Site icon Jernih.co

Tradisi Tato Mentawai yang Kian Pudar

Orang bertato kerap di pandang buruk oleh masyarakat. Stigma negatif orang beratato umumnya tersebut bahwa tato acap digunakan oleh kalangan preman dan pelaku kriminal. Namun dari sisi budaya, seni tatto telah berusia ribuan tahun. Orang Mentawai menyebutnya sebagai roh kehidupan.   

Jernih — Media sosial belakang gempar oleh foto seorang Kepala Desa (Kades) di Kabupaten Banjarnegara yang sekujur tubuhnya penuh dengan tato. Ia adalah Welas Yuni Nugroho (36) alias Hoho, Kades Purwasaba, Kecamatan Mandiraja, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Dikabarkan detik.com, Hoho mengaku telah menato tubuhnya lebih dari 30 kali. Hampir seluruh bagian tubuhnya kini berhias seni lukis tubuh kuno tersebut.

“Sudah 90 persen dari tubuh saya sudah ditato. Kalau dihitung sudah 30 lebih menato tubuh,” tutur pria yang mulai menato tubuhnya sejak duduk di bangku SMA karena terinspirasi film-film gengster ini.

Ia juga menambahkan bahwa Kades yang bertato serupa dirinya tak hanya satu di Banjarnegara. Menurut keterangan Slamet Raharjo, Kades Kalilunjar, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, yang dikutip detik.com,jumlah Kades bertato di kabupaten itu lebih dari 25 orang.

Sementara itu, Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono menyatakan bahwa menato tubuh adalah hak masing-masing orang. Hanya saja ia berpesan agar tato itu bukan untuk “gaya-gayaan” dan sepatutnya (jika bertato itu) dibarengi dengan kinerja yang baik.

Seni Kuno

Praktik menato tubuh telah ada di berbagai kebudayaan di dunia sejak lama. Dalam berbagai literatur disebut bahwa tato telah ada sejak ribuan tahun silam. Encyclopedia Britannica menyebut bahwa tato telah ada sejak peradaban Mesir Kuno pada abad ke-20 Sebelum Masehi (SM). Hal ini dibuktikan dengan ditemukan bekas tato pada mumi Nubbian yang berangka tahun 2000 SM.

Sementara, Journal of Archaeological Science: Report edisi Vol. 5, Februari 2016, yang dimuat di laman sciencedirect.com menyebut bahwa tato tertua di dunia yang dapat diketahui hingga saat ini terdapat pada mumi Ӧtzi yang diperkirakan hidup pada tahun 3250 SM.

Mumi Ӧtzi ditemukan di gletser Pegunungan Alpen di perbatasan Austria-Italia. Mumi yang disebut memiliki 61 tato di sekujur tubuhnya ini diduga merupakan “Manusia Es Tyrolean Eropa”. Tyrolean sendiri disebut-sebut sebagai salah satu kebudayaan kuno Eropa yang berada di daerah yang kini termasuk kawasan Austria.

Tak hanya di Mesir dan Eropa, salah satu suku di Nusantara juga telah memiliki tradisi tato sejak lama. Lokadata.id, dengan mengutip hasil penelitian Ady Rosa, dosen seni rupa di Universitas Negeri Padang yang dijuluki “Jendral Tato Indonesia” berjudul “Fungsi dan Makna Tato Mentawai” (2000), menyebut, suku Mentawai telah mengenai tato sejak 1500 SM-500 SM. Dengan angka tahu setua itu, tato Mentawai menjadi salah satu yang tertua di dunia.

Dalam istilah suku Mentawai, tato disebut titi. Bagi orang Mentawai, seni buhun ini merupakan roh kehidupan, “busana abadi” yang melekat hingga ke liang lahat. Majalah Tempo edisi 2 November 2018 dalam laporannya bertajuk “Para Penjaga Terakhir Tato Mentawai”, dengan mengutip hasil penelitan Ady Rosa, menyebut, ada tiga fungsi tato bagi masyarakat Mentawai.

