Site icon Jernih.co

UKUR

“Mohon maaf, Tuan,”katanya. Bagaimana pun, setahun mengenal laki-laki itu sedikit menerbitkan rasa hormat di hati Mahmuddin. Lalu dengan sigap diraihnya rambut Jenderal Coen, dan ditekannya agar mayat itu sedikit mendongak. Dengan kesigapan seorang jagal yang terbiasa menggorok leher binatang ternak, belati itu menembus kerongkongan Coen

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Pengantar:

Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—

Episode-32

Perlakuan Mataram kepada kedua orang Tionghoa tawanan mereka itu berakibat buruk. Orang-orang Tionghoa yang sejak penyerbuan pertama senantiasa lebih mengutamakan berdagang, dan hanya turun berperang manakala orang-orang Kompeni sudah terlihat bakal memetik kemenangan, alias sebenarnya tak membantu apa pun,  setelah peristiwa itu berubah. Mereka bukannya takut seperti yang mungkin diinginkan Mataram. Orang-orang Tionghoa justru marah. Marah besar! Souw Beng Kong, kapiten Cina yang diangkat Kompeni, apalagi. Besar kemungkinan mereka kini akan ikut dalam setiap pertempuran Kompeni melawan para penyerbu, pasukan Mataram.

Mulai 7 September, pasukan Mataram merangsek maju. Mereka kini sudah memasuki jarak tembak meriam. Pasukan Mataram dibagi tiga, masing-masing pasukan dipimpin Adipati Jumenah, Pangeran Purbaya dan Pangeran Puger. Sementara Tumenggung Singaranu ikut memimpin pasukan yang dipimpin Pangeran Puger. Lebih dari sepekan orang-orang Mataram terus berupaya menaklukan benteng Hollandia, Bommel dan Weesp. Mereka terutama menyerang pada malam hari, manakala kegelapan sudah mengungkung. Orang-orang Mataram percaya, di malam hari, mata orang-orang Kompeni yang serupa gundu—hijau, biru, itu tak melihat sebaik siang hari. Orang-orang Mataram percaya, mata-mata yang berwarna warni itu menderita kotoken  laiknya ayam-ayam yang rabun mulai senja hari. Konon, orang-orang Mataram percaya, saking kotoken, orang-orang Kompeni itu sering kali tertukar istri mereka di malam hari!

Pada hari kelima penyerangan, tanggal 12 September, sekitar sepuluh orang Mataram berhasil memanjat tembok benteng Bommel. Ke-10 orang itu merupakan bagian dari sekitar 200-an orang yang menyerbu benteng tersebut. Orang-orang Kompeni sempat sangat ketakutan, merasa kepala mereka sebentar lagi terpisah dari badan. Hanya, karena persenjataan para penyerang itu seadanya, tak seorang pun di antara pemanjat itu yang membawa bedil, ke-10 orang itu pun berhasil dibunuh. Mayatnya dilempar ke bawah, menimpa kawan-kawan mereka yang tengah berjuang memanjat naik tembok benteng. Sebagaimana hari-hari lain, pada hari itu pun akhirnya serangan Mataram bisa digagalkan Kompeni.

Lima hari kemudian, Coen berpikiran lain. Dimintanya Kapten Antonio van Diemen untuk mengumpulkan 300 orang, ditambah orang-orang Tionghoa yang bersedia membantu sebagai relawan. Tugas mereka menyerang kubu-kubu Mataram yang berhasil didirikan, digali berupa lubang perlindungan dari peluru dan serangan meriam, yang dibentengi balok-balok kayu.  Pasukan penyerang itu dibekali minyak bakar, yakni minyak jarak banyak sekali. Malam itu juga kubu-kubu yang menjadi sasaran serangan Kompeni terbakar dilalap api. Sayang bagi Kompeni, hujan yang turun malam itu membuat kebakaran itu pun padam.[1]

