Skeptisisme publik terhadap pemanggilan KPK kepada Anies itu tidak bisa dipisahkan dari fakta betapa di tahun-tahun Anies memangku amanah, Jakarta justru terkesan panen penghargaan. Bahkan dari KPK sendiri.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Kemarin, Rabu (7/9), Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berada di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memenuhi panggilan lembaga anti-rasuah tersebut. Anies dipanggil KPK untuk dimintai keterangan seputar penyelidikan KPK atas dugaan korupsi dalam penyelenggaraan Formula E.
“Dalam proses penyelidikan, KPK tentu dapat mengundang berbagai pihak untuk dikonfirmasi dan diklarifikasi oleh tim penyelidik KPK,” kata Juru Bicara KPK, Ali Fikri, sehari sebelumnya.
Tentu saja, bukan hanya dapat alias boleh, KPK bahkan harus mengundang sebanyak mungkin pihak terkait untuk menemukan kejernihan persoalan yang ada. Bertanya, menguji silang pernyataan, bertanya ulang, dan demikian seterusnya, hingga pada akhirnya lembaga itu bisa meyakinkan diri telah menemukan duduk perkara sejati dari urusan yang mereka kuliti.
Tetapi tetap saja ada bau lain meruap dari pemanggilan tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan kesan publik selama ini bahwa Anies bukanlah persona darling yang dikehendaki penguasa dan oligarki saat ini. Meski menilai KPK berhak untuk memanggil semua pihak yang diduga terlibat tindak pidana korupsi, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, melihat langkah KPK memanggil Gubernur Anies itu bernuansa lain.
“Pemanggilan Anies oleh KPK dalam kasus Formula E terkesan sangat politis,” kata Abdul Mu’ti kepada Inilah.com, Rabu (7/9). Alih-alih memanggil Anies dan terus mendalami urusan Formula E, Mu’ti justru meminta KPK lebih fokus menangani kasus dugaan korupsi yang lebih jelas di depan mata.
Sementara kolega Mu’ti di ormas Islam lain, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH Samsul Ma’arif, bahkan mengungkap rasa bangganya terhadap Anies. Baginya, lepas dari ada atau tidak, serta terlibat tidaknya Anies dalam dugaan korupsi Formula E, Gubernur telah memberi keteladanan untuk taat dan patuh pada proses hukum.
“Pak Anies yang langsung merespons positif, adalah contoh positif dan teladan bahwa semua punya hak yang sama di depan hukum,”kata Samsul kepada Inilah.com. “Saya bangga punya pemimpin Pak Anies, contoh yang terbaik!”
Sikap skeptis bahkan langsung menjadi respons Rocky Gerung manakala kabar soal pemanggilan itu mulai menyeruak telinga publik, pekan lalu. Melalui saluran YouTube Rocky Gerung Official, Rocky menilai pemanggilan Anies oleh KPK itu merupakan bukti bahwa kekuasaan saat ini tidak menghendaki Anies jadi presiden 2024. “Tentu nggak terkejut lagi, karena memang surat perintah penyidikan atau sprindiknya sudah diteken. Tinggal dikeluarkan sesuai momentum,”kata Rocky di kanalnya itu.
Namun, alih-alih pesimistis, Rocky menganggap pemanggilan Anies oleh KPK soal Formula E itu justru melegakan, karena jauh-jauh sudah membuktikan bahwa dalam pencalonan Presiden 2024, Anies pasti bakal dihalangi. “Jadi Anies mesti mulai dengan pikiran bahwa untuk 2024 itu halangan pasti ada. Mungkin mulai besok, setiap pekan Anies akan dipanggil KPK,”kata Rocky. Bisa saja, kata Rocky, ujung-ujungnya Anies dinyatakan tak terbukti, tapi hal itu tetap akan menjadi gangguan baginya.
Penilaian yang sama juga dilontarkan ahli hukum tata negara, Refly Harun. Refly menyatakan pemanggilan ke KPK itu cenderung untuk menghentikan langkah Gubernur Jakarta itu dari kontestasi Pemilihan Presiden 2024 mendatang.
“Kok nggak berhenti-berhenti (dipersoalkan) ya, walaupun Formula E sudah sukses? Sepertinya diincar terus,”kata Refly di kanal YouTube Refly Harun. Ia melihat adanya kecenderungan untuk menyikat Anies melalui pemanggilan terkait Formula E itu.
Menyatakan diri sebagai seorang pendukung penegakan hukum, Refly mewanti-wanti agar tidak ada lagi upaya penggunaan hukum sebagai dalih di belakang maksud-maksud tertentu yang tersembunyi. Hukum, menurut Refly, jangan sampai menjerat seseorang dengan alasan yang dicari-cari. Yang seharusnya terjadi, semua unsur tindakan pidana korupsi terpenuhi, baru tindakan dilakukan.
Sebenarnya, hipotesis kurang hangatnya hubungan antara Anies Baswedan dengan Presiden Joko Widodo itu telah mengisi halaman medsos sejak sekitar 2018 lalu. Mungkin ada clue lain sebelumnya, tetapi paling tidak hal itu bisa merujuk peristiwa yang terjadi saat final Piala Presiden, antara Persija Jakarta dan Bali United, 17 Februari 2018. Saat menyalami kru Persija untuk memberikan selamat, Jokowi seolah tidak mengajak serta Gubernur Anies Baswedan.
