Site icon Jernih.co

Anies Baswedan, Seorang Antitesis dengan Keberanian Murni

Anies Baswedan

Jelas, yang dilakukan para pembenci Anies itu bisa disebut political anathema, alias upaya untuk melaknat seseorang, sekelompok atau sebuah ide politik, tanpa mempedulikan bailk-buruknya hal tersebut. Anathema adalah istilah Katolik untuk mencela, bahkan mengutuk apa pun yang berseberangan.

JERNIH–Belum lama ini Koran TEMPO menurunkan laporan semi-investigatif berjudul “Manuver Firli Menjegal Anies”, yang isinya sudah dengan gamblang diungkap oleh judul besar yang dipakainya itu. Disebutkan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, mendesak Tim KPK yang ditugaskan guna mengusut kemungkinan adanya penyelewengan dalam Formula E untuk menetapkan Gubernur DKI Jakarta demisioner, Anies Baswedan, sebagai tersangka. Padahal, sebelumnya pada rapat yang sama, Tim menyatakan masih kesulitan untuk menemukan bukti permulaan adanya tindak pidana korupsi pada kasus tersebut.

Tentu saja, kita tak akan mengupas persoalan ini, meskipun ada hal yang sangat  menarik  yakni membelejeti latar belakang serta aneka kemungkinan di balik sikap Firli itu. 

Ada banyak hal yang kian lama makin membuat publik ‘bijak’,–setidaknya mengerti—mengapa selalu ada orang, kelompok atau pihak yang seolah senantiasa membawa Anies Baswedan ke tengah panggung, semata untuk dicaci maki. Sebagian besar di antaranya, seiring waktu pun kita paham urusannya bukanlah hal mendasar. Di media sosial, Anies, bahkan punya banyak sebutan. Itu berlangsung sejak ia mulai berkantor di Merdeka Selatan, menjadi gubernur DKI Jakarta.

Kita bisa mengingat bagaimana ia disebut “Gabener”, “Wan Bahlul”, oleh sekelompok orang yang terus memupuk jiwa mereka untuk membencinya. Bahkan, tak memikirkan bagaimana sebutan itu akan menjadi racun tak hanya buat jiwa mereka melainkan juga menularkannya kepada batin public, Anies juga seringkali mereka nisbahkan sebagai “Kadrun” atau kadal gurun, serta “Yaman”, semata untuk menghina asal daerah nenek moyangnya. Tentu saja, siapa pun yang sehat akan risih mendengar dan membaca sebutan yang jelas datang dari kekerdilan jiwa itu.

Tak ada yang salah dengan latar belakang Anies, tentu. Ia juga tak bisa disebut berdosa karena datang dan terpilih sebagai gubernur Jakarta, manakala Indonesia, juga ibu kota dan provinsi itu, sudah terbelah. Manakala satu kelompok memandang lainnya sebagai “liyan” yang hanya satu dua jengkal saja jaraknya sebelum dianggap musuh.

Mencoba mempengaruhi kognisi public dengan hal-hal subtantif, para buzzer ini pun senantiasa mempersoalkan hampir setiap kebijakannya. Mulai dari program “rumah DP 0 Persen”, saat menganulasi proyek reklamasi,teriak manakala ada ide mengubah rumah sakit menjadi rumah sehat,  hingga bahkan upaya Anies untuk menaikkan kesejahteraan buruh dengan menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) ke angka Rp 4,6 juta tahun ini, yang secara konsisten dibelanya dengan mengajukan banding manakala Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memutuskan membatalkannya, pun masih saja direcoki para pembencinya.

Jelas, yang dilakukan para pembenci Anies itu bisa disebut political anathema, alias upaya untuk melaknat seseorang, sekelompok atau sebuah ide politik, tanpa mempedulikan bailk-buruknya hal tersebut. Anathema adalah istilah Katolik untuk mencela, bahkan mengutuk apa pun yang berseberangan.

Sejatinya kita semua harus belajar darinya dalam cara dia menghadapi semua cerca, caci dan hina itu. Menghadapi masalah seserius kehendak Firli, Anies hanya meresponsnya dengan senyum. “Baru lihat saya,” kata dia. Sementara guna menanggapi ulah para buzzer yang kian menjelma punakawan kejahatan, Anies menangggapinya santai.

“Diserang, dihina, itu tidak membuat kita terhina, “kata Anies menjawab pertanyaan Deddy Corbuzier saat menjadi bintang tamu di saluran YouTube artis tersebut. “Saya ini dapat amanat ngurusin Jakarta. Bukan dapat amanat ngurusin buzzer, mereka-mereka yang tidak pernah mengungkapkan hal-hal faktual dan substantif,” kata dia. Anies bahkan membuka ruang dialog dengan meminta mereka menunjukka fakta. “The fact speaks for its self,”kata Anies. Jelas, dia seorang pemimpin yang tahu pasti, mana ‘voice’ yang harus didengar, dan mana ‘noise’ yang sejatinya lebih baik diabaikan.

