Benar saja, terjadilah karomah luar biasa bagi ats Tsauri. Dengan takdir Allah, Khalifah al Mansur menderita sakit sampai akhirnya meninggal dunia sebelum sempat mengunjungi Makkah.
JERNIH—Wali sufi terkemuka Sufyan Ats-Tsauri bernama lengkap Sufyan bin Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’ bin Abdillah, dan dipanggil pula dengan sebutan Abu Abdillah Ats-Tsauri. Beliau lahir di Kufah pada tahun 96 H, bertepatan dengan tahun 716 M, dan wafat di Bashrah pada bulan Sya’ban tahun 161 H, atau 778 M.
Sufyan tercatat sebagai adalah salah seorang tokoh ulama di masanya, imam dalam bidang hadits juga bidang keilmuan lainnya, terkenal juga sebagai pribadi yang wara’ atau sangat hati-hati, zuhud, ahli fikih dan dinilai setara dengan para imam fikih yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Sufyan Ats-Tsauri dilahirkan dan hidup di tengah-tengah keluarga yang agamis; ayahnya, Sa’id bin Masruq dikenal ahli hadits Kufah yang tepercaya. Sementara ibunya merupakan sosok perempuan yang wara’ dan zuhud. Ibunyalah yang kelak mendorongnya untuk menuntut ilmu; sedangkan saudaranya lelakinya, Umar bin Sa’id juga tergolong ahli hadits, termasuk saudarinya, Ummu Ammar, juga tergolong ahli hadits pada masanya.
Selain ayahnya sendiri, ada banyak ulama besar pada masa Sufyan Ats-Tsauri, baik yang berada di Kufah, Bashrah, Hijaz, maupun yang lainnya, yang pada gilirannya menjadi gurunya. Mereka antara lain Abi Ishaq As-Sabi’i, Manshur bin Al-Mu’tamir, Habib bin Abi Tsabit, Ashim bin Al-Ahwal, Umar bin Dinar, Ayyub Al-Sakhtiyani, dan lain-lain; sedangkan ulama-ulama besar yang pernah berguru kepadanya, antara lain: Syu’bah, Yahya bin Sa’id Qaththan, Imam Malik, Al-Auza’i, Ibnul Mubarak, dan Sufyan bin Uyainah.
Sufyan Ats-Tsauri merupakan ulama yang produktif, dia sudah menulis beberapa karya penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan agama, antara lain: Al-Jami’ul Kabir fil Fiqhi wal Ikhtilaf, Al-Jami’ush Shaghir dan Kitabut Tafsir.
Buronan Khalifah al-Manshur
Kita tahu, Abu Hanifah ditekan Khalifah Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al Manshur agar mau menduduki jabatan hakim dengan menyiksa, menahan, dan mengancam. Meskipun demikian, sang imam selalu menolak, sampai ia meninggal dunia di dalam penjara al Manshur.
Setelah Abu Hanifah meninggal dunia, al Manshur bertanya kepada para pembantunya perihal siapa yang layak menduduki jabatan itu. Tak pelak para penjilat Istana menyebut nama Sufyan ats-Tsauri. Menurut mereka, ia adalah penduduk bumi yang paling berilmu. Lantas Khalifah al Manshur mengirim orang untuk mencarinya. Berkali-kali, karena Sufyan berkukuh menolak datang menghadap.
Abu Ja’far al Manshur semakin menekan Sufyan Ats Tsauri, akan tetapi Sufyan pun bersikeras menolak menjabat posisi hakim, sampai-sampai ia harus melarikan diri dari Kufah menuju Makkah. Menolak titah khalifah sama dengan siap hidup susah. Tak ayal, al Manshur mengirim anak buahnya ke berbagai penjuru wilayah untuk menyeru, “Barang siapa bisa mendatangkan Sufyan Ats Tsauri, ia berhak atas hadiah 10 ribu dirham.”
Mengetahui itu, Sufyan ats Tsauri terpaksa meninggalkan Makkah menuju Bashrah. Di sana ia bekerja sebagai penjaga kebun. Kita dapat membayangkan betapa besar penderitaan yang dialami sang imam. Seorang ulama panutan, guru para ulama, harus hidup menyamar di bawah bayang-bayang kejaran rezim. Betapa ia harus bersembunyi dari masyarakat, berpindah tempat tinggal dari satu tempat ke tempat lain.
Tak lama menetap di Bashrah, masyarakat mulai mengenali ats Tsauri. Mereka pun bersikap ramah kepadanya. Tak mau semakin lama diketahui khalayak Bashrah, terpaksalah ats Tsauri meninggalkan kota itu dan pergi menuju negeri Yaman.
