Jadi boleh dikatakan Ustadz Abu Nida dan Ustadz Aunur Rofiq adalah saudara seperguruan, satu suheng, satu sute, sama-sama murid KH. Abdurrahman Syamsuri.
JERNIH– Dalam disertasinya, Prof Noorhaidi Hasan dai UIN Sunan kalijaga, menyebut tiga orang tokoh da’i Salafi paling menonjol yang mempengaruhi perkembangan awal dakwah salafi di Indonesia. Mereka memulai dakwah aktif pada sekitar awal dekade 1980. Ketiganya adalah Ustadz Abu Nida Chomsaha Sofwan (lahir di Lamongan, tahun 1954), Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron (lahir di Gresik, tahun 1956), dan Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin.
Ketiganya sama-sama merupakan kader Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang atas rekomendasi dari Buya Mumahhad Natsir (1908 – 1993), mereka bertiga berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar ke Saudi, tepatnya di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud. Sebelum belajar ke Saudi, sebenarnya ketiganya sudah mempunyai nasab keilmuan lokal, yang berhubungan erat dengan organisasi-organisasi lokal pengusung dakwah “kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah”, seperti Ormas Muhammadiyah.
Ustadz Abu Nida merupakan lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) Muhammadiyah di Karangasem, Paciran, Lamongan. Kabarnya beliau juga menimba ilmu langsung dari KH. Abdurrahman Syamsuri (1925 – 1997) pimpinan Pondok Pesantren Muhammadiyah di Karangasem, Paciran, Lamongan.
Ustadz Aunur Rofiq pernah menimba ilmu di PGA Muhammadiyah di Sidayu, Gresik. Kemudian beliau melanjutkan menimba ilmu di PGA Muhammadiyah di Karangasem, Paciran, Lamongan. Di Lamongan ini beliau—sebagaimana Ustadz Abu Nida–berguru kepada KH. Abdurrahman Syamsuri. Jadi boleh dikatakan Ustadz Abu Nida dan Ustadz Aunur Rofiq adalah saudara seperguruan, satu suheng, satu sute, sama-sama murid KH. Abdurrahman Syamsuri.
Uniknya, meski merupakan tokoh Muhammadiyah, KH. Abdurrahman Syamsuri sendiri dalam fase menuntut ilmunya pernah nyantri selama kurang lebih satu tahun kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng, Jombang.
Sedangkan Ustadz Ahmas Faiz, dilahirkan di tengah-tengah keluarga santri. Ayah beliau, KH. Asifuddin Zawawi (wafat tahun 1981), merupakan pimpinan Pondok Pesantren dan Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI), Kebarongan, Banyumas. Sedangkan kakek buyut beliau, KH. Muhammad Habib (wafat 1888), merupakan ulama berpengaruh di daerah Banyumas, yang melakukan “babad alas” membuka Desa Kebarongan. KH. Muhammad Habis sendiri pernah nyantri dan bermukim di Makkah selama 20 tahun.
Pondok MWI sendiri pada awalnya beraliran tradisional, sama seperti pondok-pondok di Indonesia pada umumnya. K.H. Muhammad Habib tercatat sebagai ulama pengamal tarekat Naqsyabandiyah. Namun saat kepemimpinan pondok dipegang K.H. Abdullah Zawawi Habib, putra bungsu dari K.H. Muhammad Habib, yang memimpin pesantren dari tahun 1911 hingga 1938, terjadi pergeseran pemikiran dari paham tradisional ke paham reformis. K.H. Zawawi Habib pernah menuntut ilmu ke Makkah. Sekembalinya ke Kebarongan, beliau mulai mendakwahkan pemurnian ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Beliau mengkritik praktik tawassul yang saat itu marak di masyarakat. Beliau jugalah yang mulai mengganti dua adzan Shalat Jumat menjadi satu kali adzan, dan mengganti jumlah rakaat Shalat Tarawih dari 20 rakaat menjadi 8 rakaat. Meskipun demikian, beliau belum mengajarkan karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, walau beliau sendiri sering merujuk kepada pemikirannya dalam ajarannya tentang tauhid.
Baru di era KH. Asifuddin Zawawi (periode tahun 1950 – 1980) dimasukkan kitab “Fathul Majid” syarah “Kitabut Tauhid” karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan (cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) sebagai salah satu kitab pegangan di kurikulum pondok. S
Sebagai salah satu kader penerus MWI, Ustadz Ahmas Faiz tentu saja sangat diharapkan ayahnya untuk meneruskan estafet dakwah MWI ke depan. Hubungan erat antara MWI dengan DDII pimpinan Buya M. Natsir, akhirnya membuka kesempatan Ustadz Ahmas Faiz untuk melanjutkan belajar di Saudi. Berbekal rekomendasi dari Buya Natsir, Ustadz Ahmas Faiz diterima belajar di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, menyusul kedua rekannya di atas.
