Tetapi di sini, di tanah Jawa tempat kekuasaan besar bertahta dan mencengkeram seantero wilayah tetangganya, kematian dengan cara-cara keji itu seolah begitu biasa. Ukur sampai berpikir, apakah memang hanya dengan cara kejilah orang bisa berkuasa dan menegakkan kekuasaannya di bumi ini? Bila itu memang syaratnya, apa sesungguhnya yang membuat orang betah dalam kekuasaan, sementara ia sadar bahwa kekuasaannya hanya mengalirkan darah semena-mena?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Pengantar:
Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.—
Episode-5
Ukur menarik nafas dengan menghembuskannya kembali dengan cepat, sekadar membuat tubuhnya lebih relaks sejenak. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasib burung kondor, bahkan selangkangan lawannya yang kini terbaring diam itu andai saja ia menyerang dengan kayu Weregu yang kini telah kembali dalam genggaman tangan kanannya.
Sejenak dua penyerang bertopeng yang mengepungnya itu terdiam. Meski hanya dari sorot mata, Ukur tahu kedua lawannya itu kini dihinggapi bimbang. Bagaimana tidak, seorang dari mereka kini terkapar tanpa daya, belum bisa dipastikan bisa tertolong atau tidak.
Namun hal itu tak lama. Tanpa komando, salah seorang kini membabatkan goloknya mengincar pinggang Ukur. Hantamannya mantap, memastikan perut samping Ukur akan terburai manakala golok itu memakan bagian tersebut. Ukur bergeming. Ketika jarak golok ke pinggangnya kian dekat, ditahannya lintasan golok itu dengan kayu Weregu hitam yang dipegangnya. Ajaib, kayu itu sama sekali tak rompal menahan hantaman golok tajam tersebut.
Malahan, golok di tangan lawannya tampak tergetar menahan benturan. Getaran itu membuat jemari lawan yang mengepal erat golok itu kendor bagai tersengat kesemutan. Sedetik kemudian golok itu terlepas dari genggaman, diiringi serapah pemegangnya.
“Sial dangkalan, tanganku kesemutan!”
Golok itu terjatuh dengan bagian perah atau pegangannya lebih dulu siap menyentuh tanah. Namun belum juga golok itu tergolek di bumi, kaki Ukur telah menyepaknya kuat, mengarahkan ujung golok yang tajam ke ulu hati lawan yang masih disibukkan memegang tangannya yang kesemutan.
“Jleb!” Golok itu kini menancap di ulu hati orang yang tadi memegangnya. Tak hanya itu, kuatnya sepakan Ukur membuat golok itu tembus hingga keluar dari punggung. Tak ada suara yang dikeluarkan orang bertopeng yang tertembus goloknya sendiri itu, sebelumnya tubuhnya kehilangan kekuatan dan ambruk tergolek di pelataran.
Ukur menggerakkan kakinya dua langkah, mendekati lawannya yang kini tinggal seorang diri. Tak ada lagi kilat buas di kilat mata orang bertopeng itu, selain justru rasa waswas yang tak sukar ditebak. Ia sempat melirik kiri kanan, seolah mencari celah untuk lari meninggalkan gelanggang. Ukur tak memberinya kesempatan dengan mendekatinya lagi selangkah.
“Mau ke mana, Ki Sanak? Tega membiarkan kawan-kawanmu berkubang darah dan tak bermakam dengan layak?” ujar Ukur. Ditimang-timangnya Weregu hitamnya, seolah menakut-nakuti lawannya yang tak lagi berkawan itu.
“Ojo sombong, Anjing Sunda. Kula tak sudi menyerah. Kowe akan mati malam ini juga, tak harus menunggu terbitnya matahari esok,” katanya.
Suaranya menyembur kuat, mengandung segala jenis racun kebencian yang entah sudah berapa lama tertanam di jiwanya. Baginya memang sudah tak ada lagi jalan kecuali selekasnya membunuh Ukur. Kalaupun ia berhasil lari, mau kemana ia kabur kini? Orang yang menyuruhnya tahu di mana rumahnya, di mana anak istrinya. Orang-orang suruhan majikannya itu akan dengan mudah membantai diri dan keluarganya untuk kegagalan yang malam ini ia torehkan.