                                                          ***

Masih ingat dua anggota ‘Dom Sumuruping Mbanyu’, lembaga telik sandi Mataram yang disusupkan ke dalam benteng Batavia? Sudah setahun lebih Nyimas Utari Sandijayaningsih keluar masuk benteng Batavia dengan mudah. Sebagai pebisnis yang memasok kebutuhan Kompeni sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan dapur umum seperti buah-buahan, palawija, bumbu-bumbu dan sayuran, ia bebas keluar masuk tanpa ditanya-tanya penjaga. Begitu pula suaminya, Mahmuddin atau Wong Agung Aceh, meski hanya sesekali. Biasanya dia menjemput istrinya manakala punya waktu di luar pekerjaannya sebagai saudagar yang berdagang hasil bumi antarpulau.  

Sungguh pilihan yang tepat, tak ada ruginya manakala tahun lalu mereka menyanggupi permintaan Gubernur Jenderal Coen untuk mengambil meriam-meriam dari sebuah benteng lama VOC di Madagaskar, meski pada saat Coen meminta bantuan itu bayarannya baru sebatas janji. Untunglah, karena selain mereka dibayar cukup meski harus bersabar beberapa bulan sampai kas Kompeni kembali berisi dana, suami-istri itu pun langsung mendapatkan kepercayaan Sang Gubernur Jenderal dan keluarganya.

Belakangan, saat “ketahuan” suara Nyimas Utari tergolong merdu, seringkali putri pucuk pimpinan lembaga telik sandi Mataram itu diundang ke dalam benteng pada hari-hari perayaan, khusus untuk diminta menyumbangkan suaranya, menembang di hadapan para pembesar Kompeni dan tamu undangan. Yang terutama terkesan dengan kepandaian Nyimas Utari menembang adalah Eva Ment, istri Coen Murjangkung. Malah, karena ketertarikannya kepada seni budaya lokal, isri Coen itu sering meminta Nyimas Utari mengajarinya beberapa lagu yang ia sukai. Dari situlah, hubungan kedua wanita tersebut terjalin hangat.   

Seiring terus memanasnya kondisi dalam benteng, Nyimas Utari dan Mahmuddin–kedua suami istri itu, merasa bahwa inilah saatnya mereka menuntaskan tugas yang dibebankan Susuhunan Mataram, Kanjeng Sultan Agung. Tak lain dan tak bukan, membunuh dan membawa bukti terbunuhnya Gubernur Jenderal Murjangkung ke Kartasura.

Sebenarnya, sebagai manusia yang memiliki hati nurani, baik Nyimas  Utari maupun Mahmuddin mulai didatangi keraguan. Bagaimana pun mereka mulai mengenal Coen dan istrinya, dan itu membuat pertimbangan mereka tak lagi sehitam-putih dulu. Mereka jadi kenal sisi-sisi manusiawi Coen, tugas yang ia emban dari rajanya di seberang lautan, sifatnya yang jujur dan terbuka, kesukaannya kepada anak-anak, terutama anak mereka berdua. Benar, sebagai tentara Coen memiliki sifat sedikit kasar. Tapi di Kartasura pun tak kurang pejabat Keraton yang punya sifat kasar, bahkan dengan  banyak tambahan sifat buruk lainnya.

Tetapi kalau ingat betapa tugas yang diberikan kepada mereka berdua langsung turun dari mulut Sultan Agung sendiri, membuat mereka senantiasa ketakutan setengah mati. Kedua suami-istri itu tahu apa yang terjadi sejak penyerbuan tahun lalu. Semua pemimpin pasukan perlaya. Untung kalau di palagan, ini kebanyakan dibunuh sebagai hukuman dari Kanjeng Sinuhun sendiri! Mereka bahkan mendengar, tak hanya Tumenggung Bahureksa dan Suro Agul agul yang dibunuh dengan dipertontonkan kepada khalayak, seluruh keluarga mereka juga dibasmi hingga tak ada seorang anak pun dibiarkan tidak mati.

