Jernih.co

“Bapak Air”, Pangkostrad Maruli serta Pengakuan Doni Monardo

Letjen Maruli Simanjuntak

Perjalanan (karier) Maruli justru banyak ditapaki ketika ayah mertuanya tidak berada di lingkaran kekuasaan, baik di militer maupun di pemerintahan. Menurut catatan saya, dua pertiga jabatan yang pernah diemban, adalah jabatan-jabatan komandan. Jabatan-jabatan pemegang tongkat komando. Dari sisi ini saja kita paham bahwa Maruli adalah prajurit yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Oleh   : Egy Massadiah*

JERNIH– Ini tentang Panglima Kostrad yang baru, Maruli. Lulusan Akmil 1992. Sebagian besar pengabdiannya ditunaikan di korps baret merah. Saya mengenalnya sejak ia berpangkat letnan dua.

Usai mengemban amanat sebagai Komandan Paspampres (2018-2020), Maruli mendapat tugas teritori sebagai Pangdam Udayana, berkedudukan di Bali. Ketika dilantik menjadi Pangdam Udayana November 2020, sejumlah media memilih angle yang sama dalam pemberitaannya, yakni: “Pangdam termuda”.

Setahun lebih ia mengomandani wilayah Bali, NTT, dan NTB. Itu artinya, ketika dipromosi ke jabatan baru sebagai Pangkostrad, bisa jadi ia adalah Pangkostrad termuda sepanjang sejarah TNI. Jika bukan jabatannya, setidaknya jenderal bintang tiga (letnan jenderal) termuda di angkatannya.

Karier yang moncer, terkadang diikuti pameo “semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup”. Salah satu “tiupan angin kencang” yang menerpa Maruli adalah statusnya sebagai anak-menantu Menko Perekonomian dan Maritim, Jenderal TNI (HOR) (Purn) Luhut Binsar Panjaitan.

(Sebagian) orang pun lantas mengaitkan kecemerlangan karier Maruli dengan statusnya sebagai menantu Luhut.

Tentu tidak adil, tidak fair, jika mengaitkan karier seseorang dengan “takdir” Tuhan. Itu jika kita sepakati bahwa jodoh adalah takdir (ketentuan) Tuhan. Bahwa ia menjadi anak-menantu Luhut, adalah takdir yang tak bisa dielakkan oleh manusia.

Mungkin sedikit yang tahu, bahwa Paulina Panjaitan, yang kemudian menjadi Nyonya Maruli, mengenal Maruli Simanjuntak justru bukan sebagai seorang prajurit (TNI), melainkan sebagai atlet judo.

Penulis bersama Letjen Maruli Simanjuntak

Benar. Kisah mereka terajut saat SEA Games ke-18 tahun 1995 di Jakarta. Paulina sebagai liaison officer, sedangkan Maruli sebagai atlet judo. Atlet yang berlatar belakang militer. Tahukah Anda, di mana posisi calon mertuanya saat itu? Tahun 1995, Kolonel (Inf) Luhut Binsar Panjaitan menjabat Komandan Korem 081/Dhirotsaha Jaya, Madiun, Jawa Timur.

Maruli–Paulina lalu menikah tahun 1999. Saat itu, Luhut sudah pensiun dengan pangkat Jenderal Kehormatan dan menjabat dubes RI di Singapura.

Itu cukup menjelaskan, bahwa perjalanan Maruli justru banyak ditapaki ketika ayah mertuanya tidak berada di lingkaran kekuasaan, baik di militer maupun di pemerintahan. Menurut catatan saya, dua pertiga jabatan yang pernah diemban, adalah jabatan-jabatan komandan. Jabatan-jabatan pemegang tongkat komando. Dari sisi ini saja kita paham bahwa Maruli adalah prajurit yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Beberapa jabatan puncak kesatuan yang pernah ia sandang, dimulai dari Komandan Detasemen Tempur Cakra (2002), lalu Komandan Batalyon 21 Grup 2/Sandi Yudha (2008-2009). Selanjutnya, Komandan Sekolah Komando Pusdikpassus (2009—2010), Komandan Grup 2/Sandi Yudha (2013—2014), Komandan Grup A Paspampres (2014—2016), Komandan Korem 074/Warastratama (2016—2017), Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) (2018—2020), dan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) IX/Udayana (2020—2021).