Majikannya hanya punya satu cara untuk memastikan apa pun yang ia perintahkan dilaksanakan dengan gilang gemilang. Belum tentu dengan hadiah menggiurkan sebagai upah kesungguhan, melainkan mati dibantai bersama keluarganya, bahkan bila ia punya bayi merah sekali pun sebagai balasan kegagalan.
Pikiran itu membuatnya segera mencabut golok panjang yang tergantung di pinggangnya.
“Sreet.”
Pantulan cahaya obor yang terpacak di tiang rumah memberi penegasan betapa golok itu tajam terasah. Kini golok itu terangkat, mengacung dengan ujung menunjuk dada Ukur, sementara perahnya tergenggam erat di tangan si orang bertopeng. Kaki kiri orang bertopeng bergeser setengah langkah, memastikan kuda-kudanya tegar dan siap menyerang. Lalu dengan teriakan lantang untuk memberi kekuatan kepada jiwanya sendiri, orang itu melompat ke arah Ukur sambil mengacungkan goloknya lebih tinggi, siap untuk menyabet bagian tubuh Ukur, entah yang mana.
“Hiaaat!”
Ukur mundur selangkah, menantikan lawannya tiba lebih dekat. Menanti juga kemana golok sang lawan akan diarahkan. Tangan kirinya menjulur ke depan dada, sementara tangan yang menggenggam tongkat Weregu bersiap menanti arah datangnya sabetan golok.
Bersamaan dengan turunnya kedua kaki lawan setelah lompatan menyerang itu, goloknya pun menyambar ketiak kiri Ukur. Kaki kiri Ukur yang tadi berada di depan, kini mundur selangkah, memberikan ruang lebih aman untuk ketiak yang menjadi sasaran golok lawannya. Si topeng segera mengira bahwa tebasannya akan ditadah dengan hantaman kayu Weregu, dan karena itu menyiapkan tenaga cadangan untuk benturan. Ia telah menyaksikan betapa kawannya terkapar tertembus golok karena kaget akibat kesemutan setelah benturan dengan senjata Ukur. Si topeng tak ingin itu terjadi.
Salah besar. Alih-alih menahan serangan golok itu dengan hantaman kayu Weregu, Ukur malah nyingcet, maju mendekati lawannya ke sebelah kiri tubuh si topeng. Tebasan golok si topeng luput memakan daging ketiak Ukur. Sebaliknya, kini jarak dadanya dengan tubuh Ukur hanya tinggal sejengkal. Keuntungan itu secepat kilat digunakan Ukur. Sikut dari tangan yang menggenggam kayu Weregu itu kini terlontar siap menghajar dagu lawan yang kosong tak terjaga.
“Dug!”
Keras sekali, hingga dagu si topeng seolah hendak mencelat dari sendi-sendi rahangnya. Tak ayal, tubuhnya terjengkang ke belakang, jatuh berdebam ke tanah.
“Gubrak!”
Tetapi memang orang itu layak menjadi pemimpin kelompok kecil para durjana itu. Hanya dalam hitungan detik, setelah menggeleng-gelengkan kepala dan memperbaiki letak dagunya, orang itu kembali berdiri.
Matanya sudah menunjukkan bahwa ia tak punya harapan. Namun justru tak punya harapan sama sekali sering membuat orang tak pernah berhitung lagi apa yang mau terjadi sedetik nanti. Orang seperti itu hanya perlu menghilangkan sebanyak mungkin rasa kehilangan, sebelum melakukan hal terakhir sepanjang sisa hidupnya.
Jujur saja, Ukur lebih ngeri menghadapi orang-orang nekat tanpa harapan ke depan, dibanding mereka yang masih berpikir tentang hidup hari esok. Jenis yang terakhir ini masih bisa diajak bicara, masih bisa diiming-imingi janji dan pengampunan. Jenis pertama, tidak.
Betul saja, orang itu kini membabatkan goloknya tanpa aturan jurus silat yang benar. Menyerang Ukur dari berbagai arah dengan sabetan-sabetan kuat yang berbahaya. Perut, leher, lalu golok itu kembali mengarah ke dada, sebelum mencoba menusuk perut setelah serangan sebelumnya pun luput.
