Mengapa kemiskinan pada dasarnya urusan struktural, alias pemberantasannya pun melibatkan niat baik kekuasaan dan kebijakan politik? Karena keberadaan kaum miskin memang diperlukan (kaum kaya). Dalam “The Uses of Poverty” Herbert J. Gans menyebutkan ada 13 fungsi orang miskin yang menopang keberadaan dan kenyamanan orang kaya.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Salah satu misi para nabi yang juga diemban Nabi Muhammad SAW, untuk kemudian diwariskan sebagai salah satu tugas kemanusian hingga akhir zaman adalah “wa yadho’u ishrarahum wa al-aghlala allatiy kanat ‘alaihim” (QS 7:157)– menghilangkan beban penderitaan dan belenggu kesengsaraan yang menyengsarakan umat manusia. Kemiskinan tergolong belenggu paling kuat yang mendera manusia sejak lama.
Betapa kemiskinan adalah musuh kemanusiaan terbesar pernah diungkapkan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib. “Kemiskinan adalah kematian terbesar,” kata beliau. “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku akan membunuhnya.” Seiring waktu bergulir dalam ukuran milenia, niscayanya menghancurkan kemiskinan kian terbukti wajibnya. Bagi pemenang Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus, kemiskinan berarti membuat absen seluruh hak asasi manusia dari seseorang. Sementara Nelson Mandela percaya, lepasnya seseorang dari kemiskinan memiliki efek multiplier yang sangat positif. “Pemberantasan kemiskinan merupakan pilar bagi tercipta dan berkembangnya demokrasi,” kata dia.
Ada yang menganggap miskin ini urusan yang berkaitan dengan nasib dan takdir. Sejatinya, tidak. Paling tidak, kalau terjadi kemiskinan yang meluas di masyarakat, ada ‘dosa kifayah’ yang menjadi tanggung jawab bersama. Nabi Muhammad SAW bersabda,” Sesungguhnya Allah mewajibkan atas orang-orang kaya Muslimin untuk mengeluarkan harta mereka seukuran yang dapat memberikan keleluasaan hidup bagi orang-orang miskin. Dan tidak mengalami kesengsaraan orang-orang miskin, bila mereka lapar atau telanjang, kecuali karena perbuatan orang-orang kaya juga. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban orang-orang kaya itu dengan pengadilan yang berat dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.” Ahli fikih Sayyid Sabiq menyertakan hadis ini setelah memberikan tafsir atas ayat Al-Quran: “Dan orang-orang yang pada hartanya ada hak yang tersurat, bagi yang meminta pertolongan dan yang melarat. (Ad-Dzariyat 19).” Kata Sayyid Sabiq, “Inilah hak orang-orang yang memerlukan pada harta orang-orang kaya; yang ukurannya sejumlah apa yang memenuhi kebutuhan pokok mereka berupa sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya yang amat diperlukan oleh manusia supaya ia hidup layak sebagai manusia.”
Dalam sejarah tafsir Quran bahkan pernah hidup interpretasi ‘ekstrem’ dalam soal bantuan untuk orang-orang miskin ini. Misalnya Ibnu Hazm, ulama fikih danm ahli sejarah di era Spanyol Islam. Ketika menafsirkan ayat,”Jika salah satu di antara kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah,” Ibnu Hazm menyatakan bahwa orang lapar boleh menggunakan paksaan untuk meminta haknya dari orang kaya, dan menyerangnya jika orang kaya itu menahan haknya.
”Bila penyerang itu terbunuh, maka pembunuhnya harus membayar denda, dan jika ia berhasil membunuh orang yang diserang, yang terserang itu terkutuk dan mendapat laknat Allah karena ia tidak memenuhi hak orang lapar,” tulis Ibnu Hazm, yang bermazhab Ahlussunah itu.
Ala kuli hal, sejak lama dunia Islam mempercayai kemiskinan struktural, yang ngetop sebagai pemikiran kalangan kiri selama 1980-1990-an. Pasalnya, kemiskinan hanya ada manakala terjadi ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan. Ibnu Hazm, misalnya, berpijak padfa asumsi bahwa kemiskinan hanya dapat diatasi dengan kesediaan orang kaya memberikan hak-hak orang miskin yang diamanatkan Allah kepadanya.
Mengapa kemiskinan pada dasarnya urusan struktural, alias pemberantasannya pun melibatkan niat baik kekuasaan dan kebijakan politik? Karena keberadaan kaum miskin memang diperlukan (kaum kaya). Dalam “The Uses of Poverty” Herbert J. Gans menyebutkan ada 13 fungsi orang miskin yang menopang keberadaan dan kenyamanan orang kaya. Mengulas enam saja sudah membuat kita sesak dibuatnya.