Melalui video yang beredar, Anies yang hendak turun ke lapangan bersama rombongan Presiden, ditahan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Anies pun memilih kembali ke kursinya.
Peristiwa di perhelatan nasional penting lainnya berbulan kemudian, kian membuat publik bertanya-tanya tentang hubungan antara Kepala Negara dengan gubenur DKI Jakarta itu. Pada Pembukaan Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno, Sabtu 18 Agustus 2018, publik yang melihat Anies tak tersorot kamera-kamera utama, ramai mempertanyakan. Mereka bahkan bertanya adalah Anies hadir atau tidak manakala acara sepenting itu digelar di wilayahnya.
“Tentu saja saya (hadir) di acara pembukaan. Bahkan saya di sana sejak siang bersama oficial internasional. Saya banyak temani tamu, bahkan dari OAC. Dengan Sekjen OAC mengobrol banyak soal kemungkinan Jakarta bisa jadi tuan rumah Olimpiade,”kata Anies, dua hari kemudian. Tapi dari sana, public tetap penasaran, mengapa pemerintah pusat seolah menganaktirikan gubernur Jakarta, tempat berlangsungnya peristiwa.
Yang cukup menyentak manakala pada saat gentingnya pandemi COVID-19, 2020 lalu. Saat itu Istana Kepresidenan menolak mentah-mentah permintaan Gubernur DKI untuk memberlakukan karantina wilayah di Jakarta. Saat itu Presiden Jokowi memilih menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Istana, melalui Juru Bicara Fajroel Rachman, kala itu hanya menyatakan Pemprov DKI masih bisa menerapkan isolasi terbatas di wilayahnya, yang bisa diberlakukan di tingkat RT/RW atau desa.
Jadi, jika pada akhir Agustus lalu Ketua Bappilu Partai Demokrat, Andi Arief, mengaku mendengar ada upaya untuk menjegal pencalonan Anies Baswedan menjadi calon Presiden di Pemilu 2024, kabar itu tidak lagi laiknya petir di siang bolong bagi banyak warga masyarakat. Soal itu tampaknya telah lama menjadi common sense yang hidup di benak mereka.
DKI Jakarta selalu terdepan
Skeptisisme publik terhadap pemanggilan KPK kepada Anies itu tidak bisa dipisahkan dari fakta betapa di tahun-tahun Anies memangku amanah, Jakarta justru terkesan panen penghargaan. Bahkan dari KPK sendiri.
Hingga akhir 2018, Pemprov DKI telah menerima setidaknya tiga penghargaan dari KPK. Penghargaan-penghargaan tersebut terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), gratifikasi, serta aplikasi pelayanan publik. Saat menerima penghargaan yang diserahkan tiga pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Gubernur Anies menatakan terima kasih atas penghargaan tersebut.
“Ini dikerjakan oleh semuanya. Ini adalah penghargaan untuk semuanya dan alhamdulillah kita dapatkan yang terbaik di level provinsi seluruh Indonesia. Kita yang terbaik, kita bersyukur sekali,” kata Anies, saat itu. Bagi Anies, penghargaan iti menunjukkan bahwa di jajaran Pemprov DKI, kesadaran untuk melaporkan, membebaskan diri dari praktik-praktik korupsi, sudah sangat tinggi.
Lainnya, selama Anies memangku jabatan, Pemprov DKI Jakarta selalu opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Selama lima kali berturut-turut, sejak 2017 hingga 2021, Pemprov DKI selalu mendapatkan opini WTP dari BPK.
Dari lingkaran birokrasi, yakni Kementerian PAN-RB, dalam penilaian Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (SAKIP) tahun 2021, Pemprov DKI menerima predikat A (memuaskan) dengan nilai 80,10. SAKIP adalah integrasi penilaian yang terdiri dari perencanaan, penganggaran dan pelaporan kinerja yang selaras dengan pelaksanaan sistem akuntabilitas keuangan.
Nilai SAKIP Pemprov DKI Jakarta itu terus meningkat sejak amanah kepemimpinan gubernur dipegang Anies. Nilai SAKIP 2018 tercatat 71,04, pada 2019 73,84; pada 2020 sebesar 74,41, dan pada 2021 tercatat 80,10 dengan predikat A.
Selain SAKIP, nilai Indeks Reformasi Birokrasi Pemprov DKI Jakarta juga meningkat. Pada 2017 tercatat 63,75; 2018 tercatat 70,92; 2019 tercatat 74,57, pada 2020 sebesar 76,54 dan pada 2021 tercatat 78,88.
Badan Pusat Statistik (BPS), sebagai badan yang peduli dengan transparansi, pada 2020 merilis angka Indeks Demokrasi Indonesia. Berdasar data BPS tersebut, IDI DKI Jakarta menduduki peringkat satu secara nasional dengan nilai indeks sebesar 89,21. Pemprov DKI berhasil mempertahankan posisi peringkat satu tersebut selama empat tahun berturut-turut sejak 2017.