“Edan! Modaaar kowe!” Kali ini si orang bertopeng lebih sering berteriak, seolah melepaskan kecewa dan kesalnya karena serangannya selalu luput.
Dalam sebuah kesempatan Ukur berhasil mengelakkan serangan golok si topeng yang menebas mendatar mengincar ruas lehernya. Ukur merunduk sejenak, memastikan golok itu lewat di atas kepalanya, sekaligus membuat lawannya kelimpungan terbawa tenaganya sendiri. Saat itulah, tongkat Weregunya seolah melenting dari bawah mengarah ke muka si topeng.
“Buk!” Bunyi tongkat Weregu bertemu sasarannya terdengar kuat, diiringi jeritan menyayat yang dikeluarkan si topeng. Ukur berkelit menghindari tubuh si topeng yang terjatuh hampir menimpa dirinya.
Si topeng berguling berkali-kali di tanah, merasakan sakit yang tak terkira pada bagian wajahnya. Bila kayu itu mengenai hidung, bisa dipastikan hidung itu hancur remuk terkena hantaman. Sebenarnya bukan soal kerasnya hantaman semata, tapi memang dalam kayu itu, seperti pernah dikatakan kakek kepadanya, Ukur tahu di sana berdiam jin sebangsa Aria Brajadenta yang memiliki kesenangan menghajar orang.
Ukur melihat topeng orang itu terlepas saat ia berguling-guling. Namun wajah orang itu tak bisa ia lihat jelas. Selain karena rusak terhantam kayu Weregu, kedua tangan orang itu pun tak pernah lepas memeganginya akibat kesakitan yang sangat.
Perlahan Ukur melangkah mendekati orang yang boleh dibilang hampir sekarat tersebut. Dengan jarak yang lebih dekat ia berharap lebih bisa dengan cermat menelisik bagaimana rupa orang tersebut. Benar, kemungkinan besar ia tak mengenalinya. Tetapi enam bulan berada di keraton Mataram dan sekitarnya, bergaul dengan segala jenis manusia di lapangan olah keprajuritan, di pasar, di warung makan, bukan tak mungkin ia bisa tahu dari lingkungan seperti apa orang itu berasal.
Namun baru saja Ukur melangkah lebih dekat, tiba-tiba sesosok tubuh dengan cepat mencelat ke dekat badan yang sekarat itu. Begitu cepat, memastikan orang yang melakukannya memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Sosoknya Ukur kenali. Ya, ia menduga orang itu Senapati Ronggonoto. Tak banyak orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat itu, dan dengan jabatan tinggi yang dimilikinya saat ini, Ukur tahu Ronggonoto sangat mungkin menguasai banyak ilmu kanuragan.
Orang itu masih membelakangi Ukur manakala dengan sigap ia membungkuk, menjambak rambut sosok yang tergolek antara hidup dan mati itu, menariknya hingga posisinya tak lagi menggeletak. Masih dengan kecepatan yang sama, tangan orang itu meraba bagian belakang pinggangnya, menghunus sebentuk keris kecil.
“Sreeet!” terdengar suara baja tajam itu mengiris leher. Lalu sebentar kemudian bunyi gedebuk tubuh yang dilempar kembali ke tanah, sebelum akhirnya disusul suara mengorok yang keras. Ukur menyaksikan darah seolah mancur, deras menyembur dari leher orang itu.
Ukur seorang prajurit dan jawara yang tentu telah berkali-kali melihat orang-orang terluka kehilangan nyawa. Tetapi di sini, di tanah Jawa tempat kekuasaan besar bertahta dan mencengkeram seantero wilayah tetangganya, kematian dengan cara-cara keji itu seolah begitu biasa. Ukur sampai berpikir, apakah memang hanya dengan cara kejilah orang bisa berkuasa dan menegakkan kekuasaannya di bumi ini? Bila itu memang syaratnya, apa sesungguhnya yang membuat orang betah dalam kekuasaan, sementara dengan gampang ia sadar bahwa kekuasaannya hanya mengalirkan darah semena-mena? [bersambung]