Fungsi pertama kemiskinan adalah menyediakan tenaga kerja untuk pekerjaan-pekerjaan kotor, tidak terhormat, berat, berbahaya, tetapi dibayar murah. Orang miskin diperlukan untuk membersihkan got-got yang mampet, membuang sampah, menaiki gedung tinggi, bekerja di goa-goa tambang yang mudah runtuh, jaga malam, atau memelihara binatang milik orang-orang kaya.
Kedua, kemiskinan berguna untuk menambah atau mempeppanjang nilai-guna barang atau jasa. Baju bekas yang sudah tidak terpakai dapat dijual (atau dengan bangga dikatakan ’’di-infaqkan”) kepada orang-orang miskin. Begitu pula barang-barang apkiran: potongan kue biskuit, buah-buahan yang hampir busuk, sayuran yang tidak laku, semuanya menjadi bermanfaat (atau dimanfaatkan) orang-orang miskin. Orang miskin juga masih mau memanfaatkan para profesional tua, misalnya para dokter tua yang mulai ditinggalkan pasar sebelumnya.
Ketiga, kemiskinan berfungsi mensubsidi berbagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan orang-orang kaya. Pegawai-pegawai kecil, karena dibayar murah, mengurangi biaya produksi; dan akibatnya melipatgandakan keuntungan. Petani tidak boleh menaikkan harga beras mereka untuk mensubsidi orang-orang kota,dsb.
Fungsi keempat kemiskinan adalah menyediakan lapangan kerja. Karena ada orang miskin lahirlah pekerjaan tukang kredit (barang atau uang), perjudian (yang dapat diorganisasikan secara resmi dan menghasilkan miliaran rupiah), aktivis-aktivis LSM yang menyalurkan dana dari badan-badan internasional, dan — tentu saja — berbagai kegiatan yang dikelola Kementerian Sosial. Dulu pernah ramai dibicarakan, tidak ada komoditas yang paling laku dijual oleh Negara Dunia Ketiga di pasaran internasional selain kemiskinan.
Fungsi kelima kemiskinan adalah memperteguh status sosial orang-orang kaya. Perhatikan jasa orang miskin pada perilaku orang-orang kaya baru. Sopir dengan segera menyebut bos kepadanya. Nyonya dapat menunjukkan kekuasaan dengan memerintah para inem mengurus rumah-tangganya.
Terakhir, fungsi keenam, orang miskin juga bermanfaat untuk dijadikan tumbal pembangunan. Di sini, kita bisa becermin kepada nasib para tukang becak yang miliknya dibuang, atau para pedagang asongan–=di masa ity—yang dihilangkan dari jalanan.
Upaya berkelanjutan
Sejak pemerintahan Indonesia berdiri, memberantas kemiskinan dan meraih kemakmuran telah menjadi tujuan besar. Masyarakat yang adil dan makmur, serta kesejahteraan bahkan disebut dalam dua dari empat alinea Pembukaan UUD 1945, untuk menunjukkan pentingnya urusan tersebut. Meski gagal dengan ujung inflasi yang memberatkjan rakyat sebesar 650 persen, Bung Karno bukan tak berupaya mencapai adil makmur. Soeharto, meski juga mengalami akhir kekuasaan yang buruk, tercatat pernah membawa bangsa ini sebentar menikmati kemakmuran dan kemudahan mencari penghasilan. Demikian pula Habibie dan para presiden selanjutnya.
Presiden Yudhoyono (SBY), mungkin punya catatan lain dalam upaya pemberantasan kemiskinan ini. Upaya beliau tak hanya untuk rakyat Indonesia. Melalui Panel Tinggi Penyusun Program Pasca MDGs 2015 (HLP, High Level Panel on Post 2015) di Monrovia, SBY memimpin Panel bentukan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-monn tersebut.
Juga Presiden Jokowi, tentu. Selama lima tahun, dalam manajemen Jokowi kaum miskin hilang dan tumbuh seiring kondisi ekonomi. Pada Maret 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) tercatat 27,77 juta orang atau setara dengan 10,64 persen. Tahun itu terjadi kenaikan jumlah orang miskin.
Pada 2018 jumlahnya tercatat turun menjadi 25,95 juta orang atau setara dengan 9,82 persen. Pada September 2019 tercatat sebesar 24,79 juta orang, turun 0,36 juta orang jika dibandingkan dengan bulan Maret 2019. Selain itu juga menurun 0,88 juta orang. Pada September 2020, jumlahnya meningkat lagi menjadi 27,55 juta orang atau naik 1,13 juta orang dari bulan Maret 2020. Pada September 2021, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,50 juta orang, turun 1,04 juta orang dibandingkan bulan Maret 2021.
Beberapa artikel yang terbit akhir-akhir ini, pada tahun ini diprediksi akan terjadi kenaikan jumlah orang miskin, berkaitan dengan memburuknya perekonomian dunia, krisis energi, dan naiknya harga energi di dalam negeri. Namun harus dicatat, angka-angka tersebut pun tidak luput dari pandangan skeptis, mengingat kadang terjadi perubahan Garis Kemiskinan yang diacu, yang tentu saja akan mempengaruhi jumlah orang miskin yang dihasilkan.