Artinya, bila tugas itu tidak mereka tunaikan, bukan hanya mereka berdua yang akan terus dikejar-kejar pasukan Mataram untuk dibunuh karena telah mengecewakan Kanjeng Sultan, anak semata wayang mereka yang tengah lucu-lucunya pun dipastikan akan palastra, berpulang sebelum waktunya. Kesadaran itulah yang membuat mereka, dalam rasa hormat dan sayang kepada Gubernur Jenderal Coen sekeluarga, senantiasa mencari waktu kapan saat terbaik untuk membunuh Sang Murjangkung.

Dan Sang Waktu, menurut suami-isteri itu kini tengah membuka kedua lengannya lebar-lebar.

Saat keduanya datang ke benteng pada tanggal 19 September, dengan mempersiapkan alasan bahwa Mahmuddin tengah tak berlayar karena pelabuhan sedang tak aman, sekalian menengok  Eva Ment dan keluarga, suami-istri itu menemukan kondisi benteng dalam suasana darurat. Tidak hanya hiruk-pikuk oleh para serdadu yang berada dalam kondisi siaga satu, benteng juga disibukkan oleh para tukang kayu dan tukang batu yang terus menerus menambal dan memperbaiki benteng.

Siang itu, saat tengah berada di benteng Batavia, Mahmuddin mendengar bahwa benteng Hollandia kembali diserang, kali ini bahkan dengan meriam berpeluru bola besi seberat lima pon yang ditembakkan meriam-meriam Mataram.

Seytang! Aku kenal suara meriam itu. Itu dua meriam yang aku kasihkan kepada Susuhunang Mataram beberapa tahun lalu. Keparat! Ini hasil dan balasan yang kutrimah kalau memberi hadiah kepada orang-orang bangsa Moor itu!” teriak Gubernur Coen. 

Coen juga marah karena salah seorang perwira bawahan yang dikasihinya, Kapten-Mayor Ariaen Antheunisz terkena peluru di kakinya, membuatnya tak bisa ikut berperang mempertahankan benteng[2]. Itulah yang membuatnya gusar sejak sebelum tengah hari tadi.

Suami-istri Mahmuddin itu tahu diri. Mereka tak segera menghadap Gubernur Coen dalam kondisi seperti itu. Mereka menunggu di dalam benteng, seleluasa para penghuni lain karena telah terbiasa. Soalnya, semua orang tahu, konyol untuk siapa pun keluar benteng dalam situasi seperti itu. Tak  ada yang tahu di sudut mana di luar benteng, bedil dan busur panah para prajurit Mataram bersembunyi.   

Tetapi ketika sampai sore hari tak satu pun bentakan Coen kembali terdengar, dua suami istri telik sandi itu mulai curiga. Akhirnya, setelah bertanya-tanya, seorang ajudan Coen yang mengenali mereka mengizinkan keduanya memasuki kamar tidur Gubernur Jenderal.

Di dalam kamar tidur yang luas namun apek, dengan suasana udara berat yang diam mengungkung karena gorden-gorden tebal yang bergelantungan, tampak Gubernur Jenderal Coen terbaring di ranjang. Kepalanya disangga bantal-bantal yang disusun menggunung. Wajahnya yang secara alamiah pun sudah putih, kini tampak sepucat mayat.

“Tuan Besar muntah-muntah, berak dan kejang-kejang. Seharian Tuan besar sudah berpuluh-puluh kali buang air. Sejak menjelang sore bahkan sudah tak kuat lagi dibawa ke peturasan. Kini untuk berak pun Tuan Besar musti di ranjang,” kata seorang budak wanita asal Bali berbisik ke Nyimas Utari.  Nyimas Utari sama sekali tak bertanya, budak Bali itu yang menerangkan panjang lebar, meski berbisik pelan dan putus-putus. Dalam suasana seperti ini, budak itu tahu, dianggap ribu bisa saja membawanya pada hukuman pukulan cemeti. Hukuman untuk budak tak pernah tegas, tak pernah jelas. Semau-maunya majikan mereka saja, atau siapa pun yang menganggap diri pantas menjadi majikan para budak tersebut.

