SolilokuiVeritas

Balada Pendidikan di Indonesia

Pendidikan harus menjadi alat pembebas, bukan penekan. Ia harus memberdayakan, bukan mengkotakkan. Dan yang terpenting, ia harus menjangkau semua, bukan hanya segelintir.

Oleh     :  Iswadi*

JERNIH– Di sebuah negeri yang kaya akan budaya dan sumber daya alam, pendidikan seharusnya menjadi jembatan emas menuju kemajuan. Namun, di Indonesia, pendidikan kerap kali menjadi sebuah balada—lagu panjang yang penuh harapan, namun juga derita dan kegelisahan. Di tengah semangat dan perjuangan para pelajar, guru, dan orang tua, realitas pendidikan di negeri ini masih jauh dari kata ideal.

Di pedalaman Papua, seorang anak bernama Yohan berjalan kaki tiga jam setiap pagi untuk sampai ke sekolah. Ia melewati hutan lebat, menyusuri sungai kecil, dan menapaki bukit terjal. Di ujung perjalanannya, ia tiba di sebuah sekolah dengan dinding papan dan atap seng, tempat ia belajar membaca dan menulis bersama puluhan teman sebaya. Di sinilah impian tentang masa depan dimulai—di balik ketidaklayakan fasilitas, di tengah keterbatasan buku, dan di bawah bimbingan seorang guru yang mengabdi tanpa pamrih.

Sementara itu, di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, pendidikan tampak seperti ajang kompetisi. Anak-anak dari keluarga mampu dibekali dengan les privat, sekolah internasional, hingga perangkat teknologi tercanggih. Mereka belajar bukan hanya untuk memahami, tapi untuk menaklukkan ujian demi ujian, demi satu kursi di sekolah atau universitas favorit. Pendidikan menjadi arena lomba, bukan lagi proses pembentukan karakter dan pengetahuan yang holistik.

Kontras ini adalah potret nyata dari ketimpangan pendidikan di Indonesia. Pemerataan akses pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Di beberapa daerah, masih banyak anak yang putus sekolah karena masalah ekonomi, pernikahan dini, atau minimnya transportasi. Sementara di tempat lain, anak-anak belajar dengan fasilitas lengkap namun kehilangan esensi pendidikan yang sebenarnya: membentuk manusia yang utuh.

Pemerintah sejatinya telah mengupayakan berbagai program untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Mulai dari pembangunan sekolah baru, pengangkatan guru honorer menjadi PNS, hingga distribusi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun, implementasi kebijakan tersebut tidak selalu berjalan mulus. Masih sering terdengar laporan tentang dana yang tidak tepat sasaran, guru yang tidak hadir mengajar, hingga kurikulum yang berganti terlalu cepat sehingga menyulitkan siswa dan pengajar untuk beradaptasi.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah kualitas guru. Di berbagai wilayah, guru masih kekurangan pelatihan yang memadai, terutama dalam menghadapi era digital dan perkembangan metode pembelajaran. Banyak guru yang gagap teknologi, kesulitan menyusun materi interaktif, dan pada akhirnya mengandalkan metode ceramah konvensional yang kurang efektif dalam menumbuhkan rasa ingin tahu dan kreativitas siswa.

Tak hanya itu, kurikulum pendidikan di Indonesia kerap kali lebih fokus pada capaian akademik dan ujian, ketimbang pengembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan abad ke-21. Padahal, dunia kerja masa kini menuntut kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, dan adaptif kemampuan yang sering kali tidak terasah di ruang kelas yang kaku dan penuh tekanan nilai.

Namun, di balik segala permasalahan itu, masih banyak cerita tentang semangat dan optimisme. Di desa terpencil di Sulawesi, seorang guru muda lulusan program “Indonesia Mengajar” rela tinggal jauh dari keluarga demi mencerdaskan anak-anak bangsa. Di Yogyakarta, komunitas belajar mandiri tumbuh dan memberi akses pendidikan alternatif bagi anak-anak marginal. Di internet, para guru berbagi materi dan inovasi pembelajaran agar bisa saling menginspirasi.

Pendidikan di Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab kita semua. Orang tua, guru, siswa, dan masyarakat luas memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Kita perlu bergandengan tangan untuk memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang latar belakang sosial dan geografis, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.

Teknologi juga seharusnya menjadi jembatan untuk mengatasi kesenjangan, bukan memperlebar jurang. Program digitalisasi sekolah harus disertai pelatihan yang tepat bagi guru dan akses internet yang merata, agar teknologi bisa dimanfaatkan secara maksimal dan merata.

Balada pendidikan Indonesia adalah kisah panjang yang masih ditulis hingga hari ini. Ia adalah gabungan antara idealisme dan realita, antara harapan dan tantangan. Setiap anak yang tetap berangkat ke sekolah meski hujan deras, setiap guru yang mengajar dengan dedikasi tanpa imbalan besar, dan setiap orang tua yang bekerja keras demi biaya sekolah anaknya mereka adalah pahlawan dalam kisah ini.

Jika kita ingin menulis akhir yang bahagia untuk balada ini, maka perubahan harus dimulai sekarang. Bukan hanya dengan membangun gedung sekolah yang megah, tetapi dengan membangun sistem yang adil, inklusif, dan berorientasi pada masa depan. Pendidikan harus menjadi alat pembebas, bukan penekan. Ia harus memberdayakan, bukan mengkotakkan. Dan yang terpenting, ia harus menjangkau semua, bukan hanya segelintir.

Sejatinya, masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh kekayaan alam atau jumlah penduduknya, melainkan oleh kualitas pendidikannya. [ ]

*Dr. Iswadi, M.Pd, dosen Universitas Esa Unggul Jakarta

Back to top button