Sebelum Baron Secondat de Montesquieu (1689—1755) merumuskan trias politika-nya yang mashur: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, John Locke (1632—1704), seorang filsuf Inggris, telah lebih dulu merumuskan gagasan pembagian kekuasaan dalam suatu negara.
Dalam bukunya Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690, Locke membagi kekuasaan menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan federatif. Kekuasaan legislatif yang dimaksud Locke sama seperti yang dikenal luas saat ini, yakni kekuasaan membuat undang-undang.
Bedanya, yang dimaksud legislator dalam gagasan ini bukanlah dari kalangan “rakyat”, melainkan kaum bangsawan. Legislator ‘wakil rakyat’ yang dimaksud Locke adalah para bangsawan.
Sementara, kekuasaan eksekutif berada di tangan ratu atau raja dan pembantu-pembantunya. Mirip dengan yang ada di negara moderen zaman ini.
Kekuasaan federatif yakni kekuasaan menjalin hubungan dengan kerajaan atau negara lain. Fungsinya serupa dengan Kementerian Luar Negeri saat ini.
Oleh Montesquieu, melalui bukunya Spirits of The Laws yang terbit tahun 1748, gagasan ini direvisi dan disempurnakan. Para legislator dalam gagasan filsuf Prancis ini bukan lagi berasal dari kaum bangsawan, melainkan dari rakyat yang dianggap mewakili suara mayoritas.
Perwujudanya di Indonesia berupa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan DPR Daerah (DPRD).
Montesquieu meniadakan kekuasaan federatif. Kekuasaan menjalin kerja sama dengan negara asing adalah bagian dari kekuasaan eksekutif berdasarkan hukum yang dibuat bersama legislatif.
Sebagai gantinya, Montesquieu memasukan kekuasaan yudikatif sebagai kuasa pengawasan pelaksanaan undang-undang.
Kekuasaan “menghukum” yang, dulunya, biasa melekat pada raja/ratu (eksekutif), menurutnya, harus berdiri sendiri. Hal ini untuk memberi rasa keadilan pada semua pihak.
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 24 ayat (2) Republik Indonesia, dikatakan bahwa lembaga yudikatif memiliki fungsi sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Menurut UU ada tiga lembaga yang berwenanang menyelenggarakan kekuasaan tersebut di Indonesia, yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, serta Mahkamah Komisi Yudisial.
Pembagian Kekuasaan di Sunda
Jauh sebelum kedua filsuf itu menggagas teori pembagian kekuasaan, entitas budaya di Nusantara telah lebih dulu memiliki sistem pembagian kekuasaan sendiri, Sunda salah satunya.
Dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (bertitimangsa 1440 Saka/1518 Masehi) yang diyakini sebagai kompilasi ajaran Prabu Guru Darmasiksa (w. 1297 Masehi) termaktub “teori” pembagian kekuasaan model Sunda yang diistilahkan Tri Tangtu Di Buana yang dapat dimaknai: tiga [hal] yang menentukan di dunia.
Dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan yang ditulis abad 16 M, dijelaskan mengenai tiga aspek kekuasaan dalam Tri Tangtu di Buana. Maharaja Trarusbawa, penguasa Sunda berkata :
Bagi kalangan Resi diperkenankan melaksanakan seperangkat aturan dasar demi kedamaian di seluruh negeri, yang bertanggung jawab atas urusan kesentosaan.
Kalangan Rama (diperkenankan) merumuskan seperangkat aturan dasar demi ketertiban undang-undang pemerintahan, yang bertanggung jawab atas urusan bimbingan.
Kalangan Prebu diperkenankan melaksanakan rumusan seperangkat aturan dasar demi ketertiban kedudukan pemimpin (raja), yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan…” (lembar nomor 7b)
Menurut Jacob Sumarjo dalam buku Estetika Paradoks, resi adalah pemegang kuasa adat atau pihak yang punya kehendak memerintah; ratu adalah yang menjalankan pemerintahan; rama adalah yang menjaga dan menggunakan dua kekuasaan itu.
Resi digambarkan Sumardjo semacam raja-pendeta yang tinggal di tempat yang jauh dari keramaian, umumnya telah berusia lanjut, banyak melakukan laku mistik (tapa, semedi), serta menulis ajaran-ajaran yang menjadi hukum/pedoman etik bagi lembaga-lembaga lain, yakni ratu dan rama.
Dalam kosmologi Sunda, resi, ratu, dan rama memiliki sifat yang disimbolkan dengan air, batu, dan tanah. Resi bersifat air. Ia merupakan asal segala perbuatan, yakni kehendak. Ratu bersifat batu. Ia merupakan “jembatan” kehendak menuju perbuatan, yakni pikiran. Sementara rama bersifat tanah. Ia adalah perbuatan, atau laku, yang merupakan pengejawantahan kehendak dan pikiran.
Dengan pembagian kekuasaan seperti ini, di Sunda tidak dikenal kekuasaan absolut yang sentralistik. Tidak ada pula gagasan raja-dewa (raja sebagai dewa atau titisan dewa) sebagaimana yang banyak terdapat di beberapa kerajaan pada masa lampau.
Dalam buku tersebut, Sumardjo menyebut bahwa gagasan tri tangtu ini sejalan dengan pola budaya yang terdapat dalam kebudayan Sunda, yakni pola tiga. Dalam kebudayaan pola tiga tidak ada konsep “sentral/pusat”, melainkan harmoni.
Secara sederhana, yang dimaksud kebudayaan pola tiga adalah kebudayaan yang memandang segala sesuatu di dunia ini mengandung tiga unsur. Ketiganya tidak saling mengungguli, melainkan menciptakan harmoni
Selain Tri Tangtu Sunda, di Minangkabau disebut Tali tigo atau Tigo Sajarangan, Bugis, dan di Batak disebut Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku) yang menurut Sumardjo digolongkan kebudayaan pola tiga. [ ]