Berawal dari Aju

Beruntung, saya bisa memotret dekat perjalanan karier Maruli di militer. Lebih beruntung karena profesi jurnalis yang saya sandang, sehingga terbiasa mencatat dan mendokumentasikan segala sesuatu. Termasuk sosok Maruli ini.

Masih terkenang jelas jejak-jejak Maruli dan kawan-kawan seangkatan, saat awal penugasan. Hari-hari setelah setelah mereka lulus akademi militer dan dilantik presiden menjadi prajurit berpangkat letnan dua.

Izinkan saya mengilas balik ke era 1990-an, saat awal merajut persahabatan dengan Maruli. Itu terjadi secara kebetulan. Benar. Kebetulan saya punya teman sejak Taman Kanak-Kanak di Sengkang Wajo, Sulawesi Selatan, bernama Andi Sirajuddin Kube Dauda (Almarhum), yang akrab saya panggil Aju. Ia juga seorang tentara baret merah, lulusan Akmil lichting 1991. Ayah Aju bernama Andi Kube Dauda, mantan bupati di Sulsel, seumuran ayah saya.

Aju ini kakak angkatan Maruli. Mereka sangat dekat karena sama-sama atlet judo. Jadi, Aju, Maruli dan teman-temannya sering main ke tempat saya di Cinere, perbatasan Depok dan Jakarta Selatan. Sebaliknya, saya juga sering nongkrong di rumah Aju di bilangan Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur. Tak jarang saya melihat dan menemani mereka latihan judo di Mako Kopassus, Cijantung.

Saya perhatikan, angkatan 1991 dan 1992 sangat akrab. Apalagi mereka yang sama-sama mengikuti TC (Training Camp) sebagai atlet judo di bawah gemblengan pelatih judo dari Korea. Hampir setiap hari mereka berinteraksi.

Selepas apel di markas Kopassus Cijantung, para prajurit yang notabene atlet judo itu langsung latihan sampai sore. Begitulah rutinitas mereka saat itu. Program Judo, Taekwondo ketika itu diinisiasi Danjen Kopassus Prabowo Subianto. Prabowo pulalah yang mendatangkan pelatih langsung dari Korea.

Selain judo dan taekwondo, sebagian prajurit lain mendalami bela diri pencak silat Merpati Putih. Aju, sahabat saya ini termasuk yang menjadi murid Mas Pung, guru besar Merpati Putih saat itu.

Pernah satu ketika, Aju “kehilangan” pistol. Tentu bukan hilang beneran, melainkan lupa menaruh. Oleh Maruli dan teman-temannya, Aju pun diledek, “Abang kan Merpati Putih, cari dong dengan ‘getaran’….”

Waktu terus bergulir. Aju, Maruli, dan yang lain mulai terpisah satu-sama-lain, karena penempatan tugas di daerah yang berbeda. Meski begitu kami terus berkomunikasi. Termasuk dengan Aju, sahabat kecilku yang wafat tahun 2016 karena sakit, dengan pangkat terakhir kolonel.

Jalinan komunikasi makin intens manakala sudah ada fasilitas handphone. Mulai dari pesan singkat (SMS), Blackberry Messenger (BBM), lalu WhatsApp (WA). Lebih intensif bertemu secara fisik ketika Maruli sudah berpangkat kolonel dan menjabat Komandan Grup A Paspampres. Dari ring-1 Istana ia sempat geser ke jabatan Danrem di Solo. Dari Solo, balik ke Paspampres menjabat Wakil Komandan (Wadan) Paspampres. Bintang pun jatuh di pundaknya. Brigadir Jenderal TNI Maruli Simanjuntak.

