Site icon Jernih.co

Waterleiding Bedrijf Cigowong, Saksi Bisu Pernikahan Ratu Juliana

Arsitektur bangunan air Pantan Cigowong Talaga. (Jernih/Pd/2020)

MAJALENGKA – Mata air yang keluar dari perut bumi itu masih memancar dalam debit yang besar. Hal itu jelas terlihat di sumber aliran air Cigowong. Masyarakat menyebutnya Pantan Cigowong, ada juga yang menyebut waterleiding Cigowong. Waterleiding artinya sebutan untuk saluran pipa air yang mulai digunakan pada masa Belanda saat menyalurkan air bersih dari Ciburial Bogor ke Kotapraja Batavia pada 23 Desember 1922.

Istilah waterleiding kemudian dinaturalisasi menjadi air ledeng. Pada saat itu, mandi dengan air ledeng adalah suatu kemewahan. Hanya kota-kota besar yang dihuni Belanda yang bisa menikmati air ledeng. Untuk mengurus saluran air tersebut, Pemerintah Belanda membentuk bedrijven (badan hukum) atau diensten (kedinasan) yang mengelola penyediaan air minum. Diantaranya adalah Gemeentelijk Waterleiding Bedrijf (Perusahaan Air Minum Kotapraja) dan Provinciaal Waterleiding Bedrijf (Perusahaan Air Minum Provinsi).

Sumber air Cigowong menurut kisah warga setempat ditemukan di masa kolonial, yaitu ketika Desa Ganeas tidak memiliki sumber air. Sedangkan tempat yang sekarang menjadi mata air, asalnya adalah penggalian pasir. Setelah ditemukan adanya sumber air dalam debit besar warga kemudian pagowong-gowong ( saling berteriak) maka akhirnya disebut Cigowong.

Untuk menyalurkan air yang keluar dari tanah tersebut maka dibangun saluran irigasi ke arah utara dengan lebar sekitar 1 meter menyusuri lereng bukit, kemudian masuk terowongan buatan sepanjang 150 meter, sampai akhirnya masuk ke pedesaan. Demikian pula di sekeliling sumber air telah dibangun tembok keliling pada tahun 1971. Tembok pelindung tersebut berdiri diatas pondasi tembok yang sudah dibangun di jaman Belanda.

Air dari dari tembok pelindung mengalir dengan tenang melewati ruangan bangunan kontrol air yang tingginya sekitar 2 meter, beratap beton seluas 3 x 4 meter. Ruangan di bawahnya memiliki pintu besi sebagai jalan keluar air dan dilengkapi pula dengan jendelanya. Bagian atapnya sering digunakan pengunjung untuk nangkring sambil memandang air yang ngaburial di kolam mata air. Sesekali ada juga yang nyemplung kokojayan.

Waterleiding Cigowong atau yang disebut juga Pantan Cigowong dibangun untuk memenuhi kebutuhan air di desa-desa di kawasan Talaga, yaitu Argasari, Cigowong, Sunia, Ganeas dan Talaga. Selain untuk kebutuhan warga, air tersebut juga untuk mengairi sawah. Menurut Naro, pegiat sejarah di Grup Majalengka Baheula (Grumala), berdasarkan manuskrip Belanda, saluran air Cigowong dibangun 2 Nopember 1936 pada masa pemerintahan R.M.A. Suriatanubrata (1922-1944) berkaitan dengan peresmian jalan Maja-Talaga.

Dan konon, pembangunan waterleiding bedrijf bersamaan dengan ulang tahun Ratu Wihelmina. Namun ‘kekononan’ itu tidak klop karena Ratu Wihelmina lahir pada 31 Agustus 1880. Riwayat tentang waterleiding bedrijf di Cigowong tercatat singkat dalam naskah yang ditulis ulang oleh R.Suparman Sastrawijaya. Di catatan itu disebutkan bahwa Waterleiding bedrijf di Cigowong dibangun sebagai bentuk perayaan pernikahan Ratu Wihelmina dengan Pangeran Bernhard pada tahun 1937.