Nyimas Utari beringsut mendekati Eva Ment yang berada di sisi ranjang. Ia menyapa sahabatnya orang Belanda itu setengah berbisik. Eva Ment yang menyadari keberadaannya memeluknya, menangis lirih.

“Nyonya Besar yang sabar….” Nyimas Utari tak bisa bilang apa-apa lagi. Ia merasa semakin panjang berkata-kata, dan pasti sebagian besar di antaranya hanya perkataan bohong yang akan semakin mengiris-iris hatinya. Bayangkan, berbohong kepada orang yang menganggapnya sahabat baik, yang memberinya sepenuh rasa percaya, kemudian menikamnya dari belakang—mungkin saja bahkan nanti dalam arti harfiah, manusia macam apa dirinya? Benar, ada alasan tugas negeri, tapi kini, bila ia tak terus mencoba mengecilkan perasaan itu, yang namanya ‘tugas negeri’ kok rasanya jauh lebih biadab dibanding rasa persahabatan, benar-salah, atau urusan memegang janji yang lebih merupakan tata krama dan nilai-nilai kebenaran yang sangat umum saja.

Eva Ment tak menjawab. Istri Gubernur Jenderal Coen itu hanya mendekapnya lebih erat sambil menyurukkan wajahnya ke pundak Nyimas Utari.

“Beri jalan, dokter Bontius datang!” seru seseorang di luar kamar. Suara seorang asing, pejabat Kompeni.

Masuklah kemudian seorang kulit putih tinggi berpakaian putih laiknya dokter. Misainya putih, lebat menutup dagu dan kedua pipinya. Perutnya besar, penuh lemak. Namun langkah kakinya cepat, membuat para babu yang berada di sepanjang langkahnya terberai, memberi jalan dengan tergesa-gesa.

“Boleh diterangkan sedikit, bagaimana awalnya?” tanya dokter Bontius, menatap sebentar Ny Eva Ment. Tangannya tetap mengeluarkan berbagai peralatan dari tas kerjanya, sebuah tas kulit besar berwarna hitam yang tanpak tersemir licin. Gerakannya gesit saat membukai baju Gubernur Coen di bagian dada. Lalu ditempelkannya sebuah alat semacam terompet logam ke dada Coen, dan ujung lainnya ia dengarkan dengan seksama.

“Berdoalah kepada Tuhan Yang Maha Kasih, Nyonya,” kata dokter Bontius. Bintik-bintik keringat mulai timbul memenuhi dahinya. Entah karena terpengaruh kondisi kesehatan Jenderal Coen, entah karena udara di dalam kamar yang kian terasa panas seiring makin berkumpulnya nafas-nafas setiap orang yang ada di sana.

“Pagi hari Tuan masih berjalan-jalan, memeriksa penjagaan. Siangnya makan siang dengan penuh semangat, diiringkan dua seloki jenewer yang dimintanya. Nah, setelah itu, Tuan terus menerus keluar masuk kamar peturasan. Entah sudah berapa puluh kali. Terakhir bahkan harus dipapah Tuan Van Diemen dan Tuan Raemburch untuk masuk peturasan. Setelah itu saya pastikan untuk membiarkan Tuan Besar buang air di sini saja, di kamar,” kata Eva Ment.

Dokter Bontius mengangguk-angguk. Dengan paras wajah penuh penyesalan, dipandangnya wajah Eva Ment.

