Site icon Jernih.co

Apa itu Sumitronomics?

Istilah ini semakin kerap kita dengar, terutama berkaitan dengan perekonomian nasional. Apakah sekadar teori ekonomi atau lebih jauh dari itu?

JERNIH – Sumitronomics lahir dari gagasan besar Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang menekankan tiga pilar utama: pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, dan stabilitas nasional yang dinamis. Namun, sebuah teori tidak cukup hanya dengan idealisme—ia perlu indikator keberhasilan yang konkret. Indikator inilah yang menjadi “kompas” apakah strategi berjalan sesuai tujuan atau justru melenceng.

Pertumbuhan Ekonomi Tinggi

Keberhasilan Sumitronomics pertama-tama diukur dari laju pertumbuhan PDB. Pertumbuhan di atas 6–7% per tahun menjadi ambisi besar agar Indonesia bisa mengejar negara-negara maju. Namun angka pertumbuhan saja tidak cukup. Ia harus didorong oleh investasi asing dan domestik yang masuk ke sektor strategis, bukan sekadar sektor konsumtif.

Di sisi lain, ekspor juga menjadi tolok ukur penting. Indonesia tidak boleh hanya mengandalkan bahan mentah; proporsi ekspor manufaktur dan produk hilir harus meningkat signifikan. Semua ini pada akhirnya harus tercermin pada produktivitas tenaga kerja: setiap pekerja menghasilkan output lebih tinggi dari tahun ke tahun.

Pemerataan Manfaat Pembangunan

Pertumbuhan tanpa pemerataan hanya akan melahirkan ketimpangan. Karena itu, indikator berikutnya adalah penurunan angka kemiskinan dan perbaikan rasio Gini. Target idealnya, Gini ratio bisa ditekan ke bawah 0,35 sehingga distribusi pendapatan lebih merata.

Penciptaan lapangan kerja formal menjadi syarat penting, terutama di sektor industri bernilai tambah. Kualitas hidup masyarakat pun tercermin melalui peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang mengukur pendidikan, kesehatan, dan standar hidup. Tidak kalah penting adalah pemerataan akses infrastruktur—jalan, listrik, air bersih, dan internet—agar pembangunan tidak hanya terkonsentrasi di kota besar.

Stabilitas Nasional yang Dinamis

Pertumbuhan dan pemerataan butuh fondasi yang kokoh. Karena itu, stabilitas ekonomi menjadi tolok ukur ketiga. Inflasi harus terkendali dalam kisaran 2–4% agar daya beli rakyat tetap terjaga. Begitu pula dengan rasio utang terhadap PDB, yang sebaiknya tidak melebihi 60% agar fiskal tetap sehat.

Cadangan devisa menjadi indikator lain: cukup untuk menutup lebih dari enam bulan impor, sehingga rupiah tidak mudah goyah. Di bidang ketahanan, produksi pangan dan energi domestik harus meningkat agar Indonesia tidak rapuh menghadapi gejolak global. Semua ini didukung oleh iklim investasi yang stabil—regulasi konsisten, biaya transaksi rendah, dan kepastian hukum terjamin.

Tujuan Sumitronomics bukan hanya “tumbuh”, tetapi juga naik kelas. Karena itu, indikator keberhasilan mencakup transformasi struktural, antara lain;

Indikator Pertumbuhan Ekonomi Tinggi

Indikator Pemerataan Manfaat Pembangunan

Indikator Stabilitas Nasional yang Dinamis

Indikator Kapabilitas dan Transformasi Struktural

Indikator Tata Kelola dan Keberlanjutan

Transformasi ini memastikan ekonomi Indonesia tidak lagi bergantung pada komoditas mentah, tetapi punya daya saing berbasis ilmu pengetahuan dan inovasi.

Akhirnya, tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa tata kelola yang baik. Belanja pemerintah harus lebih produktif, bukan hanya konsumtif. Setiap subsidi, insentif, atau proteksi industri perlu dievaluasi secara transparan.

Lebih jauh, keberhasilan Sumitronomics juga diukur dari sejauh mana pertumbuhan tidak merusak lingkungan. Ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang rendah karbon, yang menjaga keseimbangan antara industrialisasi dan kelestarian alam.

Perbandingan dengan Neo Liberalisme

Di sisi peran negara, Neoliberalisme menekankan pasar bebas, deregulasi, liberalisasi perdagangan, dan peran minimal negara. Sumitronomics justru menempatkan negara sebagai agen aktif pembangunan, siap melakukan intervensi, proteksi selektif, dan alokasi sumber daya strategis.

Untuk alat kebijakan, Neoliberalisme mengutamakan stabilitas makro, konsolidasi fiskal, dan independensi bank sentral. Sementara Sumitronomics lebih toleran terhadap defisit terarah dan subordinasi instrumen moneter untuk pembangunan jika diperlukan.

Masing-masing tentu ada kelebihan dan kelemahan. Neoliberalisme dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya jangka pendek tetapi berisiko memperlebar ketimpangan dan kehilangan kapabilitas industri. Sumitronomics berpotensi mempercepat industrialisasi dan pemerataan, tapi berisiko inefisiensi, korporatisme negara, atau rentan pada capture politik bila institusi pengawas lemah.

Sumitronomics relevan untuk negara berpendapatan menengah yang ingin mengejar transformasi struktural; menekankan hilirisasi dan penciptaan lapangan kerja; mampu menyelaraskan kebijakan industri, fiskal, dan moneter. (*)

BACA JUGA: Penginjil’ Neo Sumitronomics

Exit mobile version