“Kula hanya ingin agar anak-anak buyut kula tak merasa hina, dalam darahnya mengalir darah seorang pengecut,” kata Umbul Malangbong. Diliriknya umbul Sindangkasih, umbul Sukakerta, Cihaurbeuti dan Indihiang, seakan mengejek mereka. Dan memang, ia mengejek mereka.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—
Episode–26
Nyi Mas Ukur bergeming. Tak ada ruang untuknya meloloskan diri. Kepungan para prajurit Mataram itu begitu rapat, sementara Ronggonoto hanya tinggal dua langkah di depannya, siap memeluknya.
Seolah kilat, ingatan akan Putri Citraresmi Sang Dyah Pitaloka, putri Padjadjaran yang nemasing pati di Lapangan Bubat untuk mempertahankan harga diri melintas di benak Nyi Mas Ukur. Harga dirinya pribadi, harga diri keluarga, serta lebih jauh lagi harga diri warga Tanah Sunda.
Ingatan itu segera memberinya keyakinan yang teguh akan apa yang harus ia kerjakan. Secepat kilat, tangannya meraba patrem yang disembunyikan di paha, lalu dengan gerakan gesit diserangnya Ronggonoto.
“Cadu diri aing kudu katapelan raga sia, Duruwiksa! Haram badanku bersatu dengan badanmu, Penjahat!”
Andai saja Ronggonoto bukan seorang prajurit senior yang melatih diri dengan sekian banyak ilmu kanuragan, tentu ususnya sudah terburai karena serangan tersebut. Namun tentu, ia tak akan diangkat menjadi senapati Mataram bila hal seperti itu sudah bisa membuatnya mati terkapar.
Meski kaget, Ronggonoto sempat menghindar dengan hanya menarik satu kaki dan memiringkan badan. Namun tak urung patrem itu mengoyak kulit perutnya. Darah seketika berceceran.
“Bangsat!” teriaknya geram. Bukan luka itu benar yang membuatnya geram. Untuk ukuran prajurit, luka seperti itu bahkan wajar diabaikan. Tetapi kesadaran bahwa dirinya memang telah sama sekali membuat para lawan jenis tak tertarik, itulah yang paling membuatnya sakit.
“Mungkin kau memang menghendaki mati, Nyi Mas!” katanya. Lalu, sambil memasang kuda-kuda ia memerintahkan anak buahnya menyerang Nyi Mas Ukur. Seorang senapati Mataram, tanpa malu telah memerintahkan mengeroyok seorang perempuan.
Belum lagi para prajuritnya menerjang menyerang Nyi Mas Ukur, sebuah teriakan menyayat terdengar dari seorang prajurit. Patrem Nyi Mas Ukur mulai mereguk darah korbannya. Seorang prajurit kelejotan dengan usus terburai.
“Grrrh,” Ronggonoto kembali mendengus. Kemarahannya tak tertahan melihat prajuritnya seolah jadi lalapan.
“Dasar iblis betina,” katanya.
Lalu dengan lompatan panjang diserangnya Nyi Mas Ukur. Kini di tangan Ronggonoto terkepal erat sebilah keris bereluk tujuh, siap membinasakan Nyi Mas Ukur.
Nyi Mas Ukur melompat menghindar. Tak hanya menghindar, ternyata patremnya punya mata untuk memilih mana prajurit yang paling teledor. Orang yang disasarnya memang silap mata. Hanya mampu terbelalak dengan muka terperanjat pucat, sebelum sedetik kemudian ujung patrem itu menembus dada, mengoyak jantungnya. Maka cerita hidup prajurit Mataram itu pun segera co.id (ko’it) di tangan Nyi Mas ukur.
Ronggonoto makin gusar melihat satu persatu prajuritnya berguguran. Sementara Nyi Mas Ukur pun sadar, tak ada gunanya terus melawan. Pasukan Ronggonoto berpencar memasuki satu persatu rumah, melakukan penjarahan materi dan melecehkan para perempuan yang ada di dalamnya. Hanya soal waktu sebelum mereka semua datang berkumpul mencari pimpinannya di sini.