“Nyonya,” kata dia. “Penyakit yang Tuan Besar derita sudah begitu parah. Saya kuatir Tuan Besar tak akan mampu bertahan sampai pagi besok…”

Sesegera ucapan dokter Bontius selesai, Nyimas Utari melirik wajah Eva Ment. Dirinya melihat Eva nyaris berteriak mendengar penuturan tersebut. Mulutnya sempat membuka, tertarik oleh otot-otot mulut yang dengan refleks dibetot perasaannya manakala mendengar pernyataan dokter Bontius. Hanya kesadaran sebagai seorang istri gubernur jenderal, barangkali, yang membuatnya mampu menahan perasaan tersebut. Namun tak urung ia mencucurkan air mata. Lalu, dengan segera dirangkulnya Nyimas Utari, didekapnya erat-erat seraya menangis nyaris tak berhenti.

Dokter Bontius sempat meminta botol garam, gula dan air hangat dalam mug besar. Diambilnya beberapa sendok gara, sedikit gula, dan diaduknya perlahan sampai keduanya larut.

“Minumkan kepada Tuan Besar sebanyak mungkin ya!” katanya kepada babu yang ada di situ. Pengalamannya menyatakan, larutan sederhana itu cukup membantu mereka yang terkena kolera. Bukan untuk menyembuhkan, tentu. Kolera adalah penyakit ganas yang mematikan, dan kondisi Jenderal Coen dilihatnya sudah kasip untuk ditolong dengan obat-obatan sederhana yang selama ini dipakainya. Jujur saja, selama ini ia banyak mengandalkan obat-obatan tradisional yang dipakai para tabib Cina dan orang-orang pribumi untuk pengobatan kolera. Rebusan daun sirih, jahe, kunyit, yang dicampur satu dan diminumkan kepada para para korban kolera, selama ini banyak membantu. Catatannya, itu tadi, jangan sampai kasip atau telat. Karena itulah, ia berusaha menguatkan dulu Jenderal Coen dengan memberikan larutan hasil temuan dan pengalaman para sahabatnya sesama dokter[3].

“Saya minta diri dulu, Nyonya,” kata dokter Bontius. Barangkali ia merasa lebih nyaman menunggu kabar di rumahnya dalam kondisi penyerbuan seperti itu.

Wakil Gubernur Jenderal Tuan Jacques Specx yang sejak magrib berada di kamar tersebut, juga minta diri. Kepada Eva Ment ia beralasan untuk menyusun pertahanan, karena bagaimana pun musuh-musuh belum lagi mengendorkan serangan mereka. Hanya, ia menugaskan dua orang serdadu menjaga di dalam rumah, dua lagi berada di luar. Sementara yang lain kembali ke pos masing-masing, memastikan musuh tak akan pernah bisa memasuki, apalagi merebut benteng. Alhasil, di kamar tinggal Eva Ment, kedua suami-istri intel Mataram, serta dua orang babu yang ikut menjagai Jenderal Coen.

Mata Nyimas Utari segera berkilat. Ia berhasil menyembunyikan pisau kecil yang tajam di pahanya, terselip erat tak hanya pada kain yang dipakainya. Nyimas Utari pun yakin, suaminya pun pasti membawa sesuatu ke dalam. Apalagi pemeriksaan untuk mereka tidak pernah ketat.

“Sekarang?” Nyimas Utari berbisik. Ia tak menoleh untuk memandang wajah suaminya.

“Jangan,” kata suaminya. “Sabar sebentar. Akan terlalu ramai bila kita yang mengambil.” Utari tahu, suaminya melihat kematian Jenderal Coen sudah sangat dekat. Dia memilih untuk memberikan tugas mengambil nyawa Coen itu kepada Malakal Maut.

Benar saja. Hanya sekitar 10 menit kemudian suara nafas Coen yang dari tadi memberi bunyi berirama pada kamar itu, kini hilang. Dadanya pun sudah tak lagi turun naik. Seorang babu yang paling dekat dengan posisi Coen berbaring bangkit mendekat.

