Kata ‘boneka’ cukup sering digunakan Garin di buku ini. Misalnya ‘presiden boneka’ (“Tiga Sosok Presiden Indonesia”, hal. 7). Presiden Boneka merupakan kategori ketiga setelah dua kategori sebelumnya yakni Negarawan dan Militeristik. Siapa-kah Presiden Negarawan? Siapa Presiden Militeristik? Siapa pula Presiden Bone-ka? Garin tak menjelaskan. Semua jawaban diserahkan sepenuhnya kepada tafsir pembaca.
Oleh : Akmal Nasery Basral
JERNIH–1/, Sejak David Wark “D.W.” Griffith membesut film The Birth of A Nation (1915)—masih era film bisu—salah seorang pendiri United Artists Corpora-tion itu bukan hanya dianggap sebagai pionir dalam aspek editing dan kekuatan naratif film, melainkan juga sebagai aspirator politik vokal pendukung Konfederasi (11 negara bagian di elatan AS pada Perang Sipil 1861 -1865).
Griffith merintis jalan bagi kemunculan nama-nama seperti Sergei Eisenstein, Esfir Shub (Uni Soviet), Leontin Sagan (Republik Weimar), Kurt Maetzig (Jerman Timur), Rainer Fassbinder (Jerman Barat), Gillo Pontecorvo (Italia), Jean-Luc Godard (Prancis), Ken Loach (Inggris), Fernando Solanas (Argentina), Kamal El Sheikh (Mesir), Remzi Aydın Jöntürk (Turki), Alan J. Pakula, Oliver Stone (AS), Marjane Satrapi (Iran), Göran Olsson (Swedia), Amir Muhammad (Malaysia), dan Garin Nugroho (Indonesia)—untuk menyebut beberapa nama–pada daftar panjang sineas yang meniupkan napas politik dalam karya-karya sinema dunia.
Film neorealisme berjudul Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (Bird Man Tale, 20-02) misalnya, menggabungkan footage pemakaman Theys Hiyo Eluay (1937– 2001), mantan ketua Presidium Dewan Adat Papua yang diculik dan dibunuh oknum Kopas-sus, namun tidak dijadikan Garin sebagai film dokumenter. Bahkan dia menambah-kan kisah rekaan hasrat puber seorang remaja pria Papua yang terobsesi ingin mencium perempuan bermata kejora berwajah sedih (diperankan Lulu Tobing) yang dilihatnya di satu pelabuhan Pulau Cenderawasih.
2/. Tetapi Garin tak hanya menyalurkan magma politik melalui layar sinema. Ia juga komentator politik yang antusias dalam bentuk tulisan-tulisan yang mengkritisi penyelenggaraan negara, dominasi oligarki, panggung banal politisi, dan demokrasi level kosmetik yang semu dalam format buku. Bukan dalam analisis komprehensif tipikal political scientists melainkan dalam tulisan-tulisan singkat, kadang hanya satu alinea yang terdiri dari empat-lima baris.
Kesan itu yang menguar kuat dari buku terbarunya Civis: Pemilu & Politik (75 Quotes Garin Nugroho) yang baru edar sepekan terakhir. Pada sampul depan buku yang digarap seniman visual Prihatmoko Moki, salah satu elemennya adalah gambar perkelahian harimau dengan banteng.
Di atas pertarungan dua makhluk liar tersebut terpampang tulisan “Ora Edan Ora Keduman” (Jawa: “Nggak Gila, Nggak Kebagian”). Frasa ini petikan kalimat ‘ zaman edan, nek ora melu edan ora keduman (zaman gila, siapa yang tidak ikut gila, tidak kebagian)’ dari Pujangga Ronggowarsito (1802 – 1873) ketika mengomentari intrik politik Keraton Surakarta era Pakubuwono IX yang menderu-deru.
Latar belakang kultural, filosofi, mitologi, filologi, dan kosmologi Jawa, sangat terasa dari tulisan-tulisan sutradara kelahiran Yogyakarta, 63 tahun silam ini. Termasuk sketsa, lukisan, eksperimen visual dua dimensi karya Prihatmoko yang mengawali ke-75 kutipan.