Nonton Liverpool

Masih panjang catatan saya tentang Maruli. Baiklah kita loncat ke momen mengesankan di awal September tahun 2018. Kami ke London dan Amerika Serikat. Waktu itu, Maruli sebagai Wadan Paspampres memimpin pengawalan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Begitu protapnya. Presiden didampingi Komandan Paspampres, sedangkan Wadan Paspampres mendampingi Wakil Presiden.

Di Inggris, Jusuf Kalla sempat membuat rombongan “kalang-kabut”. Pasalnya, JK mau menonton Liga Inggris, partai Liverpool melawan Totenham Hotspur. Tentu JK dalam posisi sebagai penggemar sepakbola, bukan sebagai wakil presiden.

Tapi bukankah jabatan Wapres RI tidak copot meski JK mengenakan syal Liverpool? Akhirnya, Maruli dan pasukannya mengawal JK naik KRL, berdesak-desakan dengan penumpang lain. Di KRL penuh “Liverpudian”, julukan supporter Liverpool. JK sendiri seorang “Kopites”, julukan bagi fans Liverpool dari luar Liverpool.

Sebagian pasukan Maruli tetap melekat dengan JK, termasuk masuk ke dalam stadion. Sebagian lain di luar stadion menunggu hingga pertandingan usai 2 x 45 menit. Semua baik-baik saja hingga JK kembali ke penginapan.

Selesai urusan di Inggris, JK dan rombongan, termasuk saya, menuju New York untuk menghadiri sidang tahunan PBB.

Ada hal tak terlupakan di Amerika. Satu saat, saat sama-sama senggang kami berjalan kaki di seputar kawasan 42 Street Manhattan New York. Di sudut blok dekat Hotel Westin tempat rombongan menginap, Maruli mampir ke toko sepatu olah raga. Ujungnya, sepasang sepatu jogging berkelir hitam, ia beli dan hadiahkan ke saya. Thanks, Bro!

Tak lama setelah dari pulang dari lawatan tadi, saya mendengar kabar Maruli geser ke Semarang, menjabat Kasdam IV/Diponegoro. Komunikasi tetap terjalin, meski lewat udara dan kuota.

Setahun menjabat Kasdam, ia balik Jakarta menempati pos baru sebagai Komandan Paspampres, dengan bintang dua di pundak. Saya hadir di Markas Paspampres Tanah Abang, saat syukuran serah terima jabatan itu.

Komunikasi kami kembali intens, hingga ia kembali mendapat penugasan teritori sebagai Pangdam IX/Udayana. Pada penugasan ini, beberapa kali kami bersua muka. Salah satunya saat terjadi banjir bandang di sebagian besar wilayah kepulauan NTT. Maruli sebagai Pangdam, sedangkan saya mendampingi Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Monardo.

Menyebut nama Doni Monardo, mengingatkan saya tentang sepenggal kisah yang pernah ia ceritakan saat menjabat Dan Paspampres. Doni melukiskan betapa ketat seleksi masuk di satuan Paspampres. Termasuk seleksi menjadi Komandan Grup A Paspampres.

Waktu itu, Doni dalam kapasitas Dan Paspampres harus melakukan seleksi pamen (perwira menengah) untuk menempati posisi Komandan Grup A. Sejumlah kolonel ikut serta. Satu di antaranya Maruli.

Doni Monardo sendiri yang memimpin proses seleksi untuk jabatan Dan Grup A. Materi ujian bagi calon Dan Grup A, tidak saja fisik atau kesamaptaan, tapi juga keterampilan bela diri, skor menembak, penguasaan alutsista, bahasa, sampai tes psikologi.

Dari sekian calon, nama Kolonel Maruli Simanjuntak selalu menempati urutan pertama. Lalu dipilihlah dia menjadi Komandan Grup A Paspampres. “Jadi, Maruli terpilih bukan karena beliau menantu pak Luhut, tapi karena di semua ujian seleksi, skornya paling tinggi,”ujar Doni Monardo kepada saya.