“Nyonya Besar..” kata dia. “Tuan Besar sudah…”

Sadar bahwa kematian Jenderal Coen sangat mungkin akan menimbulkan tangisan istrinya, Mahmuddin dengan gesit telah berada di samping Eva Ment. Dengan jari-jemari terbuka disangganya leher Eva Ment dengan erat, sembari mencari dua titik kesadaran di antara kerongkongan dan dagu. Saat kedua titik tersebut ditekan kuat, dengan segera Eva Ment pun hilang kesadaran. Lalu tangan kanan yang kosong Mahmuddin menepuk keras sebuah titik di belakang kepala Eva, sekitar tiga jari di belakang telinganya.

“Buk!”

Cukup keras, tapi tak akan sampai membuat cedera. Istri Jenderal Coen itu pun langsung  tersungkur pingsan.

Andai saja Nyimas Utari bukan seorang pendekar berilmu kanuragan tinggi, tentu kedua babu itu sudah berteriak menyaksikan apa yang berlangsung di hadapan mereka. Namun, tak kalah gesit dengan suaminya, Nyimas Utari segera melompat menyerang kedua babu yang tengah menjagai majikan mereka itu. Hanya dengan dua gerakan berturut-turut yang sukar diterangkan tenggang waktu keduanya, Nyimas Utari berhasil menotok titik kesadaran kedua babu tersebut.

“Tak! Tak!”, diikuti suara tubuh tubuh yang menggelosoh di lantai, hilang kesadaran.

“Mana karung, Nyai?” tanya Mahmuddin.

Nyimas Utari tak menjawab. Tangannya memasuki kain yang ia kenakan. Lalu, setelah mengambil sesuatu dari balik celana bagian dalam yang ia kenakan, ditariknya kain panjangnya ke atas untuk kemudian diikatkannya membebat pinggang. Ternyata, di dalam kain itu Nyimas Utari telah memakai celana seruwal, laiknya laki-laki. Wajar, ia memang pedekar.

“Ini, Kakang,” katanya, mengangsurkan sebuah karung kecil. Orang Sunda menyebut karung yang bisa dibuat dalam bernagai ukuran dengan tali yang bisa ditarik untuk mengeratkan itu sebagai kanjut kundang. Lama tinggal di kawasan Parahyangan membuat kedua suami istri itu terbiasa membuat dan memakai kanjut kundang, termasuk untuk menyimpan kepeng yang mereka dapatkan.

Mahmuddin mendekati tubuh kaku Jenderal Coen yang kini telah menjadi mayat. “Sret!”, ditariknya sebilah belati yang tersembunyi di pinggangnya.

“Mohon maaf, Tuan,”katanya. Bagaimana pun, setahun mengenal laki-laki itu sedikit menerbitkan rasa hormat di hati Mahmuddin. Lalu dengan sigap diraihnya rambut Jenderal Coen, dan ditekannya agar mayat itu sedikit mendongak. Dengan kesigapan seorang jagal yang terbiasa menggorok leher binatang ternak, belati itu menembus kerongkongan Coen, memotongnya saat bilah tajam itu diputar mengelilingi leher[4].

“Nyai, Engkau yang pegang,” kata Mahmuddin memberikan karung berisi potongan kepala Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang sudah diikatnya erat itu. Meski Coen sudah mati, tak urung kanjut kundang itu kini basah oleh darah, bahkan menetes-netes ke bawah. [bersambung]


[1] Dagh Register yang ditulis Gubernur Jenderal J Specx 15 Desember

[2] Surat Gubernur Jenderal J Specx kepada De Heren XVII, 15 Desember 1929

[3] Meski belum memberikan nama, warga dunia sudah mengenal kolera sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Meski demikian, catatan terperinci tentang penyakit ini mulai ditulis oleh Gaspar Correa, seorang sejarawan Portugis dan penulis ‘Legendary India’, pada 1543. Ia masih melihatnya sebagai racun dari sesuatu yang belum dikenalnya. “Racun yang paling buruk… dengan muntah-muntah, disertai kekeringan cairan tubuh yang menyertainya, yang membuat seolah-olah perutnya kering, dan kram yang melekat pada otot-otot persendian.”