Namun yang menonjol dari kepemimpinan Anies adalah keberaniannya untuk melaksanakan apa yang ia yakini. Dan karena berani, ia otomatis punya ketegasan bersikap. Ingat saja hal-hal berikut yang menghiasi lima tahun kepemimpinan Anies sebagai gubernur Jakarta. Di awal kepemimpinannya, Anies ringan saja menyegel pulau reklamasi. Ia juga yang berani menutup Alexis, tempat hiburan para buaya, sementara gubernur sebelumnya hanya berani menyindir-nyindir tempat itu sebagai sebuah sorga dunia. Ingatkah manakala melalui keputusannya urusan air bersih Kembali diambil alih PT PAM Jaya, setelah dikuasai oligarki puluhan tahun lamanya. Ia juga memutuskan harga air bersih itu disubsidi Pemprov untuk rakyat miskin. Anies, juga membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di bawah NJOP Rp 2 miliar. Yang agak baru, manakala pada Juni lalu langsung menutup 12 gerai Holywings di Jakarta, manakala jaringan café-bar itu main-main dengan perasaan keagamaan warga.

Sebagaimana penyair besar, alm WS Rendra percaya, kita pun yakin keberanian itu bisa diibaratkan cakrawala. Semakin berani seorang pemimpin, semakin luaslah horizon pemikirannya. Ia berani karena mampu melihat dunia secara holistic, selain juga pasti karena ia tidak berpamrih. Tanpa adanya pamrih, seorang pemimpin tak pernah bisa tersandera.

Keberanian terbesar Anies juga terletak pada sikapnya untuk tak rikuh, tanpa risih manakala tanpa sengaja ia laiknya antithesis presiden saat ini, Presiden Jokowi. Dalam semua hal, baik itu cara pandang, kecendekiawanan, penjagaan pada janji politik, bahkan ada yang menghubungkan dengan sikap terhadap oligarki.

Wajar bila era kepemimpinan Anies tergolong masa-masa menuai prestasi bagi Provinsi DKI. Dari urusan dalam negeri , yakni selama dalam kepemimpinan Anies DKI Jakarta meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK lima kali berturut-turut. Jakarta juga meraih penghargaan sebagai Pelopor Provinsi Layak Anak 2019 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada 2019; meraih empat penghargaan sekaligus kategori Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan 2019, dan berbagai penghargaan lain yang terlalu panjang untuk disebutkan.

Dari dunia internasional, pada 2021 Anies dinobatkan sebagai pahlawan transportasi dunia atau 21 Heroes 2021. Penghargaan ini diberikan oleh Transformative Urban Mobility Initiative (TUMI) kepada tokoh dunia yang mampu mengembangkan sistem transportasi urban berkelanjutan di tengah tantangan global dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Selain Anies, dalam jajaran pahlawan versi TUMI itu juga ada CEO SpaceX dan Tesla, Elon Musk. Doktor ilmu politik dari North Ilinois University itu juga menjadi satu dari “20 tokoh dunia yang membawa perubahan untuk 20 tahun mendatang dari Majalah Foresight, Jepang. Bersama Anies terdapat nama-nama Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Presiden Vinezuela  Hugo Chavez, dan Menlu Inggris David Miliband.

Prestasi itu pula yang mengerek nama Anies selalu berada dalam tiga calon presiden potensial pada Pilpres 2024 dengan elektabilitas yang konsisten teratas. Kita tahu, yang mutakhir, akhir September lalu CSIS mengumumkan hasil riset mereka, yang menegaskan Anies adalah politisi yang selalu dipilih kaum muda untuk jadi presiden, mengungguli dua nama besar lain yang senantiasa ada dalam daftar semua lembaga survey: Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Maka, tidak heran bila dengan jeli Partai Nasdem menemukan Anies sebagai calon kuat yang akan didukung dan diperjuangkan untuk menjadi presiden RI di Pilpres 2024. Pilihan yang cermat bagi Nasdem, dan jodoh yang tepat buat keduanya. Nasdem adalah partai politik yang didasarkan pada nilai-nilai luhur dan penghargaan pada perjuangan. Sementara Anies, kita tahu adalah pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai idealisme, serta terbukti memiliki jejak panjang perjuangan. Ia tercatat dalam sejarah sebagai manusia yang melangkah di garda depan saat memperjuangkan kebebasan beragama, khususnya dalam berjilbab. Anies pula yang lantang meneriakkan penentangan judi nasional SDSB yang merasuk dan merusak sendi-sendi kehidupan sosial saat itu. Itu di waktu muda. Di kematangan usianya saat ini, tak mampu kita menuliskan daftar panjangnya. [ DSY/INILAH.COM ]

Exit mobile version