“Modaar!” teriak Ronggonoto dalam gusar, melompat sambil menusukkan tombak mengincar Nyi Mas Ukur. Ia telah menggenggam tombak yang tampaknya diambil dari anak buahnya.
Nyi Mas Ukur berkelit. Matanya sigap mencari jalan lepas dari kepungan. Seorang prajurit Mataram di sebelah kirinya menunjukkan sorot mata jeri. Dialah titik yang akan diserangnya.
Sembari melompat Nyi Mas Ukur mengarahkan patremnya menusuk leher si prajurit. Itulah, jangan pernah planga-plongo, apalagi dalam peperangan. Tak sempat melakukan respons apa pun, lehernya telah tersate patrem Nyi Mas Ukur, langsung membualkan ceceran darah. Saat Nyi Mas Ukur menarik patremnya, terdengar suara mengorok keras, sebelum tubuh prajurit itu berdebam membentur tanah.
Nyi Mas Ukur tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sebuah ruang telah terbuka dengan jatuhnya si prajurit, dan itu kesempatan untukny meloloskan diri dari kepungan.
“Ciaaat!” Nyi Mas Ukur melompat, menggunakan ruang kosong itu untuk kabur.
Sayang, ia tak sempat melihat dulu kondisi sekeliling sebelum lari. Lari artinya membelakangi musuh-musuhnya, membiarkan punggungnya bebas tanpa penjagaan. Baru saja kakinya melangkah selangkah dari pelarian, sebuah benda berdengung melayang di belakang. Tak sempat lagi Nyi Mas Ukur menghindar. Terpikir pun tidak karena ia fokus mencari jalan keluar dari kepungan.
“Bles!”
Nyi Mas Ukur mengaduh. Tubuhnya jatuh berdebam ke depan, seiring tenaganya berlari ke depan berpadu dengan tenaga lemparan tombak yang menembus punggung hingga dadanya. Sekelebat bayangan suaminya, Ukur, datang menghampiri benaknya. Tak lama. Tombak itu menembus jantungnya, memberinya kematian yang cepat. Kematian yang gagah, laiknya para prajurit di medan laga.
“Halah, kau sia-siakan tubuh indahmu, Nyai. Dasar tak punya otak.” Senapati Ronggonoto datang menghampiri tubuh yang kini berkubang darahnya sendiri itu. Dialah yang menombak Nyi Mas Ukur, dari punggung mengenai jantung, tembus ke dada. Tak tampak penyesalan di wajahnya yang buruk rupa. Kalau pun ada, mungkin memang hanya berkisar pada bayangan tentang impiannya menikmati tubuh itu sebelumnya. Kini, setelah nyawa lepas dari raga, raga indah itu bagi dirinya tak lebih dari bangkai.
Dengan sebelah kaki diinjaknya punggung Nyi Mas Ukur, untuk mencabut tombak tersebut. Dengan kaki itu pula dibaliknya tubuh perempuan pemberani itu. Ia melengos, terlihat malu manakala dilihatnya wajah perempuan yang dibunuhnya. Wajah yang cantik ayu, dengan roman bersinar dan senyum lebar. Seolah setelah kematiannya ia pergi ke alam lain dijemput para bidadari, atau makhluk kebaikan dari alam setelah mati, apa pun namanya itu.
Tak tahan berlama-lama memandangi tubuh Nyi Mas Ukur, Ronggonoto segera mengumpulkan bala tentaranya.
“Kejar yang lain. Jangan biarkan lolos. Bunuh kalau melawan. Yang menyerah bawa ke Kartasura, buat jadi budak-budak kita,” katanya kepada prajuritnya. Tak lebih dari sepeminuman klembak, wadya bala tentara Mataram itu pun telah meninggalkan kampung Pasir Angling. Api berkobar di setiap rumah manakala wadya Mataram meninggalkan kampung di lereng Gunung Bukit Tunggul itu.