Anies adalah harapan
Sebagai seorang cendekiawan, bahkan sejatinya ekonom, Anies tentu sangat menyadari sisi struktural dari kemiskinan tersebut. Ia mengerti bahwa rasio GINI tidak terbangun dalam cawan petri, dan ceteris paribus yang diidealkan para ekonom sejatinya mungkin hanya khayalan kosong. Selalu diperlukan niat baik, campur tangan dan kebijakan politik dalam mengelola perekonomian.
Karena itu, Anies tidak mungkin memberantas korupsi dengan cara charity alias bagi-bagi, baik uang maupun sembako. Ia akan memilih cara yang lebih “struktural”, karena yang memiskinkan warga masyarakat sehingga membuat mereka jadi kaum teraniaya (mustadhafin) pun struktural sifatnya. Bahkan, boleh dibilang, upaya pemiskinan itu bisa pula terjadi secara massif dan tersistem.
Tengok saja realitas yang gampang kita lihat. Manakala tanah-tanah rakyat diambil (paksa) dengan dalih untuk pembangunan, terma ganti untung yang banyak dihembuskan pun sejatinya belum pernah terjadi. Mungkin karena jumlah yang seharusnya diterima pun kadang disunat. Belum lagi bila hal-hal selain nominal dana juga dipertimbangkan.
Aneka mafia yang bergentayangan dengan digjaya, yang tidak pernah ragu merugikan rakyat kecil dan membuat mereka makin miskin, tak mungkin dilawan hanya dengan keberanian. Akal pun niscaya sifatnya. Belum lagi sekian banyak kekuatan oligarki yang selama ini tega menyengsarakan rakyat hanya untuk menumpuk cuan yang kian menggunung.
Anies punya rekam jejak yang membuktikan komitmen tegas dan sikapnya yang jelas. Di awal-awal menjabat gubernur DKI Jakarta, ia santuy saja mengambil-alih daratan hasil reklamasi yang semula akan diambil seluruhnya oleh kekuatan oligarki. Seraya mengembalikan kepada aturan bahwa swasta hanya boleh menggunakan 35 persen area, sisanya digunakan untuk membangun rumah susun buat warga.
Beragam program yang digelar Anies selama memimpin Jakarta memang hanya mengurangi angka kemiskinan sebesar satu persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat tingkat kemiskinan pada awal Anies menjabat 373,12 ribu orang atau 3,57 persen pada Maret 2018. Jumlah itu turun pada September 2018 menjadi 372,26 ribu orang atau 3,55 persen. Pada Maret 2019, angka kemiskinan di DKI Jakarta kembali turun menjadi 3,47 persen atau sebanyak 365,55 ribu orang. Penurunan angka kemiskinan ini terus berlanjut pada September 2019, yang tercatat menjadi 3,42 persen atau 362,3 ribu orang. Ini adalah persentase angka kemiskinan terendah selama Anies menjabat sebagai gubernur.
Sayangnya, seketika COVID-19 menerjang, pada Maret 2020 jumlah orang miskin DKI Jakarta melonjak mejadi 4,53 persen atau sebanyak 480,86 ribu orang. Angka itu terus bertambah menjadi 496,84 ribu orang atau 4,69 persen pada September 2020. Serbuan COVID yang bertahap-tahap, membuat pada Maret 2022 orang miskin di Jakarta kembali naik menjadi 4,69 persen atau sebanyak 502,04 ribu orang.
Pada sisi inilah, barangkali, soal kemiskinan ini menyentuh sisi takdirnya. Semua upaya dikerahkan, pada akhirnya dikendala serangan pandemi.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono, yang selama ini terkesan berhadapan dengan Anies pun, seakan memaklumi hal tersebut. Ia mengatakan, ada dua penyebab mengapa jumlah kemiskinan yang susah ditekan di era kepemimpinan Anies-Riza. Yang paling utama, COVID-19 itu, yang muncul menghantam perekonomian masyarakat Jakarta.
“Memang karena pandemi dua tahun di era kepemimpinan Anies-Riza, makanya (kemiskinan) sulit diturunkan,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Membela kaum miskin sejatinya adalah melanjutkan tugas kenabian dan tugas kemanusiaan paling penting. Menurut saya, Anies tahu dan justru mendapatkan semangat serta gairah untuk share dan care juga dari itu. Semangat yang memberinya api dan motivasi untuk berbakti kepada negeri di jenjang tertinggi: presidensi.
Apalagi nabi yang ia teladani pun berwasiat kepada semua, termasuk dirinya. “Segala sesuatu ada kuncinya,” sabdsa Nabi,” dan kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin.’’ [INILAH.COM]