Site icon Jernih.co

Ukur

Malam seolah mati ketika Ki Blontang duduk menekur merapal aji. Tak ada bunyi kodok, salak anjing di kejauhan atau pun serangga malam yang berbunyi. Mata prajurit Mataram itu terpejam dengan kedua tangan menangkup di dada.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode-11

Ketiga orang utusan Senapati Ronggonoto itu memacu kuda mereka cepat-cepat. Tak ada satu pun dari ketiga orang itu yang menampakkan raut wajah cerah. Muka-muka mereka menembaga, dengan garis bibir melengkung ke bawah. Mereka semua terlihat sangat kecewa.

Tentu saja pada saat di Balairung, tata sopan santun tak memberi mereka kesempatan membuka kanjut kundang pemberian Bupati Sutapura untuk melihat isinya. Tetapi sifat rakus yang tertanam dalam jiwa ketiga orang itu membuat mereka segera minta diri. Apalagi memang Bupati Sutapura pun seolah memaksa mereka segera pergi, seolah mengusir orang-orang Mataram itu untuk segera enyah dari Tatar Ukur.

Pada saat di istal kuda para tetamu keraton, kesempatan untuk membuka kanjut kundang itu terbuka.

“Oi, Ki Sanak, menunggu apa lagi kita? Bukalah, dan bagi rata,” kata salah seorang dari ketiganya, tak sabar menunggu kepala rombongan membagi upah mereka.

Kepala rombongan, yang dipanggil Ki Sanak itu mendengus. Mungkin ia merasa otoritasnya terusik.

“Hai Tejo, jaga mulutmu. Bersabar sedikit tak akan membuat kepalamu hilang. Justru hal sebaliknya bisa membuat kau pulang ke tanah Mataram hanya tinggal nama,” kata si kepala rombongan. Matanya mendelik. Kemarahan juga membuat kumis ijuknya terangkat dan kian tajam mengeras.

“Lagian, siapa yang harus membagi adil? Kalian anak buahku, Kanjeng Senapati memintaku mengabari bupati tak tahu diuntung tadi. Aku memilih kalian berdua. Jadi pembagiannya ya terserah aku.”

Orang yang disebut Tejo melengoskan wajah, membuang muka menutupi kekesalannya. Ia merasa dirinya dan kawannyalah yang paling susah selama perjalanan ke Tatar Ukur ini. Sepanjang perjalanan si kepala rombongan seolah bangsawan, minta diperlakukan istimewa. Mencari air, memanah atau menjerat binatang untuk makanan di saat tak ada warung pinggiran jalan, mencarikan tempat berbaring yang nyaman, bahkan kadang si kepala rombongan itu melunjak dengan meminta kedua anak buahnya itu memijatinya bergantian. Lalu alasan apa yang melarang pembagian itu dibuat rata?

“Ya semaumulah, Kakang,” kata rekan Tejo, sesama anak buah si kepala rombongan. “Hanya kalau dibagi rata bertiga, kan lebih gampang, tinggal membuat isi wadah itu menjadi tiga gundukan.”

Rupanya orang itulah yang paling polos di antara anggota rombongan, atau pilon barangkali tepatnya. Dia pikir pembagian uang itu laiknya pembagian beras atau buah duku, dibagi dalam gundukan.

“Yaa sudahlah, mari!” kata si kepala rombongan. Di istal itu terdapat meja kayu kasar dikelilingi empat atau lima kursi tanpa sandaran. Bukan kursi sebenarnya, hanya potongan kayu gelondongan yang tingginya pas sebagaimana kursi. Pada satu di antara kursi kayu itulah si kepala rombongan menghempaskan pantatnya.

Diambilnya kanjut kundang dari balik sabuknya. Dibukanya tali temali yang mengikat kantong itu, lalu curahkannya isinya ke atas meja. Beberapa puluh keping mata uang tercurah ke atas meja. Tak hanya bunyinya, warna keping-keping mata uang itu segera membuat ketiganya mendengus kecewa. Alih-alih bunyi denting mata uang emas, atau setidaknya perak, puluhan mata uang yang kini tergolek di meja itu segera menambah rasa haus mereka bertiga.

“Sialan! Mata uang tembaga!”

Si kepala rombongan menggebrak meja di depannya dengan marah. Setelah kekecewaan akan penerimaan Bupati Sutapura tadi, tumpukan uang tembaga itu kini telah membuatnya gusar.