***
Pagi berikutnya baru tubuh Nyi Mas Ukur ditemukan suaminya. Ukur memeluk raga mati yang lengket oleh darah itu. Ditangisinya sang istri tanpa mempedulikan bagaimana tanggapan para anak buahnya. Wajar, bagaimana pun kehilangan istri dengan cara itu terlampau menghunjam jiwa yang baru saja sakit karena pengkhianatan orang-orang Wetan di Batavia. Apalagi kebanyakan anak buahnya pun sibuk ke sana ke mari mencari keluarga mereka masing-masing. Beberapa ditemukan, ada yang masih bernyawa, namun tak jarang sama seperti nasib yang dialami Ukur, istri, atau anak, atau ayah-ibu mereka pun telah perlaya. Ada yang menemukan anak-istri mereka sekeluarga terikat di tiang tengah rumah, sementara rumah itu sudah menjadi puing sisa-sisa dimakan api. Tampak, mereka diikat di tengah rumah, lalu rumah itu dibakar para penjarah.
Sore hari, baru Ukur dan anak buahnya bisa berkumpul. Mereka saling berkabar, seraya mencatatkan keluarga siapa saja yang perlaya dan mana yang masih ada. Syukurlah, Kanilaras segera ditemukan bersama para emban mereka. Gadis kecil itu ditemukan dalam kondisi ketakutan, trauma bersembunyi di sebuah gua di hutan terdekat.
Kanilaras menghambur begitu melihat ayahnya, menubruk ke pangkuan Ukur. Ukur mendekapnya erat, kembali menangis. Ia meminta anaknya itu bersabar. Meski masih kecil, Kanilaras sempat menjerit begitu tahu ibunya telah meninggalkan mereka ke alam barzakh. Alam yang hanya bisa ia jangkau setelah kematian. Untunglah, layon Nyi Mas Ukur telah dipulasara dengan baik. Meski karena kekurangan kain putih, jenazah itu dibalut dan dikafani dengan kain batik yang ada. Gadis kecil itu menciumi jenazah ibunya yang tersenyum damai. Itu sedikit mengurangi kesedihan gadis yang usianya bahkan belum enam tahun itu.
“Bapak,” kata Kanilaras, berbisik kepada Ukur. “Ema..Ema..,” kata dia. Entah apa yang ia maksud. Ukur tidak menjawab. Juga tak hendak bernasihat apa pun kepada gadis kecilnya itu. Ia tahu, terlalu pedih buat Kanilaras menghadapi semua ini.
Ukur hanya mengelus-elus kepala Kanilaras, menunjukkan betapa ia sangat menyayanginya. Kanilaras, meski belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tampaknya memahami atmosfer kesedihan yang ada saat itu. Ia pun akhir menangis tersedu dalam dekapan ayahnya.
Sore itu, setelah penggalian puluhan kubur, jenazah para korban pun dikebumikan. Orang-orang kembali berkumpul di tengah kampung yang kini tinggal puing itu. Hanya ada satu dua rumah tersisa. Ukur sendiri memilih menggelar tikar dan alketipnya di dekat sebuah pohon sawo besar yang rindang di tengah kampung. Lalu dimintanya kedua anaknya beristirahat di sana. Dapur umum sederhana pun segera didirikan.
Malamnya, wadya bala Ukur berkumpul untuk mengambil kata sepakat apa yang akan dilakukan. Forum itu sekalian pula digunakan untuk menghitung berapa kekuatan Ukur-Sumedang yang masih tersisa. Beberapa umbul ternyata sudah tinggal nama, perlaya di medan jurit Batavia.
Ada dua pendapat yang mengemuka dalam rapat. Pertama, desakan agar Ukur segera berangkat ke Kartasura, melaporkan kekalahan penyerangan Batavia. Bagaimana pun, kata mereka yang mengangkat pendirian itu, Ukur harus datang dan lapor sebagai bentuk tanggung jawabnya. Persoalan alasan di balik kekalahannya, biarkan Sultan Agung yang menentukan kuat tidaknya alasan tersebut.
