Tunggul Ametung dan istrinya, Ken Dedes menaiki pedati dan berhenti di sebuah pertirtaan atau sumber air di Hutan Baboji. Perut permaisuri Akuwu Tumapel itu tampak membuncit, ia tengah hamil muda.
Di luar petirtaan, para prajurit berjaga. Siaga untuk memenggal kepala siapa saja yang berani masuk ke pertirtaan. Ken Arok adalah salah satu dari prajurit tersebut.
Ken Dedes pun turun dari pedati. Saat melangkahkan kakinya, Wiron kainnya tersingkap. Dan memperlihatkan betisnya yang bercahaya.
Saat itulah Ken Arok melihat madyar hamurup atau pancaran cahaya. Hatinya bergelora. Pikirannya berkecamuk. Kemudian ia meminta petunjuk kepada gurunya sekaligus ayah angkatnya, seorang brahma bernama Lohgawe yang datangdari India ke pulau Jawa.
“Apakah arti seorang’wanita jang bersinar pusatnja?” tanya Angrok.
“Wanita seperti itu sangat utama, namanja Stri Nariçwari, sangat membawa bahagia, sebab itu barang siapa jang memperisterikannja, dapat jadi raja besar.” Jawab sang brahma
Wanita yang memiliki ciri-ciri sebagai Stri Nariçwari merupakan wanita utama. Selain menajdikan suaminya seorang raja besar juga diramalkan keturunannya akan menjadi raja-raja di tanah Jawa.
Mendengar ramalan tersebut, Ken Arok semakin berhasrat ingin memiliki Ken Dedes. Sejak itulah, Ken Arok mulai membuat strategi untuk memenuhi ambisinya. Ia membunuh Tunggul Ametung, suami Ken Dedes dengan keris Mpu Gandring.
Namun, dari peristiwa itu pula mengalir serangakain tragedi berdarah karena kutukan keris keris mpu Gandring yang bermotif dendam. Namun Angrok berhasil menjadi penguasa Tumapel hingga kerajaan Singhasari tahun 1222 M.
Namun tahun 1247 M, Ken Angrok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa tewas dibunuh Anusapati, Putra Tunggul Ametung dari Ken Dedes.
Kisah Ken Angrok dapat dibaca di Naskah Pararaton dan dilengkapi dalam naskah Negarakertagama dan diperkuat eksistensinya dalam Prasasti Balawi. Namun nama Ken Angrok hanya terdapat di Pararaton, di Negarakertagama disebut Girinatha atau Sri Ranggah Rajasa.
Petirtaan yang menjadi saksi saat Angrok pertama kali melihat betis Ken Dedes dikenal pertirtaan Watugede. Kolam kuno tersebut terletak di Dusun Sanan, Watu Gede, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Berjarak kurang lebih dua kilo meter dari Pasar Singosari.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menyebut Petirtaan Watugede dalam kitab Pararaton disebut petirtaan Baboji, dan dipercaya sebagai Tamansari Ken Dedes.
Petirtaan Watugede merupakan salah satu situs penting. Dulu di petirtaan ini ada 16 jaladwara atau arca berbentuk patung perempuan yang berderet di tepian kolam. Air mengalir dari bagian tubuh jaladwara tersebut.
Jaladwara berfungsi sebagai saluran air atau pancuran yang dihiasi dengan ukiran binatang dengan mulut menganga sebagai tempat keluar air. Kini jaladwara yang tersisa di Watu Gede hanya tinggal satu.
Jaladwara yang kesepian itu menggambarkan figur dewa dengan kepala terpotong sedang duduk dan terkesan di usung oleh dua figur manusia lainnya dengan mulut menganga sebagai jalan keluar air.
Air di Petirtaan Watugede berasal dari bawah pohon besar yang berada di sudut petirtaan. Pada dasar kolam diperkirakan masih ada relief padma, lambang para dewa. Namun disayangkan situs tersebut tidak terawat.
Kolam kuno itu pertama kali ditemukan oleh arkeolog pemerintah Hindia Belanda tahun 1925. Kini jejak arkais di eatu Gede memnyisakan beberapa patung kecil dan batu gores. Pada masa itu, batu gores berfungsi untuk mengasah pedang para prajurit.
Air dari kolam tersebut dipercaya memilki tuah. Banyak orang yang mengambil air dari kolam tersebut. Selain itu ada juga yang memilih mandi di kolam tersebut agar bisa dikaruniai umur panjang dan awet muda serta sembuh dari berbagai penyakit.
Bahkan ada yang mengambil air tersebut agar tujuan politiknya terkabul. Karena kepercayaan semacam itu, sehingga Petirtaan Watu Gede disebut sebagai sumber urip, sumber kamulyan dan sebutan lainnya yang menunjukkan kemuliaan.
Oleh umat Hindu, air tersebut disucikan sehingga harus dijaga agar tidak rusak. Karena dalam waktu tertentu tempat tersebut juga dijadikan sarana ritual baik oleh umat Hindu atau para penganut Kejawen. Bahkan banyak umat Hindu dari Bali yang datang ke Petirtan Watu Gede untuk melakukan persembahyangan. [ ]