Di suatu Rabu sore, sebelas tahun silam, di rumahnya yang asri di Kompleks Citra Wisata, Kecamatan Medan Johor, Medan, ia berpulang. Seraya meninggalkan kenangan akan dirinya, yaitu sosok dengan kepribadian sekukuh bukit granit, juga sebuah pertanyaan yang tak kunjung terjawab: mengapa ia memutuskan untuk berhenti berkarya pada usia 60-an.
Oleh : Idrus F Shahab
JERNIH– Dua bulan lagi usianya genap 95 tahun, saat itu. Dia Amir Pasaribu, komponis yang kematiannya mengingatkan kita pada sebuah puisi Chairil Anwar,”Cintaku Jauh di Pulau”. Puisi yang mengesankan, ada sesuatu yang belum terselesaikan pada sisa hidup ini, tapi di ujung sana ajal bertakhta dan berkata: tujukan saja perahu ke arahku.
Di suatu Rabu sore, sebelas tahun silam, 10 Februari 2010, di rumahnya yang asri di Kompleks Citra Wisata, Kecamatan Medan Johor, Medan, ia berpulang. Seraya meninggalkan kenangan akan dirinya, yaitu sosok dengan kepribadian sekukuh bukit granit, juga sebuah pertanyaan yang tak kunjung terjawab: mengapa ia memutuskan untuk berhenti berkarya pada usia 60-an. Padahal, misalnya, ia kerapkali menyitir cerita tentang komponis Stravinsky atau penyair Dylan Thomas yang terus melahirkan karya terbaiknya pada usia senja.
Dua tahun sebelum kematiannya, seorang wartawan pernah menemui komponis, guru selo dan piano kelahiran Siborong-borong 21 Mei 1915 ini. Ia berkain sarung dan berkaus oblong putih di rumahnya. Dengan jari telunjuk dan tengahnya, ia mencoba memainkan sebuah nomor musik, tentu dengan susah payah. Serius sekali, ia mencoba membedakan musik yang baik dan yang buruk. Pada 1950-an Amir Pasaribu memang dikenal sebagai seorang kritikus musik yang tajam, mungkin terlalu tajam.
Dalam majalah “Pujangga Baru”, edisi September 1952, ia menulis resensi sebuah resital pianis Hongaria, Cserfalvi. Amir menilai permainan sang pianis tak lebih dari suatu demonstrasi kemahiran teknik bermain. Saking kesalnya terhadap gaya pianis itu membawakan sebuah karya Paganini, ia menulis: “Apa-apaan citarasa Cserfalvi ini? Seluruh programma jatuh runtuh olehnya, seperti nangka matang jatuh…. becek!”
Amir Pasaribu –lahir dengan nama Amir Hamzah Pasaribu– bagian dari keluarga elite di Tapanuli Utara. Ayahandanya, Raja Salomo Pasaribu, pernah menjadi sipir penjara Siborongborong, kemudian menjabat asisten demang di Pahae, Tapanuli Utara. Ya, ia lahir dengan sebuah kombinasi yang istimewa: bakat berbahasa dan musik yang hebat, dan sekolah yang membuka pintunya lebar-lebar kepadanya. Amir menguasai 13 bahasa dunia, termasuk bahasa Rusia, Cek, Mandarin, Jepang, Sarantongo (Suriname) dan Minang (bahasa istrinya, Siti Noerana).
Belajar teori musik, piano dan biola dari beberapa guru ternama, Amir nyaris tidak mendapat saingan yang cukup berarti di dalam bidangnya. Kreativitas dan produktivitasnya tak tertahan: selain musik kritik, ia juga rajin menulis komposisi, bahkan sebuah buku panduan “Apresiasi Musik” yang diterbitkan Balai Pustaka.
Namun politik kemudian mengubah segalanya. Ketika Orde Baru berkuasa dan mencurigai semua yang berbau kiri, tokoh yang tak pernah terlibat politik praktis ini pun ikut terancam. Ia angkat kaki pada 1968 dan inilah awal dari suatu pengembaraan –penuh kegetiran– yang panjang di negeri orang: 27 tahun.
Bersama keluarganya ia pergi ke Suriname, sebuah negeri jajahan Belanda yang memberinya kesempatan berkarya, juga sejumlah duka. Di sanalah ia memimpin Philharmony Orchestra, di sana pula istri dan tiga putranya meninggal.
Dalam karyanya “Berceuse” tampak ia menuangkan itu semua. Berceuse–sama dengan musik pengantar tidur seperti lullaby atau nina bobok– bergerak dalam tempo yang lambat, tapi tidak dalam nada-nada yang menjanjikan mimpi-mimpi indah. Tempo merayap, menyeret potongan melodi dalam nada-nada minor yang suram. Lalu, kita mungkin bisa menangkap bahwa komposisi itu memang digubah dengan kehendak mengurung diri dalam suasana emosi tertentu. Pianis Levi Gunardi pernah membawakan karya itu dengan sensitivitas yang istimewa. Dan ia menyodorkan tafsir baru: tidur dalam karya itu sama dengan mati.
Amir Pasaribu kembali ke tanah air pada 1995. Pemerintah memberinya penghargaan khusus kepadanya, dan di Tangerang berdiri sebuah gedung konser atas namanya. Kini Amir telah pergi dengan puluhan karya musiknya, menyisakan rahasia tentang kreativitas diri, dan kisah perjalanan hidupnya yang tidak mudah. [ ]