Tentu saja Ukur tak harus merespons permintaan yang ganjil dari Umbul Surakerta, Ngabéhi Wirawangsa; Umbul Sindangkasih, Ngabéhi Somahita; Umbul Cihaurbeuti, Ngabéhi Astamanggala, dan Umbul Indihiang, Uyang Sarana tersebut. Para umbul yang setia padanya yang tak hanya menjawabkan, melainkan menyerang argument keempat umbul tersebut. Menurut mereka, para umbul itu tak lain kecuali ingin memberikan leher Ukur untuk dipancung Sultan Agung.
Pendapat kedua, mayoritas umbul dan pangagung, antara lain, bupati Karawang, Umbul Ciasem, Umbul Tarogong, Umbul Taraju, Umbul Sumedang, Umbul Pamanukan, Umbul Limbangan, Umbul Malangbong dan lain-lain, sadar bahwa Mataram tak lain dan tak bukan kecuali penjajah Tatar Sunda. Sikap mereka, baik saat tak menepati janji untuk melakukan serbuan bersama di Karawang, atau pun yang lebih tegas lagi, dengan melakukan penjarahan di Tatar Ukur, adalah sikap seorang penjajah. Tak ada yang mereka harapkan kecuali tanah dan kekayaan Tatar Sunda untuk kepentingan mereka. Dengan apa yang telah terjadi, sebenarnya jelas sudah, mereka menginginkan Batavia, tapi tak hendak berkorban. Mereka ingin pengorbanan itu ditanggung orang-orang Sunda.
“Jadi, pilihannya hanya satu, ditindas dan tetap diam sebagaimana selama ini kita lakukan, atau ditindas tapi melawan,” kata Umbul Sumedang. “Kita tak ingin nama kita, ratusan tahun yang akan datang dipandang dengan jijik dan diludahi anak cucu karena saat ini kita tidak melawan.”
“Kula hanya ingin agar anak-anak buyut kula tak merasa hina, dalam darahnya mengalir darah seorang pengecut,” kata Umbul Malangbong. Diliriknya umbul Sindangkasih, umbul Sukakerta, Cihaurbeuti dan Indihiang, seakan mengejek mereka. Dan memang, ia mengejek mereka.
Saat gempungan (rapat—pengarang) selesai, mereka sepakat, tak ada cara lain kecuali harus melawan Mataram. Mungkin tak harus datang ngajorag alias menyerang, karena pasti wadya bala Mataram akan ada yang ditugaskan untuk datang menangkap dan mengadili Ukur sebagai pimpinan balatentara Sunda. Tapi semua setuju, mereka tak akan menyerahkan Ukur, pimpinan mereka begitu saja. Di kemanakan sikap keprajuritan mereka yang selama ini berintikan kebersamaan dan rasa senasib sepenanggungan? Di kemanakan budi pekerti dan rasa rumasa mereka sebagai urang Sunda? Bukankah bahkan kawanan oa dan kera pun tak pernah membiarkan begitu saja anggota kawanan mereka diserang kawanan lain? Apalagi yang akan diambil paksa untuk dibunuh itu adalah pimpinan mereka yang selama ini tak pernah punya catatan angkara dan serakah. Tidak.
Semua setuju untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan besar tersebut. Apalagi saat ini pun wadya bala Mataram masih ada di tatar Sunda. Belum lagi tentara Mataram yang ada di Batavia untuk meneruskan serangan.
Gempungan juga menyepakati agar wadya bala Sunda pindah ke Gunung Pongporang dan mempersiapkan diri sebaik mungkin di sana. Di Gunung yang berada di antara tanah Karawang dengan wilayah Ujungbrung (nama Bandung saat itu belum dikenal—pengarang) itu mereka akan bertani, menanam palawija atau apa pun untuk hidup, seraya membangun benteng pertahanan.