Contohnya pada tulisan berjudul “Melik Nggendong Lali” (hal. 28). Opini singkat satu alinea yang terdiri dari sembilan baris ini menjelaskan tentang pinutur luhur Jawa yang berarti ‘keinginan memiliki (melik) menggendong lupa diri (lali). Makna-nya, “Pemimpin yang ingin memiliki sesuatu termasuk kekuasaan, menjadikan pe-mimpin itu lupa diri. Laku politiknya melanggar wewaler (peraturan) dan kemanu-siaan, serta tidak peduli nasihat bahkan ajaran Allah.”
Selain mengambil tetes-tetes samudera hikmah kebudayaan Jawa, Civis menyodorkan tema besar yang lebih histioris seperti “Boneka Ratu Adil”. Garin menulis, “Sejarah mencatat, beberapa raja Nusantara hanya menjadi boneka korporasi terbesar dunia saat itu, yakni VOC. Raja menjadi boneka korporasi, dike-mas sebagai ratu adil, populer seakan serba berbagi namun akhirnya rakyat mem-bayar…Namun ketika rakyat cinta buta pada raja, maka sumber daya alam dan tanah dikeruk VOC, rakyat hanya jadi buruh dengan uang makan tak cukup, pajak dimana-mana … Masihkah ini akan terjadi?” (hal. 5)
Meski menggunakan ‘raja Nusantara’ dan ‘VOC’ yang memiliki makna spesifik dan denotatif, namun Garin sejatinya tidak sedang mengajak pembaca menjadi musafir historiografi ke abad terdahulu. Penulis Negara Melodrama (2019) itu justru sedang menekankan gaya alusio-retoris yang tak perlu dijawab pembaca tersebab arah tulisan itu bukan ke masa lalu melainkan ke masa sekarang– masa yang sedang kita alami dan jalani bersama.
Kata ‘boneka’ cukup sering digunakan Garin di buku ini. Misalnya ‘presiden boneka’ (“Tiga Sosok Presiden Indonesia”, hal. 7). Presiden Boneka merupakan kategori ketiga setelah dua kategori sebelumnya yakni Negarawan dan Militeristik. Siapa-kah Presiden Negarawan? Siapa Presiden Militeristik? Siapa pula Presiden Bone-ka? Garin tak menjelaskan. Semua jawaban diserahkan sepenuhnya kepada tafsir pembaca.
Kata ‘boneka’ juga digunakan lagi oleh Garin dalam kalimat ini, ‘Siapapun bisa menjadi Wakil Presiden selama mau jadi boneka’ (“Gampangnya Jadi Wapres dan Presiden”, hal 11). Bagi penerima penghargaan lencana budaya “Chevalier dans l’ordre des Arts et Lettres” dari Pemerintah Prancis (2016) itu, ‘boneka’ bersinonim dengan ‘songong’ atau ‘broker’, seperti dalam kalimat, “Tirani melahir-kan pemimpin songong di tiap lini kekuasaan, menjadi broker kekuasaan, …’ (“Pemimpin Songong, Broker dan Jual Beli Rakyat”, hal. 40).
Jika untuk kategori presiden terdiri dari tiga kategori, maka untuk kategori ma-syarakat dibagi Garin menjadi lima, yakni warga negara, warga konsumen, warga penonton, warga diva, dan warga algoritma. Apa perbedaannya?
Warga negara adalah (mereka) yang harus dipenuhi hak-haknya. Warga konsumen diperlakukan sebagai binatang pekerja dan ekonomi. Warga penonton tak bisa berpartisipasi dalam pemerintahan yang doyan membuat hiburan. Warga diva adalah pengagum Pemimpin Diva yang sudah tak dipersoalkan lagi salah benarnya, hanya bisa dicintai. Warga algoritma adalah mereka yang menjadi target cuci otak para buzzer-influencer.