Sepulangnya dari Saudi, ketiga tokoh Salafi di atas mengukir sejarahnya sendiri-sendiri. Ustadz Abu Nida sempat ditugaskan untuk mengajar di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo, pimpinan Ustadz Abdullah Sungkar dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Tak lama kemudian, Beliau memilih hijrah ke Yogyakarta dan mengembangkan sayap dakwah di sana, dengan mendirikan Yayasan Majelis At Turats Al Islami yang membawahi beberapa bidang kerja, seperti Pondok Pesantren Jamilurrahman dan Islamic Center Ibnu Baz di Bantul.
Sedangkan Ustadz Aunur Rofiq, memilih berdakwah di kampung sendiri di Sidayu, Gresik. Di sana Beliau mendirikan Pondok Pesantren Al Furqan Al Islami.
Pengalaman tersendiri dialami oleh Ustadz Ahmas Faiz. Sekembalinya dari Arab Saudi, beliau mengajar selama tiga tahun di Ponpes MWI Kebarongan. Ustadz Ahmas Faiz kemudian mengusulkan untuk mengadopsi manhaj Salafi secara total dalam kehidupan sehari-hari para siswa MWI. Beliau juga menyarankan untuk memperkenalkan lebih banyak buku-buku Salafi, khususnya kitab “Ushul al Tsalatsah” dan “Kasyfu Syubuhat”.
Namun usul Ustadz Ahmas Faiz ini tidak diterima oleh keluarganya yang lain, sehingga membuat beliau pada tahun 1988 memutuskan pindah ke cabang MWI lain di Karangduwur, Petanahan, Solo. Di sana beliau menerima respons yang lebih positif darit tokoh MWI. Di sana pula beliau mengadakan kelas khusus, yang kemudian disebut “khittah”, dimana para siswa disini hanya diajarkan pengetahuan agama Islam.
Namun demikian, pandangan beliau yang tanpa kompromi terhadap praktik-praktik adat lokal yang masih diterapkan oleh masyarakat sekitar, mengakibatkan penduduk desa menentang Beliau dan pada tahun 1992. Kelas khusus “khittah” resmi dibubarkan. Peristiwa ini membuat Ustadz Ahmas Faiz memutuskan untuk pindah ke Solo. Dengan dukungan keuangan dari Ihya al-Turats, Ustadz Ahmas Faiz berhasil mendirikan pesantren Salafi modern, yakni Pondok Pesantren Imam Bukhari.
Pada perkembangannya, pondok-pondok yang didirikan oleh tiga ustadz Salafi senior ini menjadi basis pengkaderan da’i-da’i Salafi di era selanjutnya.
Ada pula da’i-da’i Salafi lain yang secara angkatan sedikit d ibawah ketiga da’i di atas. Tiga nama yang bisa disebut di sini adalah : Ustadz Yazid Jawas (lahir 1962), Ustadz Ja’far Umar Thalib (1961 – 2019), dan Ustadz Yusuf Utsman Baisa.
Dengan mengesampingkan dinamika hubungan mereka bertiga yang terjadi di era-era belakangan, ketiganya tercatat pernah berguru dan menimba ilmu kepada Ustadz Abdul Qadir Hassan (1914 – 1984) di Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil.
Ustadz Abdul Qadir Hassan merupakan putra (sekaligus murid) dari Ustadz A. Hassan (1887 – 1958), yang merupakan ulama Persis yang sangat masyhur itu. Buya M. Natsir juga merupakan salah satu murid Ustadz A. Hassan.
Ustadz A. Hassan sendiri terkenal sebagai ulama yang sangat teguh dan gemar berpolemik dengan ulama-ulama yang tidak sepaham dengannya. Ustadz A. Hassan pula yang melayani korespondensi dengan Soekarno, yang kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia, saat dirinya kala muda dibuang Belanda ke Ende, Flores.
Sepeninggal Ustadz Abdul Qadir Hassan, ketiga ustadz tersebut sempat melanjutkan menimba ilmu di LIPIA Jakarta, sebelum kemudian memulai petualangan mereka belajar di luar negeri. Ustadz Yazid dan Ustadz Yusuf memilih belajar ke Saudi, sedangkan Ustadz Ja’far malang melintang belajar ke Afghanistan, Pakistan, Yaman, dan Saudi.
Sepulangnya dari luar negeri, ketiga ustadz tersebut sama-sama diamanahi tugas mengajar di Pondok Pesantren Al Irsyad di Salatiga, sebelum kemudian “sejarah terjadi” sebagaimana yang sama-sama telah diketahui, yang membuat hubungan ketiganya tak lagi sama seperti sebelumnya.
Dari keterangan-keterangan di atas, terlihat bagaimana ustadz-ustadz Salafi di Indonesia, memiliki nasab keilmuan lokal yang tersambung dengan tokoh-tokoh dan ormas-ormas pembaharu di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Persis.
Sejarah ini yang seharusnya tak boleh dilupakan, terutama sekali oleh mereka yang mengklaim sebagai murid-murid dari ustadz-ustadz sepuh tersebut. [ ]