Hari berikutnya, sengaja berangkat sore hari karena bagaimana pun mereka pasti bermalam di perjalanan, rombongan besar wadya bala Tatar Ukur itu pun bergerak menuju Gunung Pongporang. Gunung itu mereka temukan dalam perjalanan pulang sebelumnya, dari Batavia. Di gunung tersebut mereka menemukan dataran rata yang subur dan bisa ditanami, dengan air terjun jernih mengalir yang akan mencukupi kebutuhan mereka akan air. Belum lagi beberapa sungai kecil yang tampaknya menyediakan keperluan akan ikan sungai. Hutan-hutan di sekelilingnya pun masih memberi kemungkinan untuk mencari binatang buruan guna mencukupi keperluan akan daging. Dengan kata lain, saat mereka menjumpainya dalam perjalanan pulang, mereka sepakat bahwa gunung itu layak dijadikan hunian. Kini, saat kebutuhan itu datang seiring serangan Mataram, Pongporang pun segera mengemuka sebagai pilihan.
Segera setelah sampai, masing-masing umbul mengatur tentaranya menempati wilayah yang telah dibagi-bagi. Semua umbul mendapat bagian, kecuali keempat umbul yang sejak awal menentang upaya melawan Mataram. Batang hidung mereka pun tak terlihat lagi. Ukur dan semua umbul tahu, subuh-subuh usai gempungan, mereka memang kabur diam-diam sambil membawa para prajurit mereka pulang ke kampung halaman. Dan mana mungkin diam-diam, manakala masing-masing umbul membawa ribuan orang. Tapi Ukur memang mendiamkan. Apa yang harus ia lakukan? Menghukum mereka di tempat? Semua hanya akan menambah persoalan. Biarlah, toh mereka sudah dewasa dengan pemikiran mereka masing-masing. Lagi pula, lebih berbahaya menahan mereka mereka untuk tetap bersama, sementara mereka jelas-jelas pro kepada musuh. Lebih baik begitu, jelas, sehingga jelas pula nama mereka di mata rakyat Sunda, tak hanya di mata rakyat masing-masing keumbulan itu.
Belakangan, Ukur dan para nonoman Sunda yang anti-Mataram kemudian tahu, keempat umbul itu tidak pulang ke tempat mereka masing-masing setelah kabur diam-diam dari Bukit Tunggul. Mereka justru berangkat ke Kartasura, melaporkan Ukur kepada Sultan Agung. Tentu bukan sekadar melapor, tapi membumbuinya dengan aneka cerita hanya agar kepala mereka tak lepas dari batang leher masing-masing. Syukur-syukur jilatan mereka direken oeh kanjeng Sultan, sehingga mereka masih bisa berharap mendapatkan hadiah atau raja brana apa pun untuk oleh-oleh pulang ke kampung halaman. Belakangan, Ukur juga tahu, mereka semua mendapatkan tugas untuk membawa dirinya, hidup atau mati ke hadapan kanjeng Sultan.
Ukur hanya sekitar sepekan berada di Pongporang. Ia minta izin kepada para umbul bawahannya untuk mencari Ronggonoto. Awalnya ia hanya akan berangkat seorang diri. Tentu saja berbahaya karena Ronggonoto saat ini mengepalai puluhan, bahkan bukan tak mungkin ratusan prajurit Mataram untuk mengobrak-abrik Tanah Sunda. Akhrnya setelah didesak, Ukur menyetujui dirinya diiringkan sekitar 100 prajurit pilihan untuk bersamanya mencari Ronggonoto.
Pagi itu, usai subuh dan pamitan kepada anaknya, menciumi dahi Kanilaras berulang kali, Ukur menaiki kudanya, Sembrani. Dia berangkat ke arah selatan, menuju wilayah Tatar Ukur dan sekitarnya untuk mencari Senapati Ronggonoto. Musuh yang ia sesali mengapa dulu tak langsung dibikin mati. [bersambung]