam agama Khidir dan membiarkannya menghabiskan waktu untuk beribadah kepada Allah, juga menyimpan rahasianya.
Ketika cukup lama tidak terdengar kabar seputar kelahiran seorang anak, sang raja memanggil menantunya dan bertanya akan keadaannya, lalu dijawab, “Dia (Khidir) berada di tangan (kekuasaan) Allah.”
Menurut saya, sebuah keanehan bahwa seorang raja yang tidak beriman kepada Allah namun tidak merasa asing dengan jawaban sang menantu. Sang istri tidak membocorkan rahasia suaminya.
Sang raja lalu memerintahkan anaknya untuk menceraikan istrinya, lalu menikahkannya kembali dengan seorang wanita lain yang sudah pernah memiliki anak. Kepada istri keduanya, Khidir menawarkan kembali hal yang pernah dia tawarkan kepada istri pertamanyanya dan dijawab dengan kesediaan untuk menyembunyikan keadaan Khidir. [bersambung]
Dari : “Asathir Muqaddasah, Asathir al Awwalin fi Turats al-Muslimin” buah karya Walid Fikri