“Kurang ajar, bupati gila! Sekian hari berkuda menghadapi ancaman di perjalanan, membawa kabar untuk kepentingan dia, kita hanya dihargai keping-keping tembaga ini! Buat bekal selama perjalanan pun belum tentu kepeng-kepeng ini bersisa,” kata dia.

Dua anak buahnya tentu saja merasakan kekecewaan serupa. Bahkan mungkin saja lebih besar. Keduanya merasa waktu sepekan perjalanan akan lebih bermanfaat bila mereka gunakan untuk pekerjaan lain di Mataram.

“Kita rampok saja orang-orang kaya Tatar Ukur ini,” kata Si Tejo, memberikan usul. “Kita lari ke wilayah Mataram setelah cukup mendapatkan harta benda mereka. Paling tidak, kerugian kita bisa diganti.”

Rekannya dan kepala rombongan tak menanggapi. Tetapi mata-mata mereka yang merah menyala menegaskan usulan Tejo itu layak untuk dicoba.

Kenyataan yang mereka hadapi di istal itulah yang membuat ketiga utusan itu memacu kuda mereka kencang-kencang. Dalam perjalanan ke Ukur sebelumnya, mereka memang sedikit menandai beberapa rumah di dukuh-dukuh yang mereka lewati. Di beberapa dukuh itu mereka melihat para tengkulak hasil bumi dan para rentenir hidup berkelebihan.

Saat mereka makan di satu warung, mereka menyaksikan sebuah kereta kuda membawa istri seorang tengkulak berbelanja di pasar yang mereka singgahi. Tak hanya pakaian mahal dari sutera dan kain batik buatan Mataram yang mereka tahu betapa harganya, dipakai istri tengkulak itu.

Perhiasan emas berlian yang dipakai istri tengkulak itu pun membuat ludah mereka mencucurkan liur saking tergoda. Saat itu pun sebenarnya rencana jahat itu mulai muncul. Kini, tipisnya imbalan kerja mereka membuat rencana itu menjadi keharusan untuk diwujudkan.

Di sebuah tikungan tajam, hampir saja mereka menabrak seorang penunggang kuda putih yang datang dari arah berlawanan. Untunglah, baik kuda mereka maupun kuda putih yang ditunggangi seorang anak muda pertengahan 20-an tahun itu termasuk kuda jempolan. Tabrakan pun bisa terhindar.

“Eiit!”

Si kepala rombongan menarik tali kekang kudanya, membuat kuda itu berhenti menghindari tabrakan. Kedatangan kuda putih dari arah berlawanan di tikungan setajam itu memang layak membuat mereka kaget.

“Hati-hati, Ki Sanak!” teriaknya gusar.

“Ah, kau juga mesti hati-hati,” teriak anak muda di punggung kuda putih gagah itu. Tetapi anak muda itu tak berhenti. Ia terus memacu kudanya tanpa menghiraukan mereka lagi.

“Anak muda sialan! Kalau berhenti. Aku akan pisahkan kepala congkaknya itu dari badan dia.” Si kepala rombongan menggerutu.

“Ah, biarkan saja Kakang. Dia takut, makanya lari terus,” kata Tejo. Tapi sejenak kemudian ia berkata,” Hanya sepertinya aku pernah melihat orang itu. Di mana ya?”

“Ah kau, Tejo. Ternyata bukan hanya perempuan cantik yang kau ingat. Laki-laki tampan pun masuk dan tersimpan dalam benakmu. Ha ha ha ha…” Rekan Tejo tertawa ngakak. Si kepala rombongan pun akhirnya ikut tersenyum.

“Kau suka gemblak juga ternyata, Tejo.”

Tejo sebentar terpancing untuk melayani kelakar bersemu hinaan dari dua teman seperjalanannya. Hanya segera itu pula ia terpikir mengurungkan.

“Tidak, aku memang pernah melihat orang itu. Sebentar aku pikirkan. Silakan kalian tergelak, tapi aku merasa soal ini akan jadi masalah kita ke depan. Naluriku mengatakan begitu,” kata Tejo.

Namun Tejo tak punya kesempatan memikirkan siapa penunggang kuda putih itu lebih lanjut. Kedua rekannya segera melecut kuda mereka sekencangnya sehingga mau tak mau Tejo pun harus mengikuti keduanya kalau tak ingin tertinggal jauh.

Ketika cahaya matahari digantikan sinar layung, tibalah ketiganya di suatu dataran tinggi. Kepala rombongan menahan laju kuda, sehingga kuda itu kini berjalan satu dua, lambat-lambat.