Di negeri tersebut, ia mengalami cobaan yang sangat dahsyat dan parah. Orang-orang menuduhnya melakukan pencurian. Ditambah lagi di negeri jauh itu ia tidak dikenal orang dan ia pun tak punya kenalan di sana. Masyarakat lantas menyeretnya ke hadapan penguasa, yaitu Ma’in bin Za’idah. Untungnya, Ma’in adalah sosok pemimpin yang dikenal sangat cerdas, berwibawa, dan berakhlak mulia. Ketika berdialog dengan Imam ats Tsauri, ia bertanya, “Siapa namamu?”
“Abdullah bin Abdurrahman (hamba Allah putra dari hamba Ar-Rahman),” jawab Sufyan masih menyembunyikan identitas.
“Aku menghimbaumu atas nama Allah untuk menyebutkan silsilah keturunanmu,” ujar Ma’in mendesak ats Tsauri untuk mengaku.
“Aku Sufyan bin Sa’id bin Masruq,” akhirnya Sufyan menjawab dengan jujur.
“Ats Tsauri?” tanya Ma’in penuh selidik.
“Ya,” jawab Sufyan. Ma’in menimpali, “Engkau adalah target Amirul Mukminin.”
“Benar,”kata Sufyan ats Tsauri.
Sesaat Ma’in tertunduk lalu berkata, “Tinggallah di sini sekehendakmu dan pergilah kapan saja engkau mau. Demi Allah, seandainya engkau bersembunyi di bawah kakiku, niscaya aku tidak akan mengangkatnya.”
Pelarian ats Tsauri di berbagai negeri terjadi di sepanjang masa pemerintahan al Manshur. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya; sekali waktu ke Iran, lalu ke Hijaz, kemudian ke Yaman, hingga akhirnya ia pergi ke Makkah untuk melaksanakan haji sekaligus menetap.
Khalifah Al-Manshur sendiri bermaksud melaksanakan ibadah haji di tahun yang sama, yaitu 158 H. Sejumlah informasi sampai kepadanya bahwa ats Tsauri berada di Makkah. Ia lantas mengirim pesan kepada gubernur Makkah agar mencari, menangkap, dan menyalib ats Tsauri. Tak ayal, mereka mulai menancapkan kayu, lalu mereka melakukan pencarian terhadap ats Tsauri untuk disalib.
Mengetahui hal tersebut, Sufyan ats Tsauri segera berjuntai ke tirai Ka’bah, lalu bersumpah agar Allah tidak membiarkan al-Manshur memasuki Makkah. Ia memanjatkan doa yang disertai sumpah. Benar saja, terjadilah karomah luar biasa bagi ats Tsauri. Dengan takdir Allah, Khalifah al Mansur menderita sakit sampai akhirnya meninggal dunia sebelum sempat mengunjungi Makkah. Hal tersebut menjadi salah satu karomah dan keberkahan bagi ats Tsauri.
Rahasia di balik penolakan ats Tsauri terhadap jabatan tersebut, serta pilihannya untuk menghindarinya dan menjadi buronan, tak lain karena ia tidak dapat menahan diri untuk membiarkan setiap kemungkaran yang dilihatnya. Dengan menjadi pejabat pemerintahan, ia akan melihat rangkaian fakta kemungkaran yang mau tak mau akan saksikan, plus dengan segala intrik istana.
Ats Tsauri berkata mengenai dirinya, “Apabila aku menyaksikan suatu kemungkaran dan aku tidak melakukan apa-apa (mendiamkannya), niscaya aku mengeluarkan kencing darah saking mendalamnya kesedihanku.”
Diburu aparat Khalifah al Mahdi
Imam Sufyan ats Tsauri sempat mengira bahwa cobaan yang menimpanya sirna dengan meninggalnya Khalifah al Mansur. Ia pun kembali ke Kuffah, muncul di hadapan publik, dan meriwayatkan hadis serta memberi pengajaran, seperti sedia kala.
Akan tetapi, ia dikagetkan oleh kedatangan tiba-tiba sang khalifah baru, Muhammad al Mahdi bin al Manshur, untuk memintanya menduduki jabatan sebagai hakim. Ketika Khalifah al Mahdi menemuinya, terjadilah dialog menakjubkan berikut ini:
Khalifah al Mahdi berkata, “Wahai Abu Abdillah! Ambillah stempelku ini, dan terapkanlah Al Qur’an dan as Sunnah di tengah umat ini.”
“Izinkan aku berbicara wahai Amirul Mukminin, asalkan engkau memberiku jaminan keamanan,” ujar Imam Ats Tsauri.
“Tentu,” jawab Al Mahdi.
Ats Tsauri berkata, “Janganlah mengirim utusan untuk menemuiku sebelum aku sendiri yang menemui engkau. Dan jangan memberi aku sesuatu sebelum aku memintanya.”