Pertama, sebagai identitas wilayah. Fungsi ini tergambar dalam tato utama orang Mentawai. Kedua, sebagai status sosial atau profesi. Ketiga, sebagai hiasan tubuh. Yang terakhir ini, tato lebih merupakan medium ekspresi estetis seseorang, seperti lazimnya fungsi tato pada masyarakat moderen.

Ahli berburu suku Mentawai biasanya menato diri dengan gambar-gambar binatang tangkapannya, seperti rusa, babi, burung, buaya, kera, dan lain-lain. Sementara tato yang menghiasi tubuh sikerei (dukun/tabib) biasanya berupa ikon yang disebut bintang sibalu-balu.

Selain ketiga fungsi praktis tersebut, tato Mentawai juga memiliki fungsi kosmologis, yaitu sebagai penyeimbang alam. Benda-benda alam seperti batu, tumbuhan, dan hewan banyak menghiasi tubuh anggota masyarakat suku Mentawai. Hal ini mereka lakukan sebab mereka menganggap semua benda alam tersebut memiliki jiwa.

Upacara pentatoan di suku Mentawai juga merupakan salah satu bagian dari ritual inisiasi atau diakuinya seseorang sebagai “orang dewasa”. Biasanya ketika seorang anak laki-laki memasuki masa akil baligh, sekitar usia 11 atau 12 tahun. Ketika tiba waktunya, orang tua si anak itu akan merunding dengan sikerei dan rimata (kepala suku) untuk menentukan waktu yang cocok berdasarkan sistem perhitungan tertentu.

Setelah waktu ditentukan, barulah dipilih siapa sipatiti (seniman tato) yang akan “disewa”. Sipatiti adalah profesi seniman tato. Jasanya biasa dibayar menggunakan babi, ayam, kerbau, atau benda yang lain dianggap berharga. Sebelum penatoan, sikerei akan melakukan ritual tertentu di “studio tato” milik sipatiti terpilih.

Sebelum tubuh anak itu ditusuki jarum, sipatiti akan menggambar semacam sket tato di atas permukaan kulit menggunakan lidi. Setelah jadi, barulah ia mulai menato.

Jarum tato Mentawai buhun terbuat dari tulang hewan atau kayu karai yang dibuat runcing. Jarum tersebut diletakan pada sebilah kayu yang akan dipukul-pukul pelan menggunakan kayu pemukul khusus. Sementara pewarnanya terbuat dari arang tempurung kelapa dan air tebu sebagai pelarutnya.

Tato sebagai tanda akil balligh ini disebut pola paypay sakoyuan. Letaknya di pangkal lengan. Selanjutnya, ketika si anak itu makin dewasa, tatonya ditambah dengan pola durukat di bagian dada, titi takep di tangan, titi rere di paha dan kaki, titi puso di atas perut, dan terakhit titi teytey di punggung dan pinggang.  

Seni kuno Mentawai ini sempat dilarang siring dengan pelarang agama lokal Mentawai, Arat Sabulungan, pada kurun waktu 1960-1980. Mengutip keterangan Aman Gebak Kunen Sabagalet, generasi terakhir sikerei suku Mentawai, Tempo melaporkan, waktu itu orang-orang bertato ditangkap dan dipenjara. Demikian pula sikerei.

Segala macam tradisi suku Mentawai dilarang. Mereka dipaksa memilih “agama resmi” versi pemerintah. Sejak saat itu, tradisi mentato mulai pudar. Namun, pelarangan ini lambat laut dicabut terlebih setelah banyaknya turis yang datang ke Mentawai.

Sayangnya, ketika larangan itu tidak lagi berlaku dan orang Mentawai secara bebas berhak mempraktikan keyakinan dan adat mereka, generasi muda Mentawai tidak ada lagi yang mau ditato. Anak-anak usia remaja yang “seharusnya” mulai ditato, kini enggan. Selain karena sakit, sekolah tempat mereka belajar juga tidak mengizinkan muridnya menghias tubuh dengan tato.

Exit mobile version