“Kalian lihat di sana,” katanya menunjuk gundukan permukiman jauh di lembah. Kebanyakan beratap rumbia, ilalang yang anyam sebagai atap rumah penahan air hujan dan terik matahari, terutama. Hanya beberapa saja di antara rumah-rumah itu yang beratapkan genting bakar, tanda kehidupan yang lebih sejahtera.

“Di kampung itu kita kemarin bersua dengan tengkulak sekaligus rentenir yang istrinya macak itu,” kata dia. “Terlalu macak hingga segala perhiasan mahalnya ia pakai hanya untuk berbelanja ke pasar. Perilaku sombong yang akan merugikan dirinya. Tapi bagi kita ya…bagus-bagus saja. Kita jadi tahu siapa dan rumah mana yang harus kita tuju,” kata dia, diiringi gelak tawa.

“He he he, iya Ki Blontang,” kata si pilon yang dungu berhitung itu. Ternyata nama kepala rombongan itu Blontang. “Sayang kemarin di pasar tidak kita tanya ya, berapa masing-masing harga perhiasan yang ia pakai.” Lalu ia pun tertawa, tak berhenti manakala Ki Blontang memandangnya dengan pandangan terheran-heran.

“Apa maksudmu bertanya kepada perempuan itu soal harga barang-barang perhiasannya?” tanya Ki Blontang, penasaran.

Tanpa merasa ada yang ganjil dengan pernyataannya barusan, si pilon menjawab enteng.

“Lha, kita kan harus memastikan orang yang kita rampok itu benar-benar kaya. Siapa tahu kan, perhiasan itu barang gadaian yang digadaikan pemilik aslinya dengan harga rendah? Kan rendah pula harga perhiasan itu sejatinya. Paling tidak, dalam catatan harta si istri tengkulak itu.”

Mendengar jawaban tersebut nyaris saja Ki Blontang menampar anak buahnya itu. Namun segera ia mengurungkan niatnya. Buat apa menampar orang bego, hanya akan menambah persoalan tak perlu. Mungkin bahkan bagus-bagus saja, paling tidak bisa menggunakan tenaganya dengan bayaran murah.

“Kita istirahat di sini. Malam nanti, sesaat sebelum tengah malam, ketika tukang ronda mulai mengantuk, kita turun ke lembah. Pastikan senjata kita terasah,” kata Ki Blontang. Lalu ketiga orang itu pun turun dari kuda, mencari tempat yang nyaman untuk rebah hingga malam tiba.

***

Perjalanan bulan telah lewat titik puncaknya saat kawanan bertiga orang tersebut mengendap-endap mendekati rumah besar beratap genting itu. Rumah itu dikelilingi tembok sekitar dua kali tinggi badan orang rata-rata, laiknya benteng. Benar seperti benteng, karena paling tidak ada tiga gerbang yang dijaga masing-masing dua penjaga bersenjata golok di pinggang.

“Ssst!” kata Ki Blontang, saat si pilon menginjak ranting kecil yang membuatnya patah dan mengeluarkan suara. Cukup berisik di tengah malam yang hening itu.

“Berhenti dulu,” kata Ki Blontang saat mereka tiba di sebuah rumpun perdu di pinggir tembok. Ia segera bersila. Kedua anak buahnya berhenti, namun tak ikut bersila, hanya diam melihat apa yang ia kerjakan.

Ki Blontang merogoh kantong yang selalu menggantung di lehernya. Isinya tanah kuburan seorang perawan yang mati pada hari-hari dan wuku[1] tertentu. Tanah itu jadi berguna bagi penganut ilmu hitam, hanya setelah ia melakukan ‘laku pati geni’ selama beberapa waktu.

Ilmu yang berhubungan dengan tanah kuburan perawan adalah aji sirep begananda, mantera penidur, yang awalnya konon diciptakan Indrajit, adik Rahwana dan panglima terkemuka Alengka Dirja.

Belakangan setelah masuknya Islam, guna mendiskreditkan Islam, oleh kalangan sinkretis yang sakit hati karena kian terpinggirkan, dibuatlah mantera yang seolah-olah Islami, karena melibatkan nama Allah di dalamnya.

Malam seolah mati ketika Ki Blontang duduk menekur merapal aji. Tak ada bunyi kodok, salak anjing di kejauhan atau pun serangga malam yang berbunyi. Mata prajurit Mataram itu terpejam dengan kedua tangan menangkup di dada.

“Hong..