Sampai di sini, saya merasa dunia ini kecil sekali. Bayangkan, berteman dengan Maruli di satu sisi. Lalu bersahabat dengan Doni Monardo di sisi waktu yang berbeda. Nah, Doni dan Maruli melewati fase interaksi “komandan dan anak buah” pada satu kesatuan. Kemudian berinteraksi lagi dalam posisi yang berbeda.

Jadi sama sekali tidak heran jika suatu hari, Doni memanggil dan meminta saya menghubungi Maruli. “Pak Egy, tolong mintakan peluru ke Pak Maruli, Dan Paspampres.”

Itu momentum saat Doni Monardo hendak mengajak para pejabat BNPB latihan menembak di Mako Kopassus, Cijantung, atas undangan Danjen Kopassus (saat itu), Mayjen TNI Mohamad Hasan. Segera saya menghubungi “Ucok”, begitu biasa saya menyapa Maruli.

Gayung bersambut. Bukan hanya peluru, tapi lapangan tembak Paspampres pun sudah disiapkan. Saya menyampaikan, bahwa yang diperlukan hanya peluru, sedangkan latihan menembak dilakukan di lapangan tembak Kopassus. Maruli paham, meski ia juga sangat ingin Doni dan staf BNPB menembak di lapangan Paspampres Tanah Abang.

“Lapangan tembak Paspampres ini kan punya Pak Doni, saya hanya merawatnya,” seloroh Maruli. Sejatinya, lapangan tembak Paspampres sudah lama ada, jauh sebelum Doni Monardo menjabat.

Bapak Air

Mari kembali ke sosok Maruli sebagai Pangdam IX/Udayana. Kiprah Maruli tidak saja sigap dalam membantu program tanggap darurat hingga pasca bencana alam di NTT. Jauh sebelum musibah di NTT, nama Maruli sudah sangat dikenal hingga pelosok-pelosok Bali, NTB, dan NTT.

Ia dikenal sebagai “bapak air”. Mengapa? Karena bukan cuma satu-dua sumur ia bikin. Tak kurang 150 titik sumur sudah ia bangun di teritori binaannya yang terkenal sulit mendapatkan air bersih. Setidaknya ada 200 ribu penduduk yang sudah merasakan program “Bapak Air”. Itu data yang saya catat per tahun 2021. Bisa jadi, jumlahnya lebih besar saat ia mengakhiri tugas.

Bahkan ada kelakar di tengah masyarakat, khususnya di wilayah NTT, bahwa “sapi dan kuda saling melirik jika melihat Maruli lewat. Sapi dan kuda pun tahu, jika Maruli datang, itu artinya air sudah dekat.”

Bersamaan dengan pembuatan sumur, Maruli juga menyentuh sektor ekonomi, khususnya peternakan dan pertanian. Adrenalin kepedulian alam, lingkungan Maruli mengikuti  seniornya Doni Monardo, sama sama cinta pohon.

Bina Bonek

Saya beri sub judul “Bina Bonek”, sebab kisah berikut ini memang merupakan penggalan kisah lain dari kiprah Maruli saat masih pangkat Kolonel. Ini tentang jejak Maruli di bidang pertanian dan peternakan. Sebuah kisah yang saya dapat dari seseorang bernama Utomo alias Mas Bonek.

Ia adalah warga Krapyak Kulon, Panggung Harjo, Sewon, Bantul. Saking terkenalnya sebagai “Bonek”, jangan sekali-kali datang ke Krapyak mencari nama Utomo. Sebab, dijamin tak banyak orang tahu. Sebaliknya, sebut nama Bonek, semua orang tahu.