Formula E
Akan halnya urusan yang kini kembali dipersoalkan, Formula E, banyak pihak justru menyatakan perhelatan itu mencatatkan sukses besar. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Juni lalu memaparkan hasil riset lembaganya yang menemukan besaran nilai ekonomi langsung dari penyelenggaraan Jakarta E-Prix 2022, mencatatkan nilai sebesar Rp 597 Miliar.
Rekapitulasi jumlah perhitungan dampak ekonomi langsung itu dilihat dari dampak pembangunan infrastruktur penyelenggaraan Formula E terhadap investasi konstruksi, operasional penyelenggaraan, hingga pengeluaran pengunjung.
Sementara dampak total penyelenggaraan Formula E terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil Provinsi DKI Jakarta sebagai indikator pertumbuhan ekonomi menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar 0,08 persen terhadap banckmark atau setara dengan Rp 2.638 triliun, berdasarkan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK). Angka itu diperoleh dengan menjumlahkan dampak terhadap tambahan PDRB DKI sebesar Rp 2,041 triliun dan dampak langsung sebesar Rp 597 miliar.
Dari sisi penonton, Formula E 2022 juga mencetak rekor. TEMPO mencatat, Federation Internationale de I’Automobile (FIA) mencatat bahwa Formula E Jakarta ditonton lebih dari 13,4 juta pemirsa yang menonton secara langsung melalui siaran televisi di Indonesia. Angka tersebut merupakan yang terbesar yang pernah ada dalam sejarah kejuaran dunia mobil listrik itu.
“Jakarta E-Prix membuat sejarah dua kali, yakni sebagai balapan pertama kali di Indonesia dan langsung menarik jumlah penonton terbesar,” ujar Chief Media Officer Formula E, Aarti Dabas, pada pertengahan Juni 2022.
Sementara para penonton juga mencakup Presiden Jokowi, Ketua DPR Puan Maharani, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Menparekraf Sandiaga Uno, Menteri BUMN, Erick Thohir, Menteri Olahraga Zainuddin Amali, Menteri BPN Sofyan Djalil, serta sejumlah menteri lainnya. Dari jajaran ketua umum partai politik terlihat Ketum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT), Ketum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, dan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo beserta jajaran; sementara Pangdam Jaya dan para pimpinan TNI juga tampak hadir di lokasi.
Selain penjualan tiket yang diserbu habis 60.000 orang yang datang langsung untuk menonton, tayangan Formula E yang diunggah di YouTube juga telah dilihat lebih dari 1,2 juta kali, serta konten di semua platform media sosial dengan total lebih dari 22,6 juta tayangan. Semua itu mengalahkan semua pencapaian Foormula E hingga saat ini.
***
Satu hal yang harus diingat publik, Formula-E merupakan program resmi Pemprov DKI Jakarta, yang disetujui DPRD, lembaga wakil rakyat Jakarta. Mengapa program yang terselenggara sukses itu terus dikejar-kejar lembaga pemerintah seperti oleh BPK dengan pemeriksaan yang diulang beberapa kali, lalu tak henti diburu KPK selama beberapa tahun terakhir?
Tentu saja kita berharap alasan KPK melakukan hal tersebut tidak hanya jujur, tapi juga selaras dengan tugas dan fungsi lembaga independen tersebut.
Persoalannya, mengapa KPK seolah mau mempertaruhkan kredibilitas mereka dengan mengangkat kasus-kasus yang rawan dipandang publik sebagai ‘tebang pilih’ di satu sisi, serta tidak independen karena wajar memunculkan dugaan adanya cawe-cawe pihak lain kepada lembaga independent itu? Kasus Anies dengan segala latar belakang yang sudah kita ulas di atas, misalnya.
Padahal, daripada main-main dengan persepsi buruk publik, betapa pun KPK merasa yakin bisa menghalaunya, atau mempersetankan persepsi itu sama sekali di sisi lain, KPK akan lebih baik bila lebih focus lagi mengurusi citra dirinya saat ini.
Bagaimana pun, di benak public, misteri kasus—bahkan keberadaan—Harun Masiku, tujuh kasus korupsi yag diduga melibatkan mantan Gubernur DKI Basuki Purnama alias Ahok, atau kasus-kasus yang tengah bergulir seperti dugaan korupsi yang dilakukan Mardani Maming, dianggap lebih terang benderang dan mengiris rasa keadilan publik.
Mendalami dan membongkar kasus itu tampaknya akan lebih manjur mengubah citra KPK saat ini yang dibebani citra “terburuk sepanjang sejarah lembaga antirasuah” (kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana tahun lalu), “mengalami kehancuran sendi-sendi komisi antirasuah” (kata Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman), atau “memakai kriteria tebang pilih” sebagaimana diyakini banyak kalangan.
Mungkin, sebagai makhluk, KPK sendiri akan mati atau dimatikan. Tetapi bukankah ada yang niscaya diinginkan setiap makhluk sebelum datangnya kematian? Nama yang baik, kematian yang husnul khatimah. [Inilah.com]