Ingsun amatak ajiku sirep begananda

Kang ana indrajit, kumelun nglimuti ing mega malang

Bul peteng dhedet alimengan upas racun daribesi

Pet pepet kemput bawur wora wari aliweran tekane wimasara

Kang katempuh jim setan peri prayangan

Gandarwa, jalma manungsa tan wurung ambruk lemes

Wuta tan bisa krekat, blek sek turu kepati saking kersane Allah.”

Usai merapal mantera Ki Blontang berdiri mendekati tembok. Disebarnya tanah kuburan yang tadi ia ambil dari kantong.

“Weer….!” Mau tak mau sebaran itu menimbulkan bunyi di tengah malam sehening itu.

“Kita tunggu sambil minum klembak,” kata Ki Blontang sambil menyulut klembaknya. Bau kemenyan menguar menambah suasana ganjil. Tak ada bunyi apa pun, seolah semua penghuni bumi selain mereka bertiga telah mati.

“Ayo!” kata Ki Blontang setelah isapan klembak terakhir yang terlihat nikmat ia sesap. Dengan enteng ia mencelat melompati tembok. Tentu saja kedua anak buahnya melongo tak bisa ikut cara itu. Mereka berlari ke arah gerbang dan mendapati dua tubuh penjaga bergeletakan.

“Wuiih, iki koyo mampus, Jo,” kata si pilon. “Tumbang, nyaris seperti mati.” Tejo tak merespons. Ia lebih memilih menggeradah saku-saku baju dan sabuk kedua orang itu.

“Nanti saja, di dalam lebih banyak!” kata si pilon.

“Alah, memang kau tahu pasti di dalam lebih banyak? Ini saja dulu yang pasti-pasti,” kata Tejo menjawab sambil memasukkan beberapa kepeng tembaga ke dalam sabuk kulitnya. Ada juga sebuah kepeng perak, yang mengkilat di bawah terpaan cahaya bulan.

“Hoi, ayo! Kenapa kalian?” terdengar teriakan dari depan pintu rumah. Ki Blontang sudah berdiri di sana. Saat mereka mencoba mendorong pintu, ternyata pintu itu terkunci. Tampaknya pintu kayu jati itu dipalang dari dalam.

“Haram jadah, ternyata pelit sekali si empunya rumah. Terkunci, membuat penjaganya sendiri tak bisa ambil minum kalau haus,” kata Ki Blontang.

Ia lalu mundur dua langkah. Kedua tangannya terkepal di depan dada. Setelah menarik nafas, Ki Blontang melompat ke depan tepat di muka pintu. Kedua tangannya yang mengepal menghajar pintu tersebut sekuat tenaga.

“Bruaaaak!”

Pintu jati dari kayu berumur lebih dari 50 tahun itu pun terbelah. Tampak pula palang penahan pintu yang kini tergolek patah di dalam rumah. Namun suara berisik itu tak sedikit pun membangunkan penghuni rumah dan penjaga yang tentu saja ada.

“Ayo, gasak apa pun yang berharga! Jangan coba-coba sentuh istri si tengkulak tengik penarik rente ini. Perempuan itu bagianku!” teriak Ki Blontang. Ia mendahului masuk ke dalam dengan langkah tergesa dan panjang.

Ketiga kawanan maling itu segera memasuki kamar-kamar yang ada. Ternyata tengkulak itu benar-benar seorang yang kaya raya. Dari setiap kamar yang mereka masuki, ada saja yang bisa diambil maling-maling itu. Namun entah pula, barangkali juga sebenarnya maling-maling itu yang terlalu rakus. Soalnya, barang berharga yang memberatkan pelarian mereka pun, seperti keramik Cina kuno yang jelas sekali mahal harganya, tak luput mereka kumpulkan di tengah rumah.

Bahkan sebelum mereka memasuki kamar tidur utama, sarung-sarung masing-masing orang itu sudah penuh menggelembung. Sarung-sarung tersebut mereka ambil dari rumah si tengkulak, mereka jadikan semacam kantong pembawa barang.

“Tinggal kamar ini yang belum kita masuki,” kata Tejo di muka pintu kamar utama.

“Siapkan satu sarung lagi. Ini sudah pada penuh,” kata Ki Blontang. Si pilon mengajukan selembar sarung. Ia memang membawa berlembar-lembar sarung dari sebuah lemari di satu kamar tidur. Kamar tidur anak-anak si tengkulak, yang tertidur sangat pulas laiknya mati. [bersambung]


[1] Wuku adalah bagian dari siklus tujuh atau lima hari dalam penanggalan Jawa dan Bali. Perhitungan wuku (Jawa: pawukon) masih digunakan di Bali dan Jawa.

Exit mobile version