Namun keterangan Itu juga kurang pas, karena Ratu Wihelmina menikah dengan Pangeran Hendrik dari Mecklenburg-Schwerin tahun 1901. Yang menikah dengan Pangeran Bernhard adalah Ratu Juliana, yaitu pada 7 Januari 1937. Ratu Juliana adalah putri Wihelmina. Sedangkan Pangeran Bernhard adalah bangsawan Jerman dari Lippe Biesterfeld. Dari titimangsa pernikahan Ratu Juliana dan keterangan Naro, masuk akal bila peresmian Waterleiding ini berkisar di tahun 1936-1937

Menurut Ki Balung Karuhun, pegiat Sejarah Tapak Karuhun yang tinggal di Talaga dan bekerja di Unit Pelaksana Tekhnis Sumber Daya Air Kab. Majalengka, air dari Cigowong dialirkan sejauh 3 Km dan ditampung di Kebon Cikur, Talaga Wetan dalam bak penampungan berukuran 14 m x 14 m x 3 m. “Air dari Cigowong dulu di salurkan oleh PDAM untuk keperluan air bersih se Kecamatan Talaga, terutama untuk keperluan rumah para priyayi dan orang-orang kaya yang berani bayar. Demikian juga dimanfaat kan untuk kantor dan mesjid.

“Dari catatan R. Suparman yang pernah saya baca, saluran air Cigowong menggunakan pipa Galvanis setengah dim, lengkap dengan meteran air kuningan dan kran kontrol. Sedangkan untuk masyarakat Talaga Kulon dibuatkan pancuran atau tuk di pojok alun-alun Talaga ” Tambahnya. Mata air Cigowong kemudian berkembang menjadi perusahaan air minum. Oleh karena itu disebut Waterleiding Bedrijf . “Bedrijf artinya perusahaan” ujar Ki Balung.

Ketika Jepang menjajah Indonesia, Waterleiding Bedrijf Cigowong tidak dirusak oleh tentara Dai Nippon karena dilindungi oleh komandan angkatan darat Jepang (Rikugun) bernama Nishimoto. Tokoh ini pernah berkunjung dan menginap ke Talaga Ia menyamar sebagai pedagang sutra. Sampai tahun 1967 yang diberi tanggungjawab mengelola sumber air bersih di Talaga adalah Rd. Djayadipradja namun selanjutnya dikuasai Orde Baru.

Di jaman Belanda, melimpahnya sumber air dari Cigowong juga dimanfaatkan untuk menghias halaman depan Pendopo Hoof Asistent dengan membuat waterfountein (air mancur). Letaknya tepat di depan Rumah Dinas Pembantu Bupati Telaga. Air mancur tersebut cukup besar, berbentuk lingkaran dengan garis tengah 10 meter.

Terkait dengan sebutan Pantan yang diartikan sebagai mata air, Ki Balung menjelaskan bahwa dirinya tidak menemukan arti kata pantan dalam bahasa sunda. “Menurut kakek saya itu berasal dari kata van tanah yang artinya ‘dari tanah’ untuk mengistilahkan mata air yang keluar dari tanah. Lidah sunda kemudian menyingkatnya jadi pantan”.

Sisa kemegahan Waterleiding Bedrijf Cigowong masih tampak saat ini dengan ciri bangunan airnya yang unik. Setiap hari libur Waterleiding Bedrijf Cigowong yang berada di kordinat di kordinat S 06°58’51.095” dan E 108°20’8.6244” di ketinggian 715 mdpl, ramai dikunjungi pelancong. Lokasinya juga tidak terlalu jauh dengan Situ Sanghyang yang berjarak sekitar 5 km ke arah utara. Sedangkan di arah timur laut berjarak sekitar 2 Km berdiri Gunung Manik.

“Pelancong banyak datang di hari Sabtu dan Minggu ramai yang berkunjung ke Cigowong. Apalagi musim kemarau lebih banyak lagi. Karena walaupun musim kering, debit air Cigowong tetap besar.” Kata Erio penjual kopi dan makanan ringan yang berjualan di Cigowong.

Namun sayangnya, bangunan air yang bersejarah itu kurang begitu terawat. Vandalisme tampak terlihat di tembok-tembok bangunan air akibat beberapa tangan jahil pengunjung dengan kejam telah menggores-gores plesteran untuk sekedar mencantum nama atau kalimat kosong. Nyaris semua permukaan tembok di sekujur bangunan yang terjangkau tangan manusia tampak ‘racak’.

Dan tampaknya pemerintahpun terkesan kurang peka untuk merawatnya. Sejatinya, menjaga dan melestarikan sumber mata air dan lingkungannya adalah keharusan yang akan meniscayakan berkah gemah ripah subur makmur. Menghargai dan merawat sumber air sama halnya dengan memuliakan diri sendiri dan kehidupan. (Pd)

Exit mobile version