Site icon Jernih.co

Te’ze dan Lane : Kisah ‘Brutal’ Suku Riung

Suku Riung NTT tahun 1907

KUPANG — Apa yang terlintas di ingatan ketika mendengar kata Nusa Tengara Timut (NTT)? Setidaknya ada empat hal tentang NTT yang melekat dalam ingatan, yaitu padang rumput, kuda Sumba,  Sasando Dan Topi Ti’i. Hnaya dengan empat hal tersebut membuat NTT dikenal luas..

Bentang alamnya yang khas membuatnya sering dijadikan lokasi shooting. Salah satu film Indonesia yang mengambil latar alam dan kebudayaan NTT adalah Marina si Pembunuh dalam Empat Babak. Film besutan Mouly Surya ini berkisah tentang janda yang balas dendam pada tujuh orang perampok yang menyantroni rumahnya.

Dengan mengambil latar di sabana Sumba, NTT, film ini sukses menyabet piala Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Editing Terbaik, Tata Artistik Terbaik dan sederet penghargaan lainnya pada Festival Film Indonesia (FFI) 2018.

Provinsi yang dibentuk pada tahun 1958 ini merupakan salah satu provinsi kepulauan yang ada daerah Timur Indonesia. Laman resmi provinsi NTT menyebut, di provinsi beribu kota Kupang ini terdapat 615 pulau.

Dari ratusan pulau tersebut, 7 pulau terbesar adalah pulau Sumba, Timor, Flores, Alor, Lembata, Rote, dan Sabu. Nama pulau Rote menjadi dikenal luas dewasa ini sebab acap kali disebut dalam frasa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote sebagai daerah Indonesia terluar sebelah selatan yang berbatasan langsug dengan samudera Hindia.

Selain alam bawah laut dan sabana serta stepa yang indah, NTT juga memiliki budaya yang beragam. Dalam buku Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1981 disebutkan terdapat 15 suku bangsa yang mendiami wilayah NTT. Salah satu di antara sekian suku bangsa itu adalah suku Riung.

Sebagai entitas budaya, Riung memiliki banyak cerita rakyat dan mitologi. Harun Hadiwijono (dalam Jajob Sumardjo, 2014: 124) menjelaskan kisah mitologi yang berasal dari Riung sebagai berikut:

Alkisah, ada seorang perempuan Te’ze. Ia ada dengan sendirinya tanpa ada yang menjadikan. Te’ze berdiam di sebuah batu karang dan dari batu itu tumbuh sebatang pohon. Dalam banyak mitologi, keberadaan pohon semacam ini umum disebut dengan pohon hayat atau pohon kehidupan.

Suatu ketika, di kala Te’ze tertidur di bawah pohon tersebut, sekumtum bunga  tertiup angin dan jatuh ke tubuhnya. Bunga ajaib itu membuahi dan membuat Te’ze mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Lena.

Ketika dewasa, Lena mengawini ibunya. Dari perkawinan mereka berdua, maka beranakpinaklah keturunan mereka. Mereka berdua inilah yang diyakini sebagai nenek moyang suku Riung.

Dikisahkan pula pada awalnya langit tersambung dengan bumi oleh batang sulur tumbuhan yang menjalar. Jarak antara langit—termasuk matahari—dan bumi sangat dekat sehingga bumi terasa panas.

Seekor anjing kemudian menggigit batang sulur tersebut sehingga langit dan matahari menjauh dari bumi. Bumi tak panas lagi sehingga tanah dapat  diolah.

Lena dan Te’ze membuka ladang dengan memotong pohon dan semak-semak. Ranting dan semak dibakar untuk dijadikan pupuk. Namun, meski telah dipupuk tanah tetap mandul, tak memunculkan tanaman apa pun.

Suatu hari Lena mengajak dua anak laki-lakinya, Rakau dan Ruat ke ladang yang tandus itu. Di sana mereka dibunuh. Darah keduanya dipercikan ke seluruh ladang. Tubuhnya dihancurkan dan disebar ke penjuru ladang. Setelah tindak “kebrutalan” itu, ladang pun menjadi subur.

Jacob Sumardjo, filsuf cum budayawan yang meniliti banyak kebudayaan di Indonesia, menyatakan bahwa kisah Te’ze ini mengambarkan keyakinan orang Riung mengenai penciptaan.

Kisah Te’ze yang dibuahi sekuntum bunga mengandung paham emanasi. Artinya, manusia adalah ‘darah daging’ dewa dan alam. Tidak ujug-ujug ada tanpa ‘ayah ibu’. Dalam pemahaman ilmu Barat, penciptaan dari ketiadaan diistilahkan creatio ex nihilo.

Dijauhkannya langit dan bumi yang terhubung batang sulur sehingga tanah bisa diolah, mengisyaratkan bahwa bagi orang Riung pemisahan lebih menyenangkan daripada penyatuan. Ini gagasan khas kebudayaan yang menganut ‘pola dua’.

Kebudayaan pola dua lazim terdapat pada masyarakat yang tinggal di alam liar atau lahan tandus. Sumber daya alam untuk menopang hidup sangat terbatas.

Walaupun melimpah, mendapatkan dan mengolahnya sebagai bahan makanan perlu perjuangan keras. Kondisi ini menyebabkan orang-orang berlomba dan bersaing mengusai sumber daya.

Persaingan ini kerap memicu perang antar suku. Perang ini pun sesuatu yang dianggap suci  sebab dalam kebudayaan pola dua, kematian adalah awal kehidupan. Ini yang menjelaskan mengapa ada ritual pengorbanan mahluk hidup, termasuk manusia, dalam beberapa kebudayaan.

Menurut Sumardjo, ada perpaduan antara ‘pola dua’ dan ‘pola tiga’ pada mitologi Riung. Adanya kisah Lane dan Te’ze berladang merupakan gagasan khas pola tiga.

Budaya pola dua tidak mengenal berladang atau bercocok tanam. Mereka adalah masyarakat peracik, peramu, dan pemburu karena alam tempat mereka tinggal hanya memungkinkan untuk itu.

Meskipun berladang (pola tiga), namun karena pulau Flores secara umum kering dan tandus, maka pengolahan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam masih dilakukan dengan cara-cara khas pola dua, yakni “pemisahan dan kematian”.

Gagasan ‘pemisahan’ ini yang menyebabkan banyaknya klan, marga, atau sub-suku yang memisahkan diri dari induknya dan menciptakan ekosistem kebudayaan sendiri.    

Exit mobile version