Betapa marahnya al-Mahdi mendengar perkataan itu. Ketika hampir saja ia memukul Ats-Tsauri, juru tulisnya mengingatkan, “Bukankah engkau telah memberi jaminan keamanan untuknya?”
“Ya. Akan tetapi, tulislah surat perjanjian kerja sebagai hakim baginya,” jawab al Mahdi.
Sang juru tulis kemudian menulisnya, lalu menyerahkannya kepada ats Tsauri dengan sangat terpaksa. Selanjutnya, ats Tsauri menyingkir dari hadapan Khalifah al Mahdi dengan membawa surat perjanjian kerja sebagai hakim yang dibubuhi stempel sang khalifah sendiri. Tatkala melewari Sungai Tigris, ia mencampakkan surat itu ke sungai. Ia ditemani rekan-rekannya yang melarang hal tersebut. Mereka menyarankan agar ia mau menerima jabatan sebagai hakim dan menerapkan Al Quran dan as Sunnah. Ats Tsauri menilai saran mereka itu bodoh dan pemikiran mereka dangkal.
Ats Tsauri segera pergi ke Bashrah dan bersembunyi di kediaman imam ahli hadis Yahya bin Sa’id al Qaththan. Tatkala para pencari hadis mengetahui keberadaan Ats Tsauri, mereka bertamu ke rumah Yahya al Qaththan. Hingga akhirnya tersiarlah keberadaannya. Ia pun pergi meninggalkan Bashrah menuju Kufah lagi, dan bersembunyi di kediaman Abdurrahman bin Mahdi.
Khalifah al Mahdi meningkatkan perburuan terhadap Imam Sufyan ats Tsauri, dan membuat sayembara berhadiah 100 ribu dirham bagi siapa saja yang dapat menghadirkan sang imam. Terlebih lagi ketika khalifah mengetahui bahwa ats Tsauri telah membuang surat perjanjian kerja itu ke sungai.
Demikianlah, Imam Sufyan ats Tsauri menjadi buronan dari satu negeri ke negeri lainnya. Ia dikejar-kejar tentara khalifah tetapi tidak kunjung tertangkap. Ats Tsauri menghabiskan dua tahun terakhir dalam hidupnya sebagai pelarian yang dicekam ketakutan.
Kendati demikian, ia tidak pernah berpikir barang sedetik pun untuk menerima jabatan yang ditawarkan. Subhanallah, ialah imam cendikia, manusia langka karena menghindari kedudukan, yang harus menanggung derita akibat berbagai cobaan dan ujian. Sementara banyak orang yang tak sebanding dengannya di sisi Allah, tidak seberat sayap nyamuk pun dari segi keilmuan, malah mengais-ais kedudukan dengan berbagai cara.
Imam Sufyan ats Tsauri terus berkutat dengan cobaan, sampai akhirnya datanglah kelapangan dan Sang Pemilik Langit. Allah subhanahu wa ta’ala menyudahi cobaan, penderitaan, dan kesedihannya, serta memuliakannya dengan karamah luar biasa, dengan cara memulangkannya ke hadirat-Nya, sebelum para pemburu sempat mencokok dan menyiksanya.
Yang mengagumkan, Imam Ats Tsauri sempat menulis surat kepada Khalifah al Mahdi, “Engkau mengusirku, membuangku, dan menerorku. Allah pasti memberi keputusan antara diriku dengan dirimu. Aku berharap agar Allah memberiku kebaikan sebelum datangnya surat balasan.”
Kemudian datanglah surat balasan untuk Imam ats Tsauri, akan tetapi ia meninggal dunia terlebih dahulu, dan berakhirlah cobaan yang menimpanya.
Wafatnya Sufyan ats Tsauri
Adz Dzahabi berkata, “Menurut pendapat yang benar, Sufyan meninggal pada bulan Sya’ban tahun 161 H. al Waqidi juga mengatakan demikian, sedangkan Khalifah al Mahdi (yang saat itu berkuasa) meragukannya dan menganggap bahwa Sufyan meninggal pada tahun 162 H. Ia meninggal dalam pelariannya dari Khalifah al Mahdi yang memaksanya menjadi hakim kekhalifaan.
Sufyan rahimahullah memberikan wasiat kepada Abdurrahman bin Abdul Malik, agar menyalatinya. Ketika ia meninggal, Abdurrahman pun memenuhi wasiatnya tersebut dengan menyalatinya bersama penduduk Bashrah. Mereka telah menjadi saksi meninggalnya Sufyan. Abdurrahman bin Abdul Malik bersama Khalid bin al Haritsah dan dibantu penduduk Bashrah menguburkan Sufyan. Setelah acara pemakaman selesai, dia bergegas ke Kufah dan memberitahu keluarga Sufyan perihal meninggalnya sang ulama besar hadis itu. [ ]