Bonek sudah berhasil menggerakkan ribuan warga Bantul bertani dan beternak. Mereka menyebut dirinya Kelompok 15. Awal kegiatan dimulai tahun 2014. Bonek yang semula memang hobi memelihara ikan hias, mengajak masyarakat memelihara ikan lele. Modal semua ditanggung oleh kelompok 15.

Satu kolam lele modalnya Rp 4,6 juta. Dalam waktu 70 hari, lele bisa dipanen. Hasil panen ini biasanya mencapai 350 kg. Pihak peternak mendapatkan bagi hasil 20 kg, sedangkan Kelompok 15 mendapatkan 330 kg. Jika per kilogram ikan lele dijual Rp 15.000 maka hasilnya mencapai Rp 5,25 juta.

Jadi setiap satu kolam, masyarakat yang memelihara lele mendapatkan hasil minimal Rp 300.000. Sedangkan Kelompok 15 mendapatkan hasil minimal Rp 4,95 juta. “Berapa keuntungannya, tergantung fluktuasi harga lele di pasaran,” kata mas Bonek.

Kelompok 15 oleh Bonek sebagai pemimpin, diberi nama Abhinaya Upangga, artinya Semangat Berkarya. Tak ada legalitas hukum, namun hasil kerja mereka sangat bermanfaat secara sosio ekonomis.

Cerita pun mengalir menuju muara nama: Maruli Simanjuntak. Bonek berkisah belasan tahun lalu, saat bertemu Kolonel (Inf) Maruli yang saat itu menjabat Komandan Korem 074/ Warastratama, Surakarta (2016). “Bang Maruli itu adalah bapak kami,” ujar Bonek, seraya menambahkan, “Terima kasih, berkat beliau hidup kami sekarang lebih baik.”

Kedekatan kelompok Abhinaya Upangga dengan Maruli membawa pencerahan dalam kehidupan. Dari ‘Bang Maruli’ inilah Bonek dan teman-teman mendapatkan modal untuk berusaha di bidang perikanan, pertanian, dan peternakan. “Sekarang kami punya 72 kolam lele. Seminggu dua kali kami panen dua kolam,” ungkap Bonek bangga.

Tak heran jika keberadaan Bonek dan teman-teman disambut hangat masyarakat. Di kecamatan Pandak, Bantul, Bonek yang saat itu mengenakan kaos hitam bergambar ‘Bang Maruli’ disapa ‘abah’ oleh anak-anak kecil di sana. Abah Bonek.

Tak hanya itu, masyarakat juga bangga karena ada orang penting, seorang jenderal TNI dari Jakarta bertamu di rumah mereka yang sederhana. Ya, Maruli yang dulu Kolonel, sekarang sudah Mayor Jenderal (sebentar lagi letnan jenderal).

Dampak psikologis kunjungan Maruli ke Bantul sangat membesarkan hati warga. Masyarakat bergerak untuk bertani, beternak ikan dan kambing. Kemudahan mendapatkan bibit tanaman, bibit ikan maupun hewan ternak, membuat masyarakat mantap bekerjasama dengan Abhinaya. Semua kebutuhan masyarakat difasilitasi oleh Abhinaya Upangga.

Suatu kesempatan Mayjen Maruli berkisah. “Baru-baru ini saya berjumpa mereka, dan mereka bilang terima kasih Bapak sudah memberi kami kehidupan, membuat kami punya penghasilan,” kata Maruli seraya menambahkan, “Bahkan saya tidak boleh membayar makan-minum di kedai tempat kami ngobrol. Ya, sekarang mereka yang mentraktir saya.”

Kini, tidak hanya Maruli yang bangga akan keberhasilan Bonek dan kawan-kawan binaannya. Sebaliknya, mereka pun (pasti) bangga “bapak”-nya menjadi Panglima Kstrad, memimpin 35.000 hingga 40.000 prajurit, dengan tiga bintang di pundaknya.

Selamat, Brader! Komando! [  ]

Egy Massadiah, Ketua Yayasan Kita Jaga Alam, wartawan senior

Exit mobile version