Lima kelompok masyarakat itu terdapat dalam tulisan tanpa judul (entah terlupa-kan oleh Garin atau kesalahan penyunting buku, hal. 37).
Ihwal tiadanya judul ini juga ditemukan di halaman 85 dalam tulisan empat baris yang mengusung gaya bahasa tautotes dan antiklimaks. “Politik semakin RIUH RENDAH. Namun jika elite politik RENDAH HARGA DIRI dan RENDAH ETIKA serta merendahkan demokrasi. Maka politik Indonesia hanya RIUH tapi RENDAH kualitasnya.”
Begitu juga untuk halaman berikutnya (86;88;97) yang masih tanpa judul tetapi merupakan tulisan tersendiri, dengan ilustrasi gambar dan sketsa yang berbeda dengan halaman sebelumnya. Namun, sedikit kekurangan ini tidak mengurangi kesan pembaca terhadap kejengkelan, kegusaran, sampai kemarahan Garin Nugro-ho dalam melihat fenomena politik domestik di tahun-tahun terakhir termasuk dalam konteks Pilpres yang kini memasuki fase persidangan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi.
3/. Garin, yang juga alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam “Koalisi Politik” menulis, “Koalisi politik di negeri adab, guna memperkuat prinsip partai. Koalisi politik Indonesia, mengubah prinsip partai untuk kepentingan diri sendiri, atau mengubah prinsip diri ke partai, saat dibutuhkan berkarier di partai.” (hal. 94).
Penyimpangan atau manipulasi prinsip partai politik untuk kepentingan diri ini sudah disuarakan dengan nyaring oleh Plato dan Aristoteles sejak era Yunani Kuno. Namun ketika Garin mengartikulasikannya lagi di media sosial, dan kemudian dibukukan, dalam suasana pascapemilu 2024 di tanah air yang masih menyisakan sejumlah persoalan, membuat makna koalisi politik menjadi terasa berbeda dengan yang didengung-dengungkan para pengusung.
Seperti juga tulisannya di halaman 103, “Pemilu seperti politik, tidaklah busuk, indah karena rakyat memberikan harapan di dalamnya. Menjadi busuk karena kelakuan elite politik yang hanya meraih kekuasaan dengan segala cara untuk kekuasaan semata.”
Jadi siapa politikus yang berulang kali disebutkan dalam buku ini?
“Politikus adalah aktor terbaik, mampu berakting membawakan lakon demokrasi meski untuk ambisi diri” tulis pembuat Film Terbaik FFI 1991 lewat film perdana, Cinta Dalam Sepotong Roti (1990) itu di halaman 132.
Dan akhirnya, Garin pun tak ragu mengkritik jantung kekuasaan. “Sejarah mencatat, sokongan terlalu kuat pada Presiden adalah awal tirani. Ketika sokongan menjadi oligarki oleh dan untuk kepentingan ekonomi dan jabatan bukan kepenting-an warga.” (“Sokongan Presiden“, hal. 104).
Buku tipis 158 halaman ini bisa dibaca dalam sekali duduk karena formatnya berupa tulisan-tulisan pendek, mirip status Facebook atau cuitan-cuitan di X.
Namun daya dobraknya bisa membuat sadar banyak pihak yang sedang pengar dalam cengkeraman daya bius kekuasaan yang gemebyar.
Sebuah buku yang layak dibaca publik, terutama politisi, para penyelenggara kekuasaan negara, dan publik secara keseluruhan karena 75 quotes di dalamnya disuarakan oleh salah seorang sutradara terkemuka Indonesia yang merintis kredibilitas dan kompetensinya di pentas global tanpa dukungan oligarki, apalagi kerja ingar bingar buzzer dan influencer yang menjadi virus demokrasi belakangan ini. [ ]
—–
Judul:
Civis: Pemilu & Politik (75 Quotes Garin Nugroho)
Penulis:
Garin Nugroho
Penerbit:
Nyala (Maret 2024).
Tebal: viii + 158 hal).
—–