Di Indonesia, meski diakui secara post-factum bahwa yang membunuh JP Coen adalah kolera pada 1629, buku ‘Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia’ yang diterbitkan Departemen Kesehatan menulis, penyakit kolera mulai dikenal di sini pada 1821. Roorda van Eysinga, pegawai kolonial urusan pribumi (Indlansche Zaken), menyaksikan hiruk pikuk ketika wabah kolera menjangkit masyarakat Batavia. “Ada hari-hari ketika di Batavia terdapat 160 orang mati (akibat kolera). Mereka mengalami kejang-kejang hebat, dan meninggal dunia beberapa saat kemudian,” tulis Eysinga dalam ‘Verschillende Reizen en Lotgevallen’.

Susan Blackburn dalam ‘Jakarta: Sejarah 400 Tahun, menyebutkan bahwa warga Batavia meyakini setan sebagai penyebar kolera.

Ensiklopedia Jakarta: Volume 2, mencatat bahwa tahun 1910 dan 1911 sebagai tahun kolera. Selama waktu itu, total warga Batavia yang meninggal diperkirakan sebanyak 6.000 orang. “Begitu banyaknya orang meninggal, sehingga banyak mayat yang tidak sempat dikubur. Mayat-mayat itu diletakkan didekat jalan raya bersama peti matinya,” tulis Wiwin Juwita Ramelan, dkk dalam laporan penelitian di Universitas Indonesia berjudul ‘Penyakit Menular di Batavia’.

[4] Menurut Mona Lohanda dalam ‘Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia’ (2007), “Coen meninggal pada malam hari menjelang tanggal 21 September 1629 oleh sakit perut yang dideritanya.” Catatan ini kurang lebih sama dengan pendapat H.J. De Graaf dalam ‘Puncak Kekuasaan Mataram’, sama pula dengan Dagh Register yang ditulis pengganti Coen, Jacques Specx, pada 15 Desember 1629.

Namun, Mataram mengklaim JP Coen meninggal akibat tebasan pasukan telik sandi khusus Mataram. Kepala JP Coen dibawa ke Kartasura, dan ikut dikuburkan di bawah tangga ke-716 makam Sultan Agung, saat Sultan itu meninggal dan dikebumikan. Cara itu dilakukan untuk menghinakan Coen dalam tradisi Mataram saat itu, selain sebagai pertanda kemenangan Mataram terhadap kerajaan Belanda.

Hal itu seolah mendapatkan penguatan dari ‘kuncen Betawi’, wartawan kawakan Alwi Shahab. Dalam ‘Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi’, wartawan cum sejarawan Alwi Shahab mengutip versi Belanda yang menyebut jasad Coen kemudian dimakamkan di Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI di Taman Fatahillah) dan kemudian dipindahkan ke de Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda yang kini menjadi Museum Wayang). Namun, sejarawan Sugiman MD dalam ‘Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, meragukan bahwa makam itu berisi jasad Coen.

Terlebih berdasarkan penuturan arkeolog Chandrian Attahiyyat, para arkeolog Belanda memastikan bahwa di makam itu tidak ditemukan jasad berupa tulang belulang saat mereka melakukan penggalian pada 1939. Sampai saat ini belum pernah ada penggalian dilakukan di Komplek Makam Imogiri.

Beberapa media massa menulis bahwa Coen meninggal sekitar empat hari setelah meninggalnya Eva Ment. Versi ini, sejauh yang penulis kejar, tak memiliki bukti tertulis yang kuat. Sebaliknya, Dagh Register (15 Desember 1629) mencatat, Eva Ment, sang istri menunggui suaminya sampai